Laporan Utama
Saya Mewarta Saya Dianiaya (Bagian Terakhir)
(Kisah Wartawan ABI Press)
Oleh Muhammad Ngaenan
Digelandang dan Dipukuli
Lama saya menunggu Bachtiar Nasir keluar dari ruang rapat di lantai 2. Sekitar 2-3 jam lamanya menunggu. Saya obati kebosanan dengan tidur-tiduran di lapangan depan Masjid al-Fajr yang mulai sepi. Sesekali saya bangun, mengamati pintu keluar masjid, mencari-cari sosok Bachtiar Nasir.
Sekian lama menunggu tak membuahkan hasil. Apalagi langit sudah mulai gelap. Akhirnya saya memutuskan untuk pulang. Mungkin Bachtiar Nasir sudah keluar dan saya tidak melihatnya, pikir saya.
Saya pun keluar dari kompleks masjid, berjalan ke arah samping Alfamart menunggu taksi yang lewat. Saat sedang menunggu di pinggir jalan, seorang pria berseragam LPAS mendekati dan menanyai saya.
Melihat ada gelagat ganjil, saya menjawab seadanya saja sambil bilang bahwa saya mau pulang dan sedang menunggu taksi.
Saya belum memberitahu bahwa saya wartawan. Tapi pria itu berusaha menahan kepergian saya. Saat kami sedang berbicara, tiga pria berseragam lain ikut mendatangi saya.
Salah satunya membawa kamera perekam dan memvideokan aksi tersebut. Sampai akhirnya salah seorang dari mereka bertanya apakah saya tahu IJABI dan ABI?
Saya jawab, “Ya, saya tahu.” Begitu saya bilang seperti itu, tiba-tiba salah seorang dari mereka langsung berteriak keras…
“Kamu ABI, ya?”
Seperti dikomando, orang yang ada di samping kanan saya langsung mengapit lengan kanan saya. Yang di sebelah kiri mengapit lengan kiri saya, dan yang ketiga mendorong saya dari belakang.
Satu orang lain dengan kamera perekam terus mengvideokan saya yang digelandang paksa oleh mereka. Saya berusaha menolak, tapi mereka terus memaksa dan mulai membentak-bentak.
“Kamu Syiah, ya?”, “Kamu menyusup, ya?”
Begitu masuk gerbang masjid, hanya beberapa langkah, beberapa orang langsung mengerumuni saya. Beberapa langsung memukuli dari belakang, samping, dan depan.
Seorang berkemeja coklat mendekati saya sambil membentak, “Kamu Syiah, ya? Ngaku saja. Kamu yang ada di SMESCO, kan? Kamu yang ada di Kelapa Gading, kan?” ujarnya.
Aku jawab, “Iya.” Karena tempat yang dia sebut memang tempat peringatan acara ritual keagamaan yang pernah saya liput dan sepertinya mereka hadir sebagai pendemo di acara-acara tersebut.
Dari situ saya mulai menyadari bahwa saya sudah diincar. Apalagi mereka mengaku sudah mengenal wajah saya.
Awalnya mereka ingin membawa saya masuk ke tempat rapat di lantai satu. Tapi sempat terjadi tarik-menarik di antara mereka sendiri. Saya mendengar ada yang mengatakan, “Jangan ganggu rapat para ulama, kita bawa saja ke samping.”
Akhirnya saya dibawa ke halaman samping dekat tempat wudhu. Saat dibawa ke sana, sambil kepala saya dipiting, tubuh saya mulai jadi samsak tinju. Kebanyakan pukulan diarahkan ke arah pinggang. Saya tak tahu siapa saja yang memukul, karena kepala saya dipiting dan tak bisa melihat ke arah si pemukul.
Mata saya mulai nanar karena pukulan di kepala dan perut yang bertubi-tubi.
Sesampainya di halaman samping tempat wudhu, saya didudukkan di kursi yang ada di situ. Suasana terlihat temaram. Tak ada lampu di halaman itu. Hanya berkas cahaya ruang di sampingnya yang membantu penerangan. Saya pun tak melihat jelas wajah orang yang memukuli saya. Hanya beberapa yang kemudian tertangkap oleh mata saya.
