Kegiatan ABI
Ustadz Zahir Yahya: Indikator Tertinggi Takwa adalah Jiwa yang Tenang

Ahlulbait Indonesia, Jakarta, 15 April 2025 – Salah satu indikator tertinggi dari takwa adalah tercapainya jiwa yang tenang. Demikian penegasan Ustadz Zahir Yahya dalam rapat evaluasi bersama jajaran Dewan Pimpinan Pusat Ahlulbait Indonesia (DPP ABI) pada Selasa, 15 April 2025, di kantor pusat ABI, Jakarta. Dalam tausiyah reflektif sebelum rapat pasca-Ramadan tersebut, beliau menyoroti bahwa ketenangan batin atau nafsul muthma’innah adalah buah utama dari proses ibadah yang dijalani selama bulan suci, dan menjadi indikator paling otentik dari ketakwaan sejati seorang mukmin.
Memahami Jiwa Tenang Lewat Bayang-Bayang Kecemasan
“Ramadan adalah peluang besar untuk meraih jiwa yang tenang, jika kita menjalaninya dengan benar,” ujar ustadz Zahir di awal pemaparannya. Menurut beliau, kondisi kejiwaan yang tenang justru lebih mudah dipahami ketika dibandingkan dengan kondisi sebaliknya: kecemasan. “Jika kita jujur pada diri sendiri, hampir semua aspek dalam hidup ini memicu kecemasan. Kita mencemaskan masa depan, orang yang kita cintai, bahkan diri sendiri.”
Beliau menegaskan bahwa ketenangan bukan hasil instan, melainkan buah dari proses ibadah dan perubahan diri yang konsisten selama Ramadan. “Selama sebulan penuh kita berproses memperbaiki diri. Maka setelah Ramadan, kita seharusnya menjadi pribadi yang lebih peduli, baik dalam kehidupan pribadi, sebagai kepala keluarga, maupun dalam peran kita di organisasi,” jelas beliau.
Komitmen: Kunci Keberhasilan Spiritual Ramadan
Ustadz Zahir juga mengingatkan pentingnya menjaga komitmen yang telah dibangun selama Ramadan. “Kita telah berikrar kepada Allah, Rasul, dan komunitas kita. Maka kita layak merayakan Idul Fitri hanya jika buah Ramadan benar-benar kita petik. Jika tidak, Ramadan hanya menjadi potongan waktu yang lewat begitu saja,” kata beliau.
Takwa: Jalan Panjang Menuju Ketenteraman Jiwa
Beliau merujuk pada ayat Al-Qur’an yang menggambarkan jiwa yang tenang:
“Wahai jiwa yang tenang, kembalilah kepada Tuhanmu dengan rida dan diridai. Masuklah ke dalam golongan hamba-hamba-Ku, dan masuklah ke dalam surga-Ku.” (QS Al-Fajr: 27–30)
Baca juga : ABI Gelar Diskusi Tematik “Beragama Maslahat”: Arah Baru Pemikiran Keagamaan
Menurutnya, ayat ini kerap dimaknai dalam konteks kematian. “Padahal, semestinya ayat ini menjadi target kehidupan. Jiwa tenang adalah buah dari ketakwaan yang dibangun sejak di dunia,” tegasnya.
Lebih jauh, ustadz mengkritisi pemahaman yang menyederhanakan takwa hanya sebagai status otomatis setelah menjalani Ramadan. “Takwa adalah capaian spiritual yang menuntut proses panjang. Dan salah satu indikator tertingginya adalah jiwa yang tenang.”
Dosa sebagai Akar Kecemasan: Tafsir Doa Kumail
Dalam penjelasan tentang kecemasan, ustadz Zahir mengutip pernyataan para ulama yang menyebut bahwa kecemasan sering kali berakar pada dosa, bukan sekadar keadaan. Beliau mengingatkan isi Doa Kumail yang menunjukkan bagaimana dosa-dosa dapat mendatangkan bencana, mengubah nikmat menjadi musibah, dan meruntuhkan penjagaan Ilahi atas individu maupun komunitas.
“Ketika seseorang tak lagi mencemaskan dosa-dosanya, maka penjagaan dari langit pun bisa runtuh. Ini sangat mengkhawatirkan,” tandasnya.
Rezeki Ketenteraman Batin
Ustadz Zahir juga mengingatkan bahwa rezeki yang dijanjikan Allah dalam QS Ath-Thalaq: 3 bukan semata harta, tetapi ketenangan batin. “Kata Imam Ja‘far Shadiq, rezeki yang tidak disangka itu adalah jiwa yang tenteram. Inilah anugerah agung dari ketakwaan.”
Dalam pandangan beliau, kekayaan materi tidak menjamin ketenangan jiwa. “Allah memberi sesuai yang terbaik. Jika kita lebih tenang dengan harta, maka Allah akan beri. Namun banyak orang bertakwa justru hidup sederhana tapi jiwanya tenang,” ujar beliau.
Menjaga Komitmen: Bentuk Takwa yang Sering Terlupakan
Menutup pemaparannya, ustadz Zahir mengajak untuk memaknai dosa secara lebih luas, tidak hanya terbatas pada pelanggaran moral konvensional. “Tidak menjaga integritas terhadap komitmen kita dalam berorganisasi juga adalah bentuk dosa. Komitmen harus dijaga dan dilaksanakan semampunya.”
Apresiasi dan Harapan untuk Keberkahan Kolektif
Terakhir, ustadz mengapresiasi kehadiran penuh jajaran DPP dalam rapat tersebut. “Saya bersyukur atas kebersamaan kita hari ini. Dengan berkumpul dan menyatukan niat, kita sedang memperjuangkan sebuah martabat. Di sinilah keberkahan hidup berawal.” []
Baca juga : DPW ABI NTB Hadiri Undangan FKUB: Teguhkan Komitmen Kerukunan dan Kebhinekaan