Ikuti Kami Di Medsos

Kegiatan ABI

Filosofi Tema Musti dan Muktamar ABI 2024

I.     ORGANISASI BERBUDAYA 

Memasuki dekade kedua abad ke-21 -tepatnya pada pertengahan tahun 2010- hingga saat ini, para pengikut Ahlulbait di Indonesia berusaha melakukan aktualisasi diri dan pemantapan eksistensinya melalui gerakan institusional dan struktural dengan mendirikan organisasi kemasyarakatan yang secara formal terdaftar di Kemendagri RI.

Dengan demikian, para pengikut Ahlulbait berharap dapat menikmati seluruh hak hukum/sipil sebagai warga negara dan sebagai bagian dari bangsa Indonesia, serta mempunyai kesempatan untuk membangun dan mengembangkan diri secara terorganisasi.

Namun upaya mengorganisasi masyarakat Ahlulbait, pada gilirannya, menghadapi berbagai rintangan dan kendala yang tidak sedikit; mulai dari terbatasnya SDM dan sumber daya lainnya hingga minimnya pengetahuan dan skill, kurangnya rasa percaya diri, dan bahkan individualisme serta primordialisme dalam prilaku sebagian anggota masyarakat pengikut Ahlulbait.

Karena pola sikap dan perilaku manusia ditentukan oleh kebudayaannya dan, pada gilirannya, kebudayaan dapat memengaruhi kemajuan maupun kemunduran individu, entitas sosial seperti lembaga/organisasi dan bahkan entitas bangsa dan negara, maka setiap upaya untuk menanggulangi rintangan dan kendala menuju aktualisasi diri dan pemantapan eksistensi masyarakat pengikut Ahlulbait harus melewati proses pembangunan budaya yang dapat melahirkan pola sikap dan perilaku resisten terhadap semua bentuk kekurangan dan keterbatasan yang dimiliki masyarakat pengikut Ahlulbait di Indonesia.

Sementara itu, unsur paling sentral dalam suatu kebudayaan adalah pandangan dunia (keyakinan) dan nilai-nilai (values). Secara sekilas, pandangan dunia merupakan konsepsi tentang apa yang benar atau salah, dan nilai-nilai adalah konsepsi tentang baik atau buruk. Sistem keyakinan dan nilai inilah yang kemudian menghasilkan norma dan pranata yang merupakan rambu-rambu yang mengatur perilaku manusia dalam bermasyarakat.

Melihat pertumbuhan masyarakat dan juga Ormas AHLULBAIT INDONESIA yang tidak/belum sesuai dengan harapan, maka pertanyaan yang otomatis muncul adalah: Apakah kita memiliki kemiskinan budaya? Atau apakah ada yang salah pada kebudayaan kita? Apakah kebudayaan merupakan sesuatu yang melekat (inherent) dan tidak mungkin diubah atau dibangun?, dan pertanyaan yang lebih penting adalah: ”Apakah kita memang telah membangun budaya kita sendiri selama ini?”, atau jangan-jangan selama ini kita hanya sibuk merangkai identitas sosial- keagamaan dari puing-puing perbedaan antara kita dan masyarakat lain?

Masyarakat pengikut Ahlulbait tentu memiliki keyakinan dan nilai-nilai luhur dan adiluhung, sebut saja nilai tentang wilayah, taklif, intizhar, muqawamah dan lainnya. Namun sayangnya semua itu hanya merupakan “nilai-nilai ideal” (ideal values), sementara itu kehidupan sehari- hari mereka dikendalikan dan diarahkan oleh seperangkat nilai-nilai lain seperti pragmatisme (baik pada tingkat individu, kelompok, daerah bahkan yayasan), individualisme, primordialisme, dan dogmatisme. Ini semua adalah real atau actual values. Masyarakat lain pasti juga mengalami kesenjangan antara nilai ideal dan actual, tetapi pada masyarakat pengikut Ahlulbait di Indonesia, kesenjangan ini terasa amat dalam bahkan diametral, sehingga paradoks antara keyakinan kepada prinsip dan nilai intizhar dan muqawanah, sebagai misal, dengan sikap pasif dan lemah dalam menghadapi rintangan dan kendala, alih- alih dipandang sebagai sebuah ironi justru dianggap sebagai fenomena yang lumrah.

