Laporan Utama
Takfirisme Menurut Nahdlatul Ulama (NU)
(Wawancara Eksklusif dengan Khatib Aam PBNU, K.H. Malik Madani)
Maraknya fenomena mudah mengkafirkan kelompok yang berbeda paham, yang terus berkembang di masyarakat mengkhawatirkan banyak kelompok moderat dan cinta persatuan. Ini karena paham takfirisme ini merupakan ancaman nyata tak hanya bagi umat Islam, tapi juga bagi persatuan bangsa.
Menanggapi hal ini, ABI Press membuat program wawancara eksklusif mengenai takfirisme dalam pandangan dua ormas besar Islam, Nahdhatul Ulama (NU) dan Muhammadiyah sebagai representasi Muslim Sunni Indonesia dan Ormas Islam Ahlulbait Indonesia (ABI), sebagai representasi Muslim Syiah Indonesia.
Wawancara eksklusif ini ABI Press awali dengan menghadirkan narasumber dari ormas Islam terbesar di Indonesia, Nahdlatul Ulama (NU), Khatib Aam PBNU, K.H. Malik Madani.
Berikut ini hasil wawancara kami selengkapnya.
Pak Kiai, apa pandangan NU mengenai fenomena takfirisme?
Dalam pandangan NU, fenomena mudah mengkafir-kafirkan orang atau takfiri itu merupakan perwujudan dari sikap intoleran. Takfirisme merupakan sikap tidak adanya tasamuh dalam menghadapi perbedaan pendapat. Kami, sebagai pengusung paham Ahlusunnah wal Jamaah, sudah dikenal sebagai pengusung paham yang moderat, paham yang toleran. Kami tidak mudah mengkafir-kafirkan sesama Muslim hanya karena adanya perbedaan di antara kita.
Kita memegang teguh apa yang ditegaskan oleh para ulama Sunni terkemuka semacam Hujjatul Islam, Abu Hamid al-Ghazali, yang menyatakan la yukaffiru ahadan min ahlil kiblat. Kami tak bisa mengkafirkan seorang pun dari kalangan ahlul kiblat. Yaitu orang yang sama shalatnya menghadap ke kiblat. Tidak mungkin kami mengkafirkan orang yang seperti itu.
Maka kami tidak sependapat dengan sebagian kelompok yang begitu mudah memvonis kelompok lain sebagai kafir.
Sebagaimana yang Pak Kiai ketahui, kelompok-kelompok takfiri ini juga menyerang amaliah-amaliah warga Nahdliyyin dan menuduhnya sebagai bentuk kesesatan dan bid’ah. Pendapat Pak Kiai bagaimana?
Perilaku mereka yang mudah menyesat-nyesatkan dan membid’ah-bid’ahkan amalan-amalan warga Nahdliyyin ini jelas menimbulkan rasa tidak enak pada warga Nahdliyyin dan Nahdliyyat. Sebab amalan-amalan itu bukannya amalan yang tidak memiliki landasan keagamaan. Tetapi memiliki landasan-landasan yang kuat. Entah itu dari ayat-ayat Al-Qur’an atau dari hadis-hadis Rasulullah Saw. Cuma barangkali yang berbeda di antara kita-kita ini adalah dalam menginterpretasikan nash-nash Al-Qur’an atau hadis-hadis tadi.
Nah, perbedaan penafsiran, perbedaan interpretasi tersebut tidak semestinya dijadikan alasan untuk mengkafir-kafirkan, menyesat-nyesatkan orang yang berbeda pendapat dengan kita.
NU sangat memahami dan menghayati ungkapan yang sangat populer dari Imam Mazhab yang banyak dianut oleh Nahdlatul Ulama, yakni madzhab Syafi’i. Imam Muhammad bin Idris As-Syafi’i sendiri mengingatkan kita tentang adanya relatifisme internal di antara umat Islam itu. Sehingga tidak selayaknya relativisme itu lalu ditindaklanjuti dengan kafir-mengkafirkan. Justru semangat toleransi yang perlu dikembangkan.
