Kajian Islam
Pemahaman Keliru tentang Zuhud
Seluruh urusan duniawi merupakan tugas yang harus kita laksanakan. Akan tetapi, kenikmatan duniawi jelas berbeda dengan kenikmatan ukhrawi. Dilema yang timbul darinya adalah, apakah kita harus merasakan kenikmatan duniawi dan menjauhkan diri dari kenikmatan ukhrawi, ataukah kita harus mencari kenikmatan ukhrawi dan menghindarkan kenikmatan duniawi?
Abu Ali Sina dalam kitab Isyarat, bagian ke-9, mengatakan, “Orang yang berpaling dari kenikmatan dunia untuk mencapai kenikmatan akhirat, disebut orang yang zuhud.”
Bagaimana sebenarnya pendapat ini?
Apakah Islam mengatakan adanya dua macam kenikmatan?
Apakah Islam meyakini bahwa bila menikmati kelezatan dunia, manusia akan kehilangan nikmat ukhrawinya?
Apakah Islam meyakini, apabila menjauhkan diri dari kenikmatan dunia dan melepaskannya, manusia akan memperoleh ganti rugi (di akhirat)?
Dengan kata lain, apakah setiap orang berhak mendapatkan ukuran tertentu dari kenikmatan yang harus dicapai, baik di dunia dan di akhirat?
Apakah orang yang telah mendapatkan kenikmatan di dunia, tidak akan kebagian nikmat akhirat?
Sebaliknya, apakah orang yang belum memperolehnya ketika di dunia akan mendapat bagiannya di akhirat?
Mereka sebenarnya keliru dalam memahami ayat yang berbunyi: Kamu telah menghabiskan rezekimu yang baik dalam kehidupan duniamu (saja)… (QS. al-Ahqaf: 20)
Pemahaman semacam ini jelas keliru! Jika dalam kehidupan dunia seseorang menjauhkan diri dari kenikmatan yang terkandung di dalamnya, bahkan melepaskannya, ia tidak akan merasakan kenikmatan duniawi. Dan di akhirat nanti pun, ia tetap tidak akan memperoleh kenikmatan. Kenikmatan ukhrawi diperoleh melalui berbagai faktor lain, dan bukan disebabkan oleh pengabaian kenikmatan duniawi secara sengaja.
Aspek lain dari persoalan ini adalah; apakah dengan menikmati dunia, kita tidak lagi berhak memperoleh kenikmatan lain? Jika memang demikian, berarti Anda harus menanggung nasib buruk, yakni penderitaan di dunia dan juga di akhirat. Keduanya tidak mungkin diperoleh secara bersamaan. Menurut logika Islam, pendapat semacam ini tidaklah masuk akal.
Imam Ali as dalam kitab Nahjul Balaghah mengatakan, “Orang-orang yang takwa kepada Allah telah ikut serta dalam kegembiraan dunia yang fana ini maupun dunia akhirat, karena mereka ikut serta dengan manusia dunia dalam urusan duniawi mereka sementara manusia dunia tidak menyertai mereka dalam urusan akhirat. Mereka hidup di dunia ini dalam cara hidup yang terbaik dan memakan makanan yang paling terpilih dan karenanya mereka menikmati di sini segala yang dinikmati orang yang hidup enak.”
Islam telah menjatuhkan vonis haram terhadap sejumlah kenikmatan duniawi. Kenikmatan duniawi yang diharamkan tersebut bisa menjadikan manusia tidak dapat menikmati kelezatan duniawi. Bahkan lebih dari itu, akan menimbulkan akibat buruk bagi kehidupan manusia di dunia. Kenikmatan berzina akan menjadikan manusia kehilangan kenikmatan ukhrawi, bahkan menyebabkan siksa di akhirat. Kenikmatan minuman keras akan menjauhkan manusia dari kenikmatan duniawi. Begitu pula dengan kenikmatan berjudi (jika memang nikmat), menggunjing, berbohong, dan seluruh perbuatan haram lainnya. Lain halnya dengan kenikmatan yang halal. Al-Quran menghalalkan kebahagiaan di dunia. Semua yang membahagiakan, membersihkan, menyucikan, serta tidak membahayakan manusia, akan dihalalkan al-Quran.
Kenikmatan yang diharamkan al-Quran pada hakikatnya bukanlah kenikmatan. Sebaliknya, semua itu merupakan penderitaan belaka. Apabila Anda menganggap minuman keras membawa kebahagiaan dan kenikmatan, maka Anda telah mengabaikan sama sekali seluruh akibat buruk yang akan ditimbulkannya terhadap jiwa manusia, kesehatan tubuh, dan kehidupan masyarakat. Anda hanya melihat kenikmatan berzina yang bersifat temporer, dan tidak memperhatikan akibat buruk yang ditimbulkannya. Al-Quran mengharamkan perzinaan dikarenakan itu merupakan perbuatan keji dan membahayakan. Semua perbuatan yang menimbulkan akibat baik akan dihalakan al-Quran. Dalam hal ini, al-Quran mengatakan: …dan menghalalkan bagi mereka segala yang baik dan mengharamkan bagi mereka segala yang buruk…. (QS. al-A’raf: 157)
Perhatikan dengan cermat, betapa ayat ini mengandung logika yang amat tinggi! Setiap kebahagiaan yang tidak bersifat sementara dan tidak menimbulkan dampak buruk, entah yang berkenaan dengan tubuh, jiwa, serta kehidupan masyarakat, hukumnya halal. Dan setiap hal yang membahayakan, hukumnya haram. Allah berfirman: Katakanlah, “Siapakah yang mengharamkan perhiasan dari Allah yang telah dikeluarkan-Nya. untuk hamba-hamba-Nya dan (siapa pulakah yang mengharamkan) rezeki yang baik?” (QS. al-A’raf: 32)
Makanlah di antara rezeki yang baik yang telah Kami berikan kepadamu…. (QS. Thaha: 81)
Jadi, kezuhudan dalam Islam bukan bermakna menutup mata dari kenikmatan duniawi yang halal agar memperoleh ganti rugi kenikmatan di akhirat. Ganti rugi semacam ini tidak pernah ada.
Murthada Muthahhari, Neraca Kebenaran dan Kebatilan