Karena tak ada yang melindungi kepala saya, jadilah kepala saya terus-menerus sasaran empuk tinju dan tempelengan. Dari arah depan wajah, samping pelipis, dan tengkuk belakang. Banyaknya pukulan yang bertubi-tubi membuat saya pening.
Dalam hati, tak henti saya baca shalawat. Berdoa semoga saya tidak habis di tempat ini.
Dari belasan orang yang memukuli, saya ingat betul tiga wajah pemukul. Saya ingat karena saat saya didudukkan di kursi, mereka mendekatkan wajah ke muka saya sebelum melayangkan bogem mentahnya.
Hanya sekitar 30 senti jaraknya dari wajah saya, dengan mata berang mereka melotot dan gigi geraham digemeretakkan sembari membentak-bentak saya dengan kata-kata kasar.
Saat massa terus memukuli saya, seorang bertubuh besar, yang sepertinya adalah korlap mereka berteriak-teriak keras menghalangi rekan-rekannya untuk tidak terus memukuli saya. Ia mengambil kursi kosong dan meletakkannya di hadapan saya.
Meski ia berusaha menghalangi, tetap saja ada beberapa orang yang mencuri pukul penuh emosi sembari meneriakkan, “Kamu Syiah, ya?”, “Dasar sesat!”, bahkan saya dengar ada yang mengatakan, “Saya bunuh kamu!”
Tas saya dirampas oleh mereka. Korlap mereka lalu menanyai saya sambil berusaha menenangkan belasan massa yang berdiri di belakangnya dengan mata melotot, berteriak-teriak, dan beberapa mengacung-acungkan tinjunya ke udara.
Beberapa orang masih berusaha mendekat dan memukul saya. Karena merasa tak bisa mengendalikan anak buahnya, korlap bertubuh gempal dengan berewok lebat di dagu dan pipinya itu berteriak marah, “Saya bilang ikuti instruksi saya! Ikuti instruksi saya!”
Korlap itu lalu membawa saya masuk ke dalam ruangan yang ada di sebelah halaman. Di sana saya diinterogasi oleh seorang pria berbaju coklat yang mengaku sebagai intel. Ia menanyakan siapa saya dan apa yang saya kerjakan.
Saya jawab lugas bahwa saya wartawan ABI Press dan sedang melakukan peliputan. Saat ia tanya mana ID Card wartawan saya, saya bilang, tidak ada sama saya. Kebetulan ID Card wartawan saya taruh di tas yang mereka rampas tadi.
Pria berbaju coklat yang mengaku intel ini terus menuduh saya berbohong. Dan menuding saya sedang melakukan penyamaran. Ia tak percaya saya wartawan dan terus mencecar saya sebagai penyusup dan memata-matai rapat tertutup di lantai satu.
Padahal selama rapat saya hanya menunggu di luar lapangan masjid saja seraya menunggu Bachtiar Nasir keluar. Sama sekali saya tidak mendekat, apalagi masuk ke dalam ruang masjid di lantai satu tempat diadakannya rapat yang tak saya ketahui.
Sesekali saja saat saya rebahan, saya bangkit mengawasi pintu keluar kalau-kalau Bachtiar Nasir muncul. Menunggu Bachtiar Nasir rupanya berbuntut panjang.
Beberapa saat kemudian, korlap yang tadi keluar, kembali masuk. Ia memberitahu pria yang mengaku intel tersebut bahwa saya akan dibawa ke ruang rapat tempat para ulama berkumpul.
Korlap bertubuh gemuk yang corak pakaiannya didominasi warna hitam dan merah itu kemudian memiting kepala saya dengan sakitnya sambil mengatakan ia melakukan itu untuk melindungi kepala saya dari pukulan massa di luar.
