Laporan Utama
Hate Speech Ditabur Konflik Menjamur
“Kita habisi saja! Kita hajar kebaktiannya!”
“Gua habisin Lu! Gua sembelih Lu!”
Itulah baris-baris kalimat yang keluar dari mulut anak seorang tokoh agama yang sedang memimpin aksi penolakan pendirian Gereja HKBP Filadelfia di desa Jejalenjaya, Tambun, Bekasi. Dia teriakkan kalimat-kalimat makian dan ancaman itu dengan lantang di depan puluhan peserta aksi pada Minggu 15 April 2012. Kejadian itu tercatat dalam buku Ketidakadilan Dalam Beriman terbitan ILRC (The Indonesian Legal Resource Center) tepatnya pada halaman 58.
Seperti yang telah kami jelaskan pada dua tulisan sebelumnya (Hate Speech: Ujar Benci Sarat Provokasi dan Memahami Sebab dan Dampak Hate Speech) aksi yang terjadi di Bekasi dalam contoh di atas itu pun dapat dikategorikan sebagai ujaran/syiar kebencian atau hate speech yang berpotensi membangkitkan gairah kebencian di tengah khalayak. Akibatnya sudah bisa ditebak. Tak lama setelah itu menyusullah tindakan kekerasan dan pengerusakan terhadap obyek yang mereka benci. Faktanya setelah aksi 15 April 2012 tersebut, intimidasi dan kekerasan terhadap Jemaat Gereja HKBP Filadelfia semakin menjadi-jadi pada minggu-minggu berikutnya.
Saat ABI Press mengkonfirmasi pengaruh buruk hate speech di tengah masyarakat, sejumlah LSM pejuang toleransi dan kebebasan berkeyakinan seperti ILRC, Setara Institute, LBH Jakarta dan Kontras pun membenarkan bahwa hate speech merupakan sumber dari bencana terjadinya konflik horisontal yang selama ini terjadi di Indonesia. Mulai dari kekerasan yang menimpa Jemaat HKBP Filadelfia, pengusiran paksa Muslim Syiah yang ada di Sampang dan Jemaat Ahmadiyah yang hingga saat ini belum juga tenang dalam aktivitas ibadah mereka, dan banyak lagi kasus-kasus serupa lainnya.
“Saya menilai, hate speech itu sumber pemicu utama bentrok horisontal yang ada di Indonesia.” Begitu Abdul Khoir, peneliti Setara Institute menegaskan kepada ABI Press di kantornya, di kawasan Bendungan Hilir, Jakarta Pusat.
Dengan antusias Khoir menjelaskan bahwa kasus-kasus stigmatisasi keyakinan itu berawal dari asumsi-asumsi para pengujar kebencian, yang bila upaya mereka dirasa tak mempan, maka tindakan-tindakan yang lebih mengarah kepada penyerangan fisik dan pengerusakan pun dilakukan.
Senada, Direktur LBH Jakarta, Febi Yonesta mengungkapkan bahwa salah satu biang masalah intoleransi adalah hate speech yang disiarkan secara masif justru oleh mereka yang kebanyakan mengaku sebagai pemimpin agama.
“Bahayanya sangat besar. Karena syiar kebencian yang dilakukan pemuka agama itu biasanya sangat berpeluang menggalang kebencian kelompok yang lebih luas. Nah, karena sifat menjalarnya yang demikian itulah hate speech memiliki potensi memicu kerusuhan massal berupa aksi-aksi anarkis terutama terhadap kelompok minoritas,” ujarnya kepada kami.
Sementara Putri Kanesia, Kepala Divisi Pembelaan Hak-hak Sipil dan Politik dari KONTRAS dan Uli Parulian Sihombing, Direktur Eksekutif ILRC, juga mengamini apa yang disampaikan oleh Abdul Khoir dan Febi Yonesta, bahwa hasil penelitian mereka pun menunjukkan hate speech memang merupakan benih dari sebagian besar konflik horisontal yang terjadi di Indonesia akhir-akhir ini.
Uli mengatakan bahwa dalam hampir sepuluh tahun terakhir ini, persisnya sejak tahun 2005, grafik dari tindakan intoleransi terus mengalami kenaikan.
“Diawali dengan hate speech berupa hasutan dalam bentuk tulisan di media massa, ceramah-ceramah di lapangan terbuka, di radio, maupun media online, hingga ke tingkat melakukan tindak kekerasan yang dilakukan secara eksplisit.”
Menurutnya, yang paling merasakan dampak dari hate speech itu adalah masyarakat luas. Apalagi hingga saat ini klausul tentang hate speech belum dimasukkan dalam klausul peraturan perundang-undangan oleh pemerintah. Sementara masyarakat sendiri masih banyak yang belum paham mengenai hate speech, sehingga membuat mereka cenderung lebih reaktif terhadap label “sesat” dan mudah terprovokasi saat mendengar cap “kafir” yang disampaikan oleh para pelaku hate speech.
Terkait belum adanya peraturan perundang-nudangan yang secara khusus mengatur hate speech di Indonesia, Abdul Khoir kembali menyatakan bahwa hal itu sangat mudah dijadikan mainan empuk kelompok-kelompok tertentu untuk menghembus-hembuskan isu-isu sensitif. “Karena mereka pikir, toh pada akhirnya semua tindakan itu tidak akan mendapatkan sanksi apa-apa,” pungkasnya. (Lutfi/Yudhi)