Dalam rangka keluar dari situasi yang anomic (perilaku apatis dan tanpa arah, disorganisasi hubungan), Organisasi yang mengemban visi pembangunan masyarakat pengikut Ahlulbait harus mampu merumuskan nilai-nilai inti (core values) yang diyakininya sebagai prinsip- prinsip dasar kebijakan program dalam Garis-garis Besar Haluan Organisasi (GBHO), dan menjadikan “Pembangunan Budaya” sebagai prioritas misi dan program-programnya.

Implementasi program “Pembangunan Budaya”, pada gilirannya, meniscayakan peran aktif Organisasi dalam menyosialisasikan, termasuk bekerja sama dengan institusi-institusi yang berada dalam rentang koordinasinya, untuk menyebarkan nilai-nilai yang merupakan bagian sentral dari budaya organisasi di tengah masyarakat pengikut Ahlulbait.

II.   ORGANISASI BERKEARIFAN

Indonesia adalah oase indah dan mengagumkan yang menampilkan banyak spektrum warna dan keanekaragaman dalam tradisi, budaya, kepercayaan dan keyakinan manusianya.

Seluruh elemen masyarakat di Indonesia berpeluang dan berhak membangun dan mengekspresikan keyakinan mereka, termasuk dengan cara melakukan kulturisasi keyakinan dan nilai-nilai sehingga masyarakat penganut dapat menjalaninya sebagai bagian dari adat istiadat dan budaya yang bersumber dari keyakinan dan agamanya.

Nilai-nilai budaya yang bermuara langsung dari ajaran agama dapat mengantarkan kepada kesadaran kolektif bahwa identitas kebudayaan bangsa Indonesia sebenarnya terbentuk dari hasil interaksi dan persilangan antar pengikut beragam agama dan aliran pemikiran/mazhab yang menetap di Nusantara, yang dengan modal kearifan setempat (local wisdom) dapat diolah dan diekspresikan sebagai budaya Nusantara, terlepas dari asal dan sumber keagamaannya.

Dewasa ini, kemerdekaan mengekspresikan keyakinan dan budaya sebagaimana dijamin oleh Konstitusi Negara Republik Indonesia masih berhadapan dengan sejumlah rintangan, terpenting di antaranya adalah masalah pengerasan identitas primordial dan sentimen sektarian yang menghancurkan sendi budaya masyarakat.

Oleh sebab itu, upaya penguatan dan pembangunan budaya para pengikut Ahlulbait di Indonesia membutuhkan strategi dan rumusan langkah-langkah terencana, terukur dan tersusun rapi hingga berhasil meraih kesetaraan dan kesempatan yang adil untuk menampilkan ekspresi budayanya, tanpa mengalami stigmatisasi dan diskriminasi berbasis prasangka sebagai minoritas yang memuja dan mempromosikan budaya “pendatang”. Meski sebenarnya terdapat banyak objek budaya, baru dan lama, yang tercipta berkat hibridisasi antara budaya setempat dan budaya yang berlatar belakang pemikiran/agama/aliran dan bahkan datang dari tempat yang berbeda.

Mereferensi kepada pentingnya pengaruh faktor budaya atas perkembangan organisasi dan masyarakat, maka di hadapan Ormas AHLULBAIT INDONESIA tidak terdapat pilihan kecuali segera mengidentifikasi kekuatan-kekuatan budaya yang khas dan bermuara dari kekuatan tata keyakinan dan tata nilai yang diyakini, untuk kemudian membangun dan menyosialisasikannya di tengah kehidupan riil masyarakat dengan mengedepankan unsur kreativitas dan kearifan lokal yang bisa membantu menghindarkan mereka dari sasaran prasangka dan stigma buruk.

***

Organisasi AHLULBAIT INDONESIA, dituntut oleh visi dan misi yang diimaninya memberikan pelayanan atau khidmat demi membangun komunitas yang solid dan berdaya sebagai bagian integral umat Islam dan sebagai elemen penting bangsa Indonesia dalam dua dimensi. Dua dimensi khidmat yang dimaksud adalah khidmat keumatan dan khidmat kebangsaan.

III. KHIDMAT KEUMATAN

Khidmat keumatan merujuk pada pelayanan dan kontribusi yang diberikan dalam konteks keumatan atau keagamaan, khususnya dalam memperkuat dan mengembangkan keimanan serta ajaran agama Islam.

Dalam konteks Organisasi AHLULBAIT INDONESIA, khidmat keumatan dapat diwujudkan melalui penyelenggaraan kegiatan ibadah, pengajaran agama, dakwah, dan berbagai aktivitas keagamaan lainnya yang bertujuan untuk mendekatkan diri kepada Allah Swt, serta meningkatkan pemahaman dan pengamalan ajaran Islam.

Selain itu, khidmat keumatan juga mencakup upaya untuk memberikan bimbingan spiritual, moral, dan keagamaan kepada Anggota Organisasi AHLULBAIT INDONESIA agar dapat menjadi umat Islam yang taat dan bermanfaat bagi masyarakat.

Khidmat keumatan merupakan produk iman kepada otoritas vertikal yang mutlak dari Tuhan, Nabi skala umum umat Islam, serta Ahlulbait dalam skala khusus umat Islam bermazhab Syiah Imamiyah.

Oleh karena dimensi keumatan tidak dibatasi oleh teritori negara, maka area khidmat keumatan adalah lokal (Indonesia), regional (dunia Islam) dan global dengan memperhatikan gradasi prioritas dan urgensinya.

Dalam konteks khidmat keumatan inilah mendukung secara aktif perjuangan rakyat Palestina dalam melawan entitas destruktif dan rezim maha biadab Israel yang didukung oleh Pemerintahan Imperialis Amerika Serikat menempati posisi sentral setiap Anggota Organisasi AHLULBAIT INDONESIA.

Dalam konteks ini pula, menentang segala upaya licik menormalisasi hubungan diplomatik antara Indonesia dan rezim pelaku genosida itu.

IV. KHIDMAT KEBANGSAAN

Khidmat kebangsaan mencakup pelayanan dan kontribusi yang diberikan kepada negara dan masyarakat Indonesia secara umum.

Dalam konteks Organisasi AHLULBAIT INDONESIA, khidmat kebangsaan dapat diwujudkan melalui berbagai kegiatan sosial, pendidikan, dan kemanusiaan yang dilakukan untuk kepentingan masyarakat luas tanpa memandang perbedaan agama, suku, atau etnis; seperti melakukan kegiatan bakti sosial, program pengabdian masyarakat, memperjuangkan hak asasi manusia, atau turut serta dalam upaya menjaga perdamaian dan keberagaman di Indonesia.

Khidmat kebangsaan merupakan produk iman kepada otoritas horizontal yang berdiri di atas sebuah kontrak yang secara rasional dan tekstual (keagamaan) terkonfirmasi dari otoritas vertikal sehingga mengikat setiap individu sebagai anggota dalam sebuah negara yang berasaskan Pancasila dan UUD 45.

Dengan menjalankan kedua dimensi pelayanan dan kontribusi tersebut, komunitas Muslim Syiah di bawah payung Organisasi AHLULBAIT INDONESIA diharapkan dapat mengoptimalkan perannya secara seimbang sebagai bagian bangsa Indonesia dan umat Islam juga umat manusia. []