Ikuti Kami Di Medsos

Kajian Islam

Hubungan antara Ilmu Pengetahuan dan Agama

Di dunia Kristiani, sayangnya, bagian-bagian tertentu dari Perjanjian Lama mengajukan gagasan, bahwa terjadi kontradiksi antara ilmu pengetahuan dan agama. Dasar dari gagasan ini—yang sangat merugikan ilmu pengetahuan dan agama—adalah Kitab Kejadian, Perjanjian Lama. Dalam meriwayatkan “Kisah Adam dan Pohon Terlarang”. Kitab Kejadian, Bab II, ayat 16-17 mengatakan: Dan Tuhan Allah memberikan perintah kepada lelaki itu, dengan mengatakan, “Dari setiap pohon di surga, engkau boleh leluasa makan (buahnya). Namun untuk pohon pengetahuan tentang baik dan buruk, engkau tidak boleh makan (buahnya). Karena kalau engkau makan (buah) dari pohon itu, engkau pasti akan mati.”

Baca Dapatkah Sains Menggantikan Peran Agama?

Dalam Bab II, ayat 1-7 dikatakan: Kini naganya lebih canggih ketimbang binatang buas sawah yang diciptakan Tuhan Allah. Dan dia berkata kepada wanita itu, “Ya, Tuhan telah berfirman, engkau tak boleh makan dari setiap pohon di surga?” Dan wanita itu berkata kepada sang naga, “Kita boleh makan buah dari pohon-pohon di surga. Namun untuk buah dari pohon yang ada di tengah-tengah surga, Tuhan telah berfirman, engkau tidak boleh makan buah itu, juga tak boleh menyentuhnya, agar engkau tidak mati.” Dan sang naga berkata kepada sang wanita, “Tentu saja engkau dilarang, karena Tuhan tahu bahwa begitu engkau makan (buah itu), maka kedua matamu akan terbuka, dan engkau pun akan seperti dewa, tahu mana yang baik dan mana yang buruk.”

Dan ketika sang wanita tahu bahwa pohon itu baik untuk makanan, dan bahwa pohon itu menyedapkan pandangan matanya, dan sebuah pohon yang dibutuhkan untuk membuat orang jadi arif, wanita itu pun memetik buah dari pohon itu, kemudian memakannya, dan juga memberikan kepada suaminya, dan sang suami pun memakannya. Dan mata mereka pun terbuka, dan mereka mendapati diri mereka telanjang. Lalu mereka menjahit daun-daun ara untuk pakaian mereka.

Dalam ayat 22-23 dalam Bab yang sama dikatakan: Dan Tuhan Allah berfirman, “Lihatlah, lelaki itu menjadi seperti Kami, tahu yang baik dan yang buruk. Dan kini, jangan sampai dia mengulurkan tangannya, lalu memetik (buah) dari pohon kehidupan, kemudian makan (buah itu), dan hidup abadi.”[1] Menurut konsepsi tentang manusia, Tuhan, ilmu pengetahuan dan kedurhakaan ini, Tuhan tidak mau kalau manusia sampai tahu yang baik dan yang buruk. Pohon Terlarang adalah pohon pengetahuan. Manusia baru dapat memiliki pengetahuan kalau dia menentang perintah Tuhan (tidak menaati ajaran agama dan para nabi). Namun karena alasan itulah manusia terusir dari surga Tuhan. Menurut konsepsi ini, semua isyarat buruk merupakan isyarat ilmu pengetahuan, dan nalar merupakan iblis sang pemberi isyarat.

Sebaliknya, dari Alquran Suci kita menjadi mengetahui bahwa Allah mengajarkan semua nama (realitas) kepada Adam, dan kemudian menyuruh para malaikat untuk sujud kepada Adam. Iblis mendapat kutukan karena tak mau sujud kepada khalifah Allah (Adam) yang mengetahui realitas. Hadis-hadis Nabi menyebutkan bahwa Pohon Terlarang adalah pohon keserakahan, kekikiran dan hal-hal seperti itu, yaitu hal-hal yang berhubungan dengan sisi hewani Adam, bukan berhubungan dengan sisi manusiawi Adam. Iblis selalu mengisyaratkan hