Kalam Islam
Ayatullah Taqi Misbah Yazdi: Kekayaan dan Kefakiran, Media Ujian
Seorang mukmin hendaknya tidak terikat oleh dunia. Ketika dunia diambil darinya, itu adalah ujian lain berbentuk bencana dan ia mesti bersabar menghadapinya. Akan tetapi, maksud dari kesabaran atas kefakiran bukan berarti seseorang tidak berusaha menghilangkan kefakiran. Namun maksudnya adalah selama kefakiran masih menimpa, ia harus tetap bersabar dan tabah.
Penjelasan atas kutipan di atas adalah bahwa Allah Swt berdasarkan hikmah dan maslahat, menentukan takdir dan ketentuan bagi hamba-hamba-Nya. Ketentuan-ketentuan ini tidak bertentangan dengan kebebasan memilih hamba. Artinya, bukan berarti seseorang majbur (terpaksa) dan ikhtiar serta pilihan tercerabut darinya. Allah Swt mempersiapkan sebab-sebab; siapa saja memiliki bagian dari kenikmatan dan Dia menganggapnya maslahat, akan diberikan kepadanya, dan tidak diragukan lagi bahwa semua ini merupakan sarana ujian.
Seorang mukmin pasti yakin dengan apa yang baik dan maslahat dari sesuatu yang telah ditakdirkan Allah. Jika seisi dunia ada di tangannya, itu adalah kebaikan baginya. Begitu pula jika ia tertimpa kesulitan dan kezaliman orang lain, ia akan berbaik sangka kepada Allah Swt, menganggap itu semua juga sebagai kebaikan. Ia merasa bahwa semua kesulitan dan cobaan adalah penyebab terampuninya dosa serta naik derajatnya. Berbeda dengan anggapan orang yang memiliki pandangan dangkal, ketika Allah menakdirkan seseorang menjadi fakir, ia menganggap takdir-Nya didasari oleh kebencian. Begitu pula ketika Allah memberi rezeki kepada seseorang, ini bukan berarti Dia mencintainya!
Manusia jahil yang tidak mengambil manfaat dari ajaran agama serta para nabi as ketika ditimpa kemiskinan, akan berkata bahwa Allah telah menghinakan dirinya dan ia tidak bernilai di sisi-Nya sehingga Dia membuatnya sengsara.
Adapun bila Tuhan mengujinya lalu membatasi rezekinya, maka ia berkata, “Tuhanku menghinakanku” (QS. al-Fajr: 16)
Sementara di ayat lain, Allah Swt berfirman: Adapun manusia apabila Tuhan mengujinya lalu ia dimuliakan-Nya dan diberi-Nya kesenangan, maka dia akan berkata, “Tuhanku telah memuliakanku” (QS. al-Fajr: 15)
Al-Quran, selain menyatakan bahwa kefakiran dan kekayaan merupakan ujian, juga menegaskan bahwa itu semua merupakan hasil dari sebab-akibat. Terkadang kefakiran seseorang diakibatkan oleh amal keburukannya dan balasan dunia atas perbuatannya, dimana ia tidak berkasih sayang kepada orang fakir dan hanya menumpuk harta untuk diri sendiri. Setiap sesuatu tentunya memiliki perhitungan, hikmah dan maslahat. Ini bukan berarti semua keluar dari wewenang Allah atau akibat kelalaian-Nya, sehingga keadaan menjadi rusak, seperti lahar api begitu saja keluar dari gunung dan menghancurkan kota, atau hujan deras mengakibatkan banjir yang menghancurkan rumah-rumah. Seorang mukmin tahu bahwa Allah kuasa atas segala sesuatu dan segala sesuatu tidak keluar dari ilmu dan izin-Nya, dimana aturan semua makhluk di dunia ada di tangan-Nya.
Dia mengatur urusan dari langit ke bumi, kemudian (urusan) itu naik kepada-Nya. (QS. as-Sajdah: 5)
Maka, ukuran kemuliaan dan kehinaan di sisi Allah bukanlah memiliki atau tidaknya sesuatu. Ukuran kemuliaan seseorang adalah bagaimana ia menjalankan tugas-tugasnya. Ketika memiliki harta, ia menjalankan tanggung jawabnya terhadap harta dan ketika ia miskin, tugasnya adalah bersabar. Allah Swt berfirman: Tiada suatu bencana pun yang menimpa di bumi dan (tidak pula) pada dirimu sendiri melainkan telah tertulis dalam Kitab (Lauh Mahfuzh) sebelum kami menciptakannya. Sesungguhnya yang demikian itu adalah mudah bagi Allah. (QS. al-Hadid: 22)
*Sumber: Ayatullah Taqi Misbah Yazdi, Menjadi Manusia Ilahi