Laporan Utama
Takfirisme Menurut Muhammadiyah (Bag. 2)
(Wawancara Eksklusif dengan Sekjen Muhammadiyah, Dr. Abdul Mu’thi)
Apakah fenomena takfiri berbahaya bagi umat Islam dan bangsa Indonesia?
Saya kira itu akan sangat merugikan umat Islam. Dan dalam konteks ke-Indonesiaan juga akan merugikan bangsa Indonesia. Taruhannya adalah ukhuwah Islamiyah. Taruhannya adalah persatuan dan kesatuan bangsa.
Persatuan itu tidak berarti semuanya sama. Persatuan itu adalah ikatan saat mereka yang berbeda-beda merasa menjadi bagian dari komunitas besar yang bernama jamaah itu. Akidah itu yang mengikat kita sebagai Muslim. Akidah Islam itu kan sama. Tuhannya semuanya sama Allah, Nabinya semua sama, Qurannya sama. Ini yang mengikat kita. Betapa pun ada perbedaan pendapat mengenai bagaimana sifat-sifat Tuhan dan memahami Al-Quran. Itu adalah bagian dari wilayah ijtihad, bukan ushul. Oleh karena itu kita bersikap terbuka, tenggang rasa.
Menurut Bapak sendiri faham takfirisme yang berkembang di Indonesia sekarang ini seperti apa?
Pada konteks kehidupan sekarang, isu takfiri, kafir-mengkafirkan muncul dalam beberapa konteks. Yang pertama dalam konteks pemikiran hanya ada satu kelompok yang benar. Kelompok-kelompok ini berusaha melakukan purifikasi teologi dalam dirinya dan dalam diri umat Islam tetapi dengan mengeksekusi kelompok lain. Nah, ini yang menjadi salah satu sumber munculnya kekerasan-kekerasan di dalam kehidupan masyarakat yang melibatkan satu kelompok muslim dengan kelompok muslim lainnya.
Yang kedua. Isu-isu takfiri itu seringkali secara spesifik dikaitkan dengan politik kekuasaan. Ada upaya untuk melegalkan kekuasaan, mendukung kekuasaaan. Kemudian yang tidak mendukung dianggap kelompok yang membangkang, boleh diperangi, boleh diserang. Kadang-kadang disebut kelompok yang ‘halal darahnya’. Yang ini menjadi persoalan juga sampai sekarang ini. Tapi persoalannya adalah politik. Dan lagi-lagi untuk mendapatkan legitimasi politik ini dia mengeksekusi orang lain yang berada di luar kelompok politiknya.
Jadi, bagaimana sikap Muhammadiyah sendiri terhadap pelaku takfirisme model ini?
Sikap Muhammadiyah sebagai organisasi tentu didasari oleh satu pemahaman, bahwa dalam beragama, manusia punya kebebasan untuk memilih. Beragama itu sikapnya sukarela, bukan paksaan. Sukarela dalam beragama itu ada dua pengertian. Yang pertama untuk orang itu beragama atau tidak itu terserah saja. Mau beragama silakan mau tidak, ya silakan. Yang kedua, ketika seseorang memeluk agama, maka ia harus mengamalkan ajaran agama itu secara sukarela. Dan kemudian dia menempatkan pilihannya dalam dia beragama itu sebagai pilihan pribadi, sehingga dia harus menghormati orang lain yang berbeda pilihan.
Oleh karena itu, ketika Muhammadiyah menyampaikan pandangan-pandangannya baik menyangkut akidah, ibadah, dan masalah lainnya, Muhammadiyah selalu mengatakan inilah paham Muhammadiyah. Dengan pernyataan inilah, paham Muhammadiyah, berarti yang menjadi dasar Muhammadiyah berakidah, beribadah, bermuammalah adalah pemahaman Muhammadiyah atas dasar Al-Quran dan As-Sunnah. Yang Muhammadiyah sadar betul bahwa, pemahaman Muhammadiyah akan Al-Quran dan As-Sunnah itu sangat mungkin berbeda dengan pemahaman kelompok lain.
Penegasan inilah paham Muhammadiyah, mengandung pemahaman itu subjektif kebenarannya menurut Muhammadiyah. Kemudian yang kedua, Muhammadiyah menyadari bahwa faham keagamaan Muhammadiyah ini bukan satu-satunya. Tapi ada faham keagamaan lain, yang mereka juga memiliki keyakinan bahwa pemahaman mereka benar, dan mereka memiliki usaha-usaha bagaimana bisa mengamalkan keyakinan sesuai dengan pemahaman mereka itu.
Bagaimana sikap Muhammadiyah jika ada anggotanya berlaku suka mengkafirkan kelompok lain?
Saya kira tidak seorang pun berhak menghakimi orang lain. Kalau kita baca ayat-ayat Al-Quran tentang perbedaan pendapat, maka solusinya kan ada dua. Pertama faruddu ilallah wa rasul, kalau ada perdebatan, kembalikanlah kepada Allah dan Rasul-Nya. Artinya apa? Jangan terlalu memutlakkan pemahaman. Kemudian yang kedua, kalau ini tidak ketemu juga, ya sudah, terserah pilihan masing-masing. Serahkan urusannya kepada Allah.
Karena itu kalau ada warga Muhammadiyah (melakukan itu) harus dipahami Muhammadiyah tidak mengajarkan orang untuk mengkafirkan orang lain. Kelompok lain juga tidak boleh mengkafirkan Muhammadiyah. Apakah dia kelompok Syiah, Ahmadiyah, NU, tidak boleh mengkafirkan satu dengan yang lain. Kita tidak boleh bersuudzon pada kelompok lain. Kalau ada hal-hal yang kita tidak tahu pada kelompok lain, kita ragu-ragu, ya tabayun. Minta penjelasan, klarifikasi. Kalau ada persoalan berbeda, musyawarah. Waamruhu syura bainahum.
Nah, tradisi bermusyawarah ini sekarang agak melemah, padahal musyawarah itulah yang dianjurkan Al-Quran, musyawarah itulah yang banyak dicontohkan Rasulullah dalam berbagai macam persoalan.
Terimakasih atas wawancara ini, Pak Mu’thti. Terakhir, apa pesan yang ingin disampaikan Muhammadiyah kepada umat Islam dan bangsa Indonesia?
Muhammadiyah ingin supaya umat Islam melihat betul bahwa perbedaan-perbedaan dalam beragama, dalam beribadah, adalah bagian dari realitas keberagamaan yang harus disikapi secara dewasa. Muhammadiyah mengajak kaum Muslimin untuk bersikap toleran, bersikap terbuka, dan bersikap santun terhadap kelompok lain yang berbeda.
Menurut Muhammadiyah, menjadi kelompok yang minoritas tidak berarti kita ini menjadi kelompok yang salah di hadapan Allah. Yang kedua, menjadi kelompok minoritas itu tidak berarti menjadi kelompok yang tidak berguna dan harus dilindungi, tetapi menjadi kelompok minoritas itu menjadi motivasi untuk berbuat lebih banyak. Kecil jumlahnya, tapi banyak amalnya, adalah suatu yang sangat diajarkan oleh Islam. Dan ini yang menjadi prinsip Muhammadiyah.
Dan kalau kita bisa bersikap tenggang rasa maka kita bisa merajut persatuan, merajut ukhuwah. Perbedaan itu kita satukan sebagai satu kekuatan, sehingga dengan kekuatan itu kita berbuat lebih banyak untuk kemajuan umat dan untuk kemajuan bangsa. (Muhammad/Yudhi)