Benar saja, di luar, orang-orang berseragam langsung mengerumuni saya dan kembali memukuli saya. Ada yang dengan tinju, ada yang dengan tendangan di bagian tubuh saya, yang tak terlindungi. Tetapi pitingan korlap sendiri saya rasakan sangat keras sekali, seperti hendak mencekik leher saya.
Namun saya pikir kepala saya memang aman dari pukulan karena dipiting olehnya. Hanya bagian punggung dan perut yang kena.
Di dalam masjid, saya didudukkan di dekat dinding sebelah selatan masjid. Hanya satu meter saja jaraknya dari dinding. Lampu di dalam ruangan temaram. Tak begitu terang.
Beberapa wajah tokoh yang saya kenal ada di situ. Athian Ali Dai dan Ahmad bin Zein Al-Kaff. Mereka berdiri dan terlihat berbincang dengan mimik muka serius. Beberapa anggota LPAS masih berusaha memukuli saya. Namun mereka dicegah oleh korlap mereka yang berkata, “Jangan lakukan kekerasan. Kita mesti hormati Pak Athian. Kita mesti jaga Pak Athian,” ujarnya berkali-kali.
Si Korlap berusaha menenangkan massa yang beringas yang akhirnya berhasil disuruhnya keluar dari ruangan.
Beberapa saat kemudian, ada suara yang mengatakan untuk mengambil telepon genggam saya. Karena telepon genggam saya bersandi, mereka memaksa saya membukanya. Meski diancam, saya diam saja tak menanggapi ancaman mereka.
Lalu ada yang mengatakan, “Sudah, kita buka saja di komputer.” Raib sudahlah telepon genggam dan tas saya digeledah mereka. Sementara orang yang mengaku intel tadi menyalahkan saya kenapa jika saya wartawan, tidak mengisi buku tamu wartawan.
Saya bilang, acara ini kan terbuka, jadi saya merasa tak perlu mengisi buku tamu wartawan. Beberapa teman wartawan yang saya temui juga mengaku tidak mengisi buku tamu. Karena menurut mereka acara ini adalah undangan terbuka. Selain karena padatnya orang yang mengisi buku tamu.
Di dalam masjid ada sekitar tiga puluhan orang. Hampir semuanya laki-laki. Hanya saya lihat ada dua orang ibu-ibu di sana. Satu berbaju oranye agak keemasan, di belakangnya ibu lain berbaju agak merah muda.
Saat duduk dan terus diinterogasi, seseorang meletakkan kartu wartawan dan turbah milik saya beserta kiswah yang saya jadikan kain pembungkusnya. Seorang pria berjenggot tipis maju ketika melihat turbah itu dan langsung mengambilnya.
“Apa ini? Ini turbah, ya? Haah..?” sambil mengejek dan menyorongkan turbah di tangannya itu ke dahi saya hingga kepala saya agak terdorong ke belakang. Hampir membuat saya terjungkal. Turbah adalah batu terbuat dari tanah yang biasa saya gunakan untuk sujud saat shalat.
Lelaki itu lalu mengambil kain pembungkus turbah berwarna hijau yang diambilnya dari tasku. Kain itu yang bertuliskan lafadz berbahasa Arab dengan tulisan Muhammad, Ali, Fatimah, Hasan, dan Husain.
Pria itu berkata, “Apa ini bunyinya?” Ahmad bin Zein al-Kaff, pengurus teras Al-Bayyinat, organisasi yang sangat membenci Syiah, yang saat itu duduk di samping kiri saya, melihat kain yang agak terlipat bertuliskan Fatimah. Tiba-tiba, dia langsung berkata, “Oh, itu Fatimah,” ujar Ahmad bin Zein Al-Kaff, terlihat diam sebentar.
“Sekarang memang miladnya Sayyidah Fathimah.” Kata Ahmad bin Zein.
Yang disebut-sebut Fatimah oleh pria dan Zein al-Kaff adalah putri Nabi Muhammad, perempuan yang sangat dihormati dalam tradisi Syiah.
Mendengar itu, lelaki tadi menurun nada suaranya. Dan pergi begitu saja dari hadapan saya.
