Al-Quran dan Hadis
Tafsir Surah al-Anbiya 73: Imamah dan Kepemimpinan
وَجَعَلْنَٰهُمْ أَئِمَّةً يَهْدُونَ بِأَمْرِنَا وَأَوْحَيْنَآ إِلَيْهِمْ فِعْلَ ٱلْخَيْرَٰتِ وَإِقَامَ ٱلصَّلَوٰةِ وَإِيتَآءَ ٱلزَّكَوٰةِ ۖ وَكَانُوا۟ لَنَا عَٰبِدِينَ
Kami telah menjadikan mereka itu sebagai pemimpin-pemimpin yang memberi petunjuk dengan perintah Kami dan telah Kami wahyukan kepada mereka agar mengerjakan kebajikan, mendirikan salat, menunaikan zakat, dan hanya kepada Kami-lah mereka selalu menyembah. (QS. al-Anbiya: 73)
Ayat ini secara umum merujuk pada kedudukan imamah dan kepemimpinan dari nabi-nabi besar ini, dan juga sebagai bagian dari program mereka yang penting dan bernilai.
Di sini, secara keseluruhan, disebutkan enam kekhususan dari sifat-sifat mereka itu, yang jika kita tambahkan kepadanya sifat orang-orang saleh yang disebutkan dalam ayat sebelumnya, maka seluruhnya menjadi tujuh kekhususan. Mula-mula, ayat di atas mengatakan, Kami jadikan mereka pemimpin-pemimpin
Ini berarti bahwa, di samping derajat kenabian dan kerasulan, Allah Swt juga memberi mereka kedudukan imamah. Seperti juga telah disebutkan sebelumnya, imamah Ilahi adalah tahap terakhir perkembangan manusia yang berarti kepemimpinan mutlak atas manusia, baik di bidang material, spiritual, eksoterik, esoterik, dan fisik maupun mental.
Perbedaan antara kenabian dan kerasulan dengan imamah terletak pada kenyataan bahwa nabi-nabi Tuhan yang berkedudukan sebagai nabi dan rasul hanya menerima perintah Allah Swt dan menyampaikannya kepada manusia, dan komunikasi ini sering disertai kabar-kabar gembira dan peringatan. Sedangkan, dalam tahap imamah, para imam melaksanakan program-program Ilahi dalam tindakan, baik itu dilakukan dengan membentuk pemerintahan yang adil ataupun tidak. Dalam tahap ini, mereka adalah pendidik-pendidik yang juga melaksanakan ketetapan-ketetapan dan program-program Tuhan, seraya mendorong perkembangan manusia dengan menciptakan lingkungan hidup yang bersih.
Sesungguhnya, kedudukan imamah adalah kedudukan pembuktian kebenaran semua program Tuhan. Dengan kata lain, ia merupakan pelaksanaan pencarian dan juga pembimbingan keagamaan dan tuntunan Ilahi. Dari sudut pandang ini, imamah laksana mentari yang membantu perkembangan makhluk-makhluk hidup melalui sinarnya.
Selanjutnya, al-Quran mengulangi aktualitas dan konsekuensi kedudukan ini. Ayat di atas selanjutnya mengatakan, …yang membimbing (manusia) dengan perintah Kami,…
Bimbingan ini bukan hanya dalam pengertian memimpin dan menunjukkan jalan, yang tercakup dalam tugas kenabian dan kerasulan, tapi juga dalam pengertian memberikan pertolongan dan mencapai tujuan (tentu saja bagi mereka yang reseptif dan memiliki kemampuan).
Dari bagian terakhir ayat di atas, dapat ditarik kesimpulan bahwa imam (pemimpin manusia yang bersifat mutlak dan tak bercacat) haruslah ditunjuk Allah Swt. Sebab, pertama, imamah adalah sejenis perjanjian Ilahi, dan adalah jelas bahwa pemimpin seperti itu harus ditugaskan Allah Swt yang merupakan salah satu pihak dalam perjanjian tersebut.
