Ikuti Kami Di Medsos

Laporan Utama

Hate Speech: Ujar Benci Sarat Provokasi

Hate Speech: Ujar Benci Sarat Provokasi

“Silahkan kalau ada di suatu daerah, ada masuk Syiah, usir dari tempat itu, suruh pindah ke tempat lain, jangan hanya Tajul Muluk saja, bukan hanya Tajul Muluk saja diusir dari tempat itu. Habib yang masuk Syiah usir dari tempat itu karena dia mengotori dan menjatuhkan datuk-datuknya.”

Itulah salah satu kutipan yang terdapat dalam buku Ketidakadilan Dalam Beriman. Kalimat atau ujaran seorang tokoh masyarakat yang videonya diunggah ke YouTube pada 21 Mei 2012 itu disampaikan di depan peserta Perayaan Isra’ Mi’raj Nabi Muhammad SAW di Desa Jaluak Sepuluh, kota Bangkalan, Madura pada tanggal yang sama. Tak lama berselang, tepatnya 26 Agustus 2012, anjuran tokoh masyarakat itu pun menjadi kenyataan. Sejumlah orang dengan senjata tajam terhunus, memaksa, mengintimidasi dan menyerang Muslim Syiah yang berada di Omben dan Karang Gayam, Sampang, Madura.

Aksi penyerangan itu adalah salah satu contoh atau akibat dari adanya hate speech di Indonesia. Ujaran kebencian, yang tak hanya mengakibatkan hilangnya rasa kemanusiaan dan kasih sayang, bahkan hilang pula makna rahmatan lil ‘alamin sebagai ciri utama ajaran Islam. Ya. Begitulah hate speech telah melahirkan anarkisme, berbuah kejahatan bahkan pembunuhan.

Hate speech adalah suatu bentuk komunikasi yang tak dimaksudkan lain kecuali untuk mengungkapkan rasa benci kepada suatu kelompok atau individu tertentu, terkait etnik, gender, agama, suku dan ras yang isinya mengarah pada upaya memprovokasi orang lain agar melakukan tindak kekerasan. [Hate Speech]

Setara Institute dalam bukunya yang berjudul Kepemimpinan Tanpa Prakarsa, di halaman 23 menegaskan bahwa hate speech adalah kejahatan yang didasari kebencian. Perilaku intoleran, dalam hal ini dapat digolongkan sebagai bagian dari hate speech karena bertujuan menyakiti seseorang karena ras, suku, asal negara, agama, orientasi seksual dan faktor cacat.

Sementara Wikipedia Indonesia menjelaskan bahwa bentuk hate speech dapat berupa perkataan, perilaku, tulisan, ataupun pertunjukan yang dapat memicu tindak kekerasan dan sikap prasangka, baik yang dilakukan pelaku hate speech sendiri maupun tindak kekerasan yang dilakukan oleh korban hate speech.

Dalam sejumlah kasus, www.bsu.edu/learningfromhate/hatespeech.htm menyebutkan bahwa hate speech biasanya dilakukan oleh sejumlah oknum mayoritas kepada minoritas dengan maksud merendahkan atau mengintimidasi dan bahkan melakukan tindak kekerasan dengan sejumlah alasan yang sengaja mereka buat.

Kondisi masyarakat Indonesia yang majemuk baik dari segi ras, agama, etnis, dan budaya, membuat negara ini rentan konflik horisontal. Karena itu jika hate speech dibiarkan subur apalagi sampai terjadi secara sistematis maka hal itu akan semakin menyulut konflik dan tak mustahil akan semakin banyak menelan korban jiwa.

Tahun lalu, Komnas HAM menyebut Indonesia dalam kondisi “Darurat HAM.” Kondisi itu ditandai tingginya tindak kekerasan intoleransi sebagai buah dari hate speech yang menjamur terjadi pada tahun 2013 itu, yang ibarat kuda liar terus bergerak merusak tanpa dapat dikendalikan oleh pemerintah karena belum adanya undang-udang yang mampu menjinakkan para pelakunya. Akibatnya, segala bentuk ujaran kebencian pun bebas keluar dari lidah kelompok intoleran di depan publik, sedangkan para pelakunya tak satu pun yang mampu dijerat oleh hukum.

Belakangan ini pun hampir tiap minggu ada kajian agama atau kajian ‘ilmiah’ yang dilakukan sekelompok orang dan di dalamnya berisikan hate speech. Mulai dari menghujat kelompok lain hingga anjuran untuk melakukan tindakan kekerasan.

Ironi, negara yang selama ini telah dikenal dengan keramah-tamahan dan kesantunannya itu kini berubah menjadi sebuah negara yang di dalamnya mulai diisi orang-orang berwatak bengis dan penuh amarah, yang gemar menuangkan kata-kata kebencian terhadap kelompok lain yang berbeda dengan kelompoknya. (Bersambung..) (Lutfi/Yudhi)