Tak lama berselang, ada seorang lelaki berumur lanjut yang mengaku seorang ulama dari Madura. Ia mengajak saya bicara dan menceramahi saya tentang kesesatan Syiah. Ia juga mengungkit-ungkit soal Sampang. Awalnya suaranya datar, tetapi di tengah-tengah tiba-tiba suaranya meninggi dan mulai membentak saya. “Kamu nantang saya ya? Kamu goblok!” bentaknya.
Saya diam saja. Hanya saat ia selesai bicara, saya berusaha menjelaskan bahwa saya hanya wartawan yang ingin meliput peristiwa ini sesuai tugas saya. Kiai tadi tetap membentak-bentak dengan mata melotot dan rahang pipinya yang tebal agak gemeretak sambil menunjuk-nunjukkan jarinya ke wajah saya dan menoleh ke arah lainnya.
“Lihat! Lihat! Mata kamu ini mata singa, ya? Kamu nantang, ya?” bentaknya.
Saya tak tahu seperti apa mata saya ketika itu. Yang jelas tubuh saya sakit dan lemas dipukuli banyak orang. Dan saya merasa orang di hadapan saya ini justru lebih mirip singa daripada saya. Wajahnya pemarah tanpa belas kasih.
Tiba-tiba tangan orang yang katanya ulama ini agak terangkat seperti hendak memukul saya, tapi diurungkannya.
Setelah ulama Madura itu puas menceramahi saya, kini giliran Ahmad bin Zein al-Kaff yang duduk di samping kiri saya mulai menceramahi saya tentang kesesatan Syiah.
Nada suaranya tidak sekeras Kiai sebelumnya, namun tetap dengan kemarahan yang sama. “Saya ini cucunya Sayyidah Fathimah. Kalau Syiah benar, tentu saya ikut Syiah,” ujarnya.
Setelah Zein al-Kaff bangun dari duduknya, saya duduk sendirian di situ. Korlap berbadan besar itu duduk di samping saya dan mengatakan bahwa ia melindungi saya. Kalau saya tak diajak masuk, saya pasti sudah habis dihajar oleh anggota laskar yang menunggu di luar.
Ia mengulang-ulang terus perkataannya itu. Saya hitung, lebih 15 kali ia mengatakan hal itu. Seperti berusaha keras meyakinkan saya. Saya diam saja. Memang saat itu pukulan yang saya rasakan sangat serius menghantam saya, seperti ingin melukai saya.
Saya masih ingat benar tiga wajah pengeroyok saat memukul saya dengan mata melotot sembari memonyongkan mulutnya hingga barisan giginya kelihatan. Bahkan saat saya dibawa ke dalam masjid, di tengah jalan ada orang yang sengaja membungkuk dan meninju perut saya dari arah bawah dengan upper-cut yang sangat keras sekali. Membuat saya limbung sempoyongan.
Lima meter dari tempat saya duduk, saya melihat Athian Ali Dai berdiri dikerumuni sekitar lima orang yang menyorongkan telepon genggam ke depan wajah Athian. Sepertinya mereka sedang mewawancarai Athian Ali Dai.
Usai wawancara, beberapa kali saya melihat Athian Ali Dai, Ketua FUUI yang menjadi penanggungjawab acara ini menoleh ke arah saya. Dia mondar-mandir di dalam ruangan. Keningnya terlihat mengkerut, dan kepalanya agak terlihat menunduk membetulkan letak kacamatanya beberapa kali. Ia terlihat resah.
Berbeda sekali dengan raut wajahnya yang dipenuhi senyum saat diwawancarai wartawan di lantai dua usai deklarasi tadi. Saya tak tahu apa yang ia bicarakan. Tapi beberapa saat kemudian, dari luar datang seorang polisi berompi hitam menghampiri saya.
Tas dan telepon genggam saya yang tadi direbut panitia akhirnya dikembalikan. Polisi lalu menyuruh saya mengeluarkan seluruh isi tas yang sudah dibongkar oleh panitia. Setelah itu ia berkata pada orang-orang yang ada di situ untuk menyaksikan semua isi tas.
