Al-Quran dan Hadis
Tetangga dalam Pandangan al-Quran
Hubungan ketetanggaan memiliki peranan yang besar dalam membangun kehidupan sosial yang sehat, karena hubungan ini menempati peringkat kedua dalam jaring sosial setelah hubungan keluarga. Oleh karena itu, dalam syariat Islam kita dapati perhatian khusus tentang hubungan ini.
Di dalam al-Quran terdapat satu ayat yang menyebut lafadz al-Jar (tetangga) sebanyak dua kali, yaitu firman Allah, Sembahlah Allah dan janganlah kamu mempersekutukan-Nya dengan sesuatu pun. Dan berbuat baiklah kepada kedua orangtua ibu bapak, karib kerabat, anak-anak yatim, orang-orang miskin, tetangga yang dekat dan tetangga yang jauh, teman sejawat. (QS. an-Nisa: 36)
Merenungi ayat suci ini, akan memahamkan kita pada tujuan kepedulian Islam terhadapnya, yaitu bahwa Allah Swt telah menyertakan hak tetangga bersama hak ibadah kepada-Nya, bersama hak orangtua, hak kerabat dan kaum miskin. Hal ini merupakan petunjuk yang jelas atas pentingnya hak tetangga di dalam Islam, karena keselarasannya dengan tauhid dalam satu jalan. Karena kepedulian Islam kepadanya itu, maka seyogyanya kita membahas dan mempelajarinya.
Syeikh Abu Ali ath-Thabarsi dalam tafsirnya tentang ayat ini mengatakan, “Ketika Allah memerintahkan akhlak mulia terhadap urusan anak-anak yatim, suami-istri dan keluarga, Allah menghubungkan (‘ataf) hal itu dengan nilai-nilai perbuatan dan perbuatan-perbuatan baik. Dia memulainya dengan perintah beribadah kepada-Nya, dalam firman-Nya, Sembahlah Allah dan janganlah menyekutukan-Nya dengan sesuatu apapun, yakni esakanlah dan agungkanlah Allah. Janganlah menyekutukan Allah dengan selain-Nya dalam beribadah kepada-Nya. Sesungguhnya beribadah tidak diperkenankan kepada selain-Nya, sebab kewajiban ibadah diperuntukkan bagi Zat yang memberikan nikmat-nikmat, dan tiada selain-Nya yang mampu memberikan nikmat-nikmat.
Dan berbuat baiklah kepada kedua orangtua, yakni berbaktilah kamu kepada mereka, berilah penghormatan, dan berbuat baiklah serta muliakanlah mereka. Dikatakan, bahwa dalam ayat itu tersembunyi fi’il (kata kerja), yakni, “Allah mewasiatkan kepada kalian agar berbuat baik kepada kedua orangtua. Dan karib-kerabat, anak-anak yatim dan orang-orang miskin”, yakni berbuat baiklah kepada kedua orangtua secara khusus dan karib-kerabat secara umum. Dan berbuat baiklah kepada orang-orang miskin serta janganlah mengabaikan mereka. Berilah mereka apa yang mereka butuhkan seperti makanan, pakaian dan segala kebutuhan primer lainnya.
“Dan tetangga dekat dan jauh” dikatakan maknanya ialah bahwa tetangga yang dekat terdapat dalam hubungan nasab dan tetangga yang jauh adalah orang yang tidak tidak memiliki kekerabatan hingga beliau berkata, “lni adalah ayat gabungan yang memuat penjelasan tentang rukun-rukun Islam, mengingatkan akan akhlak mulia. Sesiapa yang merenunginya dengan baik dan memikirkan dengan benar, maka baginya sama dengan nasihat-nasihat orang pintar dan mengarahkannya kepada pengetahuan para ulama yang melimpah.” (Majma al-Bayan fi Tafsiril Quran, jil. II, hal. 48)
Dan Nabi saw sangat menekankan akan hak tetangga. Beliau telah mampu mengubah nilai dan budaya masyarakat jahiliah (dari nilai dan budaya yang rendah berbalik menjadi nilai dan budaya yang tinggi). Memang benar, bahwa masyarakat jahiliah secara umum menghormati tetangga dan menjaga kehormatan dan harta bendanya. Seperti yang dikatakan penyair Rabi’ah bin ‘Amir:
Tetangga sampingku tak ganggu
Pintunya selalu terbuka untukku
Kujaga mata jika yang keluar wanitanya
Sampai ia masuk dalam ruang kamarnya
Apiku dan api tetanggaku satu
Padanya turun kualiku lebih dulu
Tetapi sebenarnya, kebanyakan hak-hak tetangga dilanggar; diteror, harta benda mereka dirampas, wanita-wanitanya diboikot bertahun-tahun dan menyulutkan pertikaian yang terus memanas karena faktor balas dendam, fanatisme kesukuan, nafsu serakah dan interes-interes pribadi. Lebih dari itu egoisme meluas di masyarakat jahiliah yang berada di tepi jurang kehancuran. Maka Islam menyelamatkan mereka dari kehancuran dan mengantarkan mereka ke kehidupan yang baru setelah menanamkan di dalamnya nilai-nilai dan budaya-budaya baru.
Wahyu mengembalikan wajah kesadaran sosial dan mencetak jiwa-jiwa yang mulia, yang mengutamakan kepentingan sosial di atas kepentingan pribadi. Catatan-catatan buku sejarah menjadi bukti paling otentik atas itu. Misalnya, seorang sahabat Rasulullah diberi hadiah kepala domba, ia berkata, “Sesungguhnya saudaraku fulan dan keluarganya lebih membutuhkan hadiah ini ketimbang kami.”
Maka hadiah kepala kambing itu pun diantarkan kepada mereka, namun masing-masing terus melimpahkan hadiah itu kepada yang lain hingga melewati tujuh buah rumah. Sampai kepala domba itu kembali ke rumah pertama. (As-Suyuti, ad-Durrul Mansur)
Markaz ar-Risalah, Hak-Hak Sipil dalam Islam