Al-Imam Muhammad Idris As-Syafii berkata, “Ra’yuna shawabu yahtaminu khatha’a wa ra’yu ghairina khathaun yahtaminu shawaba.” Pendapat kami adalah benar, tapi bukan benar yang mutlak 100%, melainkan benar yang yahtaminul khatha’a, yakni benar yang mengandung kemungkinan salah. Wa ra’yu ghairuna khathaun, sedangkan pendapat selain kami adalah keliru, makanya tidak kami ikuti. Tetapi tidak keliru yang mutlak, melainkan khathaun yahtamilu shawaba, keliru yang mengandung kemungkinan yang benar.
Jadi dengan adanya relativisme internal seperti ini tidak selayaknya kalau pendapat orang lain lalu disikapi dan dituduh sebagai pendapat yang sesat, bid’ah, apalagi keluar dari Islam. Itu sangat tidak tepat. Itulah pendapat Nahdlatul Ulama.
Pak Kiai, kami pernah mewawancarai Kiai Zainul Akifin dari FOSWAN (Forum Silaturrahmi Warga Nahdliyyin) dan KH. Alawi Nurul Alam Al-Bantani (Team Aswaja Centre Lembaga Takmir Masjid PBNU). Salah satu program mereka adalah mengembalikan masjid yang diambil oleh Wahabi radikal ke tangan warga Nahdliyyin yang toleran dan moderat. Sudah ada ratusan masjid yang dibebaskan dari kelompok radikal dan dikembalikan ke warga Nahdliyyin. Bagaimana pendapat Kiai?
Saya kira, apa yang dilakukan oleh Kyai Akifin dan lain-lain untuk mengembalikan masjid-masjid itu ke tangan orang-orang yang toleran dalam beragama sangat tepat. Karena itu akan membawa ketenangan bagi kaum Muslimin dan Muslimat.
Adanya kelompok-kelompok ini menguasai masjid akan menimbulkan keresahan. Karena begitu mudahnya mereka memvonis orang lain sebagai pihak yang sesat, pihak yang melakukan bid’ah. Sedangkan segala bid’ah itu adalah kesesatan, sedangkan kesesatan itu tempatnya di neraka. Maka kalau dibiarkan masjid-masjid itu dikuasai oleh kelompok-kelompok yang intoleran ini akan menimbulkan gesekan-gesekan dan konflik-konflik horizontal dalam masyarakat kita.
Karena itu, upaya untuk merebut kembali masjid-masjid itu, tentunya dengan cara-cara yang baik, cara-cara yang tidak melanggar hukum, saya kira perlu diapresiasi.
Pak Kiai, NU telah membuktikan sebagai ormas Islam yang konsisten mengusung tasamuh. Tetapi ada kita temui segelintir orang yang mengaku NU tapi ia suka mengkafirkan kelompok lain. Bagimana tanggapan Pak Kiai?
Ya, sebenarnya harus dibedakan antara paham yang resmi dianut NU, dengan prilaku sebagian orang NU yang tidak sesuai dengan ajaran NU. Saya kira itu tidak hanya di NU. Di berbagai organisasi kemasyarakatan, di berbagai partai politik, di berbagai majelis-majelis taklim dan sebagainya ya sudah barang tentu ada. Prilaku-prilaku oknum yang tidak sesuai dengan ajaran yang secara kolektif dianut dalam kelompok atau dalam komunitas itu.
Apa tindakan NU sendiri pada warga NU yang seperti ini?
Ya, kita bina. Kalau dia benar orang NU tapi suka mengkafirkan akan kita bina. Bahwa, mestinya begini ini sikap kita dalam menyikapi perbedaan. Bahwa sikap kita ini moderat.
Terimakasih atas kesempatan wawancara yang Pak Kiai berikan kepada kami. Sebagai penutup, ada pesan-pesan yang ingin Pak Kiai sampaikan dari NU untuk umat Islam?
Ya, ada. Yang ingin kami sampaikan dan perlu disebarluaskan kepada masyarakat ialah bahwa kita ini hidup dalam lingkungan masyarakat yang majemuk, masyarakat yang pluralistik. Nah, konsekuensi dari kehidupan dalam masyarakat yang majemuk, adalah perbedaan-perbedaan pemahaman. Perbedaan-perbedaan aliran keagamaan di antara anak bangsa ini. Itu konsekuensi dari Bhinneka Tunggal Ika.
Maka kalau kita ingin mempertahankan Negara Kesatuan Republik Indonesia dengan kebhinekaannya ini, kita mesti menjunjung sikap toleransi terhadap pendapat dan aliran pemikiran yang berbeda dengan kita. (Muhammad/Yudhi)