Laporan Utama
Takfirisme Menurut Muhammadiyah (Bag. 1)
(Wawancara Eksklusif dengan Sekjen Muhammadiyah, Dr. Abdul Mu’thi)
Maraknya fenomena mudah mengkafirkan kelompok yang berbeda paham, yang terus berkembang di masyarakat mengkhawatirkan banyak kelompok moderat dan cinta persatuan. Ini karena faham takfirisme ini merupakan ancaman nyata tak hanya bagi umat Islam, tapi juga bagi persatuan bangsa.
Menanggapi hal ini, ABI Press membuat program wawancara eksklusif mengenai takfirisme dalam pandangan dua ormas besar Islam, Nahdhatul Ulama (NU) dan Muhammadiyah sebagai representasi Muslim Sunni Indonesia dan Ormas Islam Ahlulbait Indonesia (ABI), sebagai representasi Muslim Syiah Indonesia. Kali ini ABI Press menghadirkan hasil wawancara dengan Sekjen Muhammadiyah, Dr. Abdul Mukti.
Menurut Muhammadiyah sendiri takfirisme itu sebenarnya apa?
Takfiri itu suatu pemahaman bahwa satu kelompok itu benar dan satu kelompok itu dikatakan salah atau menyimpang dari Islam. Persoalan ini berasal dari pemahaman eksklusif bahwa hanya ada satu kebenaran tunggal dalam memahami agama. Itu yang menjadi alasan atau pembenar untuk mengkafirkan kelompok lain yang berbeda.
Dalam pengalaman sejarah Islam, kafir-mengkafirkan itu mulai terjadi pada saat wafatnya Rasulullah. Waktu itu kaum Muslimin terlibat dalam perdebatan yang sangat sengit mengenai siapa yang berhak menggantikan Muhammad sebagai kepala Negara di Madinah. Kelompok pertama mengatakan bahwa yang berhak menjadi khalifah adalah keturunan Nabi, sementara kelompok lainnya mengatakan yang berhak menjadi khalifah itu adalah siapa pun dari kaum Muslim yang memiliki kompetensi, kesalehan, dan mendapatkan persetujuan dari para sahabat atau masyarakat.
Nah perdebatan politik ini terus berlanjut sampai pada munculnya berbagai aliran teologi. Aliran teologi itu kemudian, dalam rangka memperkuat kelompoknya, sampai membuat hadis-hadis palsu. Lalu membuat banyak pernyataan yang menyatakan dirinya yang paling benar dan yang lain salah sehingga terjadilah kafir-mengkafirkan satu kelompok ke kelompok lainnya. Persoalan inilah yang kemudian di dalam sejarah, menjadi bagian sisi kelam dalam peradaban Islam yang buntutnya terjadi sampai sekarang ini.
Dalam sejarah Muhammadiyah sendiri apakah Muhammadiyah pernah bersinggungan dengan fenomena takfiri ini?
Nah, pada konteks gerakan Islam di Indonesia, fenomena ini juga muncul pada saat pembaharuan dalam Islam mulai berkembang. Ketika Muhammadiyah sebagai organisasi mengusung gagasan-gagasan pembaharuannya, pendiri Muhammadiyah, KH. Ahmad Dahlan, mendapatkan pertentangan yang luar-biasa dari masyarakat. Penentangan yang luar biasa itu juga menggunakan label bahwa KH. Ahmad Dahlan itu juga Kiai kafir, Kiai yang sesat, atau disebut juga Londo Putih.
Ini karena Kiai Ahmad Dahlan dengan berani bekerjasama dengan berbagai pihak, termasuk bekerjasama dengan Belanda saat itu untuk pengembangan pendidikan-pendidikan Muhammadiyah. Langkah untuk bekerjasama dengan Belanda dalam konteks pengembangan pendidikan, dan langkah untuk meniru model pengembangan Belanda sebagai satu sistem pendidikan modern bagi umat Islam mendapat pertentangan yang sangat keras karena beredar satu pemahaman, barangsiapa menyerupai suatu kaum maka ia adalah bagian dari kaum itu. Karena itulah Kiai Ahmad Dahlan dianggap sebagai Kiai kafir.
Tetapi tentu rintangan-rintangan yang ada itu tidak membuat langkah Kiai Ahmad Dahlan surut. Beliau terus melakukan gerakan-gerakan pembaharuannya, dan pada akhirnya alhamdulillah Muhammadiyah berkembang sampai saat sekarang ini.
Bagaimana Muhammadiyah yang sekarang? Apakah masih ada yang mengkafirkan Muhammadiyah?
Kalau sampai dikafirkan, sekarang tidak lagi, ya? Ada beberapa faktor. Mungkin karena masyarakat mulai memahami apa Muhammadiyah dan bagaimana Muhamamdiyah. Jadi meningkatnya pendidikan umat, mempengaruhi kedewasaan bersikap. Itu dipengaruhi oleh keluasan mereka berpikir dan menguasai persoalan.
Kedua, mungkin masyarakat juga melihat bahwa MUhammadiyah ini ternyata, meskipun menjadi kelompok kecil yang hanya ada di kota-kota atau daerah-daerah tertentu, tapi punya amal-amal nyata yang berguna bagi masyarakat. Dan ketika beramal, Muhammadiyah tidak menghkhususkan amalnya bagi anggotanya. Bahkan tak hanya umat Islam, tapi umat lain pun mendapatkan manfaat dari Muhammadiyah.
Ketiga, mungkin karena faktor makin kuatnya penegakan hukum. Artinya, jika ada pelanggaran hukum maka ia akan ditindak sesuai hukum yang berlaku. Bahwa masih ada tantangan ya, bahwa masih ada kesulitan, itu juga sangat kita rasakan. Tetapi pernyataan eksplisit bahwa Muhammadiyah itu kafir sudah sangat sedikit. Tapi pernyataan bahwa Muhammadiyah itu keliru, kelompok Wahabi yang teroris, dll, itu masih sering kita dengar. Bahkan sebagian yang menyatakan itu juga para tokoh pemimpin organisasi Islam terkemuka. Tentu hal ini sangat kita sayangkan.
Mengenai tuduhan pada Muhammadiyah itu, apa penjelasan dari Muhammadiyah?
Tentu Muhammadiyah tidak akan menjawabnya dengan apologetik dan emosional, tapi dengan rasional dan disertai bukti-bukti yang kuat. Sekarang ini kalau kita lihat, banyak kelompok teroris itu dikait-kaitkan dengan kelompok salafi, puritan. Padahal orang jadi teroris itu kan sangat beragam dan sebagaian besarnya adalah karena latar belakang ekonomi. Bahkan istilah teroris sendiri pun sudah bermasalah sejak awal.
Ketika ada orang yang misalnya mengatas namakan jihad menyerang, dia disebut teroris. Tapi ketika ada orang yang menimbulkan ketakutan, menyerang orang lain, mereka tidak disebut sebagai teroris, dianggap sebagai kriminal biasa. Nah ini, menurut saya sudah bermasalah dari awal.
Menurut saya terorisme merupakan persoalan delik hukum positif. Dan jangan dikait-kaitkan dengan paham keagamaan tertentu. Penindakannya harus melihat bukan latar belakang orang yang melakukan. Karena kalau itu yang terjadi akan menimbulkan over generalisasi yang menimbulkan luka, menimbulkan rasa tidak suka dari satu kelompok terhadap kelompok lainnya. (Muhammad/Yudhi)
–bersambung ke bag. 2 yang akan diupload dua hari lagi, Rabu 4 Juni 2014–