Kedua, orang-orang yang dengan suatu cara telah bertindak zalim dan dalam kehidupannya terdapat noktah hitam kezaliman, baik itu terhadap diri sendiri ataupun orang lain, atau menjadi penyembah berhala walaupun hanya sesaat, tidaklah patut menduduki tampuk imamah. Dengan kata lain, seorang imam haruslah manusia maksum sepanjang hidupnya.
Dapatkan manusia, selain Allah Swt, mengetahui keberadaan sifat seperti itu pada diri seseorang?
Jadi, kalau kita bermaksud memilih pengganti Nabi saw dengan kriteria ini, maka tak ada orang lain yang layak menduduki jabatan tersebut selain Amirul Mukminin Ali bin Abi Thalib.
Adalah menarik bahwa penulis tafsir al-Manar meriwayatkan dari Abu Hanifah yang meyakini bahwa kekhalifahan adalah hak eksklusif keturunan Ali bin Abi Thalib, dan karena alasan itu, ia menganggap pemberontakan melawan pemerintah yang ada di masa itu (Khalifah Mansur dari Bani Abbas) adalah halal. Dengan itu pula, ia menolak menerima jabatan qadz’ (hakim) dalam pemerintahan Bani Abbas.
Selanjutnya, penulis al-Manar menambahkan bahwa keempat pemimpin kaum Suni (mungkin yang dimaksud adalah empat imam fikih mazhab Suni, yakni Abu Hanifah,1mam Malik Imam Syafi’i dan Ahmad bin Hanbal-red.) mungkin sekali memusuhi pemerintah di masanya masing-masing dan menganggap mereka tidak berhak memegang jabatan kepemimpinan atas kaum Muslim karena mereka adalah orang-orang kejam dan zalim. (AL-Mnar, jil. 1, hal. 457-458)
Tetapi, mengherankan bahwa banyak di masa kita sekarang justru setuju dan mendukung pemerintahan tiranik yang zalim dan menjalin hubungan erat dengan musuh-musuh Islam, dan yang kezaliman serta kejahatannya diketahui orang banyak; namun, para mereka dengan mudahnya memandang pemerintahan yang zalim itu sebagai ulil amri (pemegang otoritas) dan ’yang harus dipatuhi’,
Dari uraian di atas dapat dikerucutkan ke dalam beberapa poin kesimpulan:
- Sama dengan kenabian, imamah harus ditetapkan Allah Swt. Al-Quran mengatakan, Dan Kami jadikan mereka pemimpin-pemimpin…
- Jika imamah diperoleh dengan kekerasan dan kezaliman, maka itu merupakan undangan ke neraka. Al-Quran mengatakan, …pemimpin-pemimpin (yang) mengajak ke neraka…(QS. Al-Qashash: 41). Tetapi, jika diberikan Allah Swt, maka imamah diberkati dan berada di jalan kebenaran.
- Bimbingan yang diberikan para nabi itu bukanlah menurut kehendak dan selera mereka sendiri, melainkan menurut perintah Allah, …yang membimbing (manusia) dengan perintah Kami…
- Salat dan zakat adalah dua dasar pokok semua agama. Karena tanpa salat dan zakat, tak seorang pun akan mampu mencapai derajat penghambaan sejati kepada Allah Swt. Ayat di atas mengatakan, dan Kami wahyukan kepada mereka agar mengerjakan kebajikan, mendirikan salat, menunaikan zakat, dam hanya kepada Kamilah mereka selalu menyembah.
- Dari ayat ini kita dapat memahami bahwa agama tak dapat dipisahkan dari pemerintahan. Dan Kami jadikan mereka pemimpin-pemimpin, yang membimbing (manusia) dengan perintah Kami.
*Kamal Faqih Imani, Tafsir Nurul Quran