Kajian Islam
Tingkatan Ibadah
Manusia memiliki sikap yang berbeda terhadap ibadah. Tidak semua manusia memandang ibadah dengan cahaya yang sama. Bagi sebagian orang, ibadah merupakan sejenis transaksi, barter dan pertukaran, ini seperti seorang yang bekerja demi mendapatkan upah. Seorang pekerja yang telah menghabiskan waktunya dan bekerja demi keuntungan sang majikan, maka ia mengharapkan upah sebagai balasannya, demikian pula seorang hamba yang beribadah demi mendapatkan pahala Tuhannya, maka ia mengharapkan dirinya akan diterima di akhirat. Menurut perspektif kelompok ini, jika seorang hamba beribadah demi pahala dalam bentuk kedamaian dan kesejahteraan –yang kelak diterimanya di akhirat– ia tak ubahnya seperti seorang buruh yang hanya bekerja demi mendapatkan upah.
Memang, setiap majikan membayar upah sebagai balasan terhadap pekerjaan yang dilakukan oleh para pekerjanya. Namun, keuntungan apa yang bisa Tuhan Semesta Alam dapat dari pekerjaan seorang hamba yang lemah dan rendah? Malahan, jika kita menganggap bahwa Majikan Besar (Tuhan) membayar hamba-hamba-Nya dalam bentuk rahmat dan ganjaran di akhirat, lantas mengapa Dia tidak memberikan balasan kepada mereka yang tidak berusaha dan menggunakan tenaganya?
Inilah persoalan-persoalan yang tak pernah muncul pada kelompok saleh ini. Dari sudut pandang mereka, inti ibadah terletak pada gerakan-gerakan tubuh tertentu yang teramati dan komat-kamitnya lidah. Inilah satu sikap dan pandangan terhadap ibadah.
Dalam kata-kata Ibn Sina (al-Isyarat, bab 9) sikap itu merupakan sikap orang tak tercerahkan dan jahil akan Tuhan (God-ignorant), yang hanya dapat diterima oleh para pekerja.
Pendekatan lain terhadap ibadah adalah pendekatan terbuka. Di sini persoalan-persoalan yang disebutkan sebelumnya seperti pekerja dan majikan, pekerjaan dan upah, tidak punya relevansi. Dalam pendekatan ini ibadah dipandang sebagai langkah-langkah untuk mencapai kedekatan kepada Allah, sebagai sarana keunggulan manusia, pendidikan, pengangkatan jiwa dan perjuangannya menuju cakrawala keagungan ruhani yang tak terlihat, sebagai suatu latihan penguatan daya spiritualnya, sebagai suatu kemenangan jiwa di atas alam duniawi. Ibadah merupakan ekspresi tertinggi dari rasa syukur dan cinta manusia kepada Pencipta-Nya dan deklarasi cintanya kepada Yang Mahasempurna dan Mahaindah, dan terakhir, perjalanannya menuju Allah.
Menurut pendekatan ini, ibadah memiliki suatu bentuk dan jiwa, penampakan dan makna batin. Apa yang diperagakan oleh lidah dan gerakan anggota-anggota tubuh lainnya, adalah bentuk, lapisan luar, dan penampakan lahiriah ibadah. Adapun jiwa dan maknanya sesuatu yang lain. Jiwa ibadah terkait dengan arti penting yang melekat pada ibadah yang dilakukan oleh si hamba, sikapnya terhadap ibadah itu sendiri, motif terdalamnya yang menggerakkannya kepada ibadah, kepuasan akhir dan manfaat yang ia ambil darinya, dan sampai ke tingkat di mana ia melintasi Jalan-Nya dalam suluknya menuju Tuhan.
Syahid Muthahhari, Tema-tema Pokok Nahjul Balaghah