Lalu saya disuruh memasukkan lagi semua barang itu ke dalam tas. Sehabis itu saya dibawa keluar dijaga oleh polisi yang kemudian membawa saya ke Polsek Lengkong, Buah Batu dengan sepeda motor.
Saya sampai di Polsek Lengkong sekitar pukul setengah tujuh malam. Di Polsek saya kembali diinterogasi oleh Kanit 3 Intel Polsek Lengkong yang mengaku bernama Melki di ruang intel. Awalnya ia tak percaya saat saya memberitahu bahwa saya adalah wartawan yang sedang bertugas.
Akhirnya setelah saya menghubungi Lutfi, korlip saya, ia percaya. Terlebih setelah itu datang wakil anggota DPP Ormas ABI, bernama Taqi Husaini, yang juga memberikan jaminan tentang pekerjaan saya.
Setelah itu datang juga teman-teman dari Aliansi Jurnalis Indonesia (AJI) dan teman-teman Lembaga Bantuan Hukum (LBH) Bandung yang menguatkan profesi jurnalis saya di hadapan polisi.
Setelah semua kesalahfahaman diklarifikasi, polisi menyuruh saya mengisi surat keterangan. Setelah semua beres, pukul 22.30 WIB, saya bersama teman-teman wartawan dari AJI Bandung dan LBH Bandung keluar dari Polsek Lengkong.
Atas instruksi Pimred ABI Press, saya langsung menuju ke Rumah Sakit Boromeous di Jalan Dago untuk melakukan visum. Dokter menjelaskan luka bekas pukulan saya yang memar di pelipis kanan, pinggang sebelah kiri, dan di bagian perut.
Usai visum kami langsung menuju LBH Bandung. Di sana saya menceritakan kronologi pemukulan yang direkam dan dicatat oleh teman-teman AJI dan LBH Bandung. Usai menceritakan kronologi, saya beserta Taqi Husaini, menuju kediaman kerabat di Geger Kalong untuk beristirahat.
Melapor ke Polrestabes Bandung
Setelah cukup istirahat, Senin (21/4) sekitar jam 17.00 WIB, Pimred saya datang dari Jakarta. Setelah berbincang beberapa saat, kami pergi menuju Hotel Geulis di Dago, tempat kami akan bertemu dengan kawan-kawan dari AJI Bandung dan LBH Bandung.
Ada yang menarik di situ, saat itu Pimred saya, Musa Kadzim, memberitahu bahwa Malik, teman wartawan saya di ABI Press, dikirimi gambar-gambar penangkapan saya (yang saat ini sudah tersebar luas di internet) oleh panitia Deklarasi Aliansi Anti Syiah.
Saat saya hubungi, Malik menyebutkan bahwa pengirimnya adalah Karim, wartawan Wesal TV. Ia mengirim gambar itu sambil menulis di Whatsapp, “Ini temenmu.”
Entah apa maksud pengirim tersebut mengirimkannya ke Malik.
Sekitar pukul 20.30 WIB, menaiki mobil Avanza, kami langsung menuju ke Polrestabes untuk melaporkan penganiayaan ini. Di Polrestabes, kami melaporkan kronologi kejadian pemukulan tersebut secara lengkap.
Laporan kami tercatat dengan nomor LP/818/IV/2014/Polrestabes. Selesai mengurusi pelaporan pukul 23.30, kami melakukan konsolidasi dengan kawan-kawan AJI Bandung dan LBH Bandung. Setelah semua kelar, sekitar jam 00.30 WIB, kami bertolak dari Bandung menuju Jakarta.
Hari yang melelahkan ini pun akhirnya berakhir. Tapi tentu saja saya tahu, ini bukanlah akhir. Ini adalah awal dari lembar-lembar buku perlawanan saya mempersoalkan pengeroyokan dan penganiayaan yang saya derita. Jika mereka bermaksud menakut-nakuti saya agar tidak meliput acara mereka, maka mereka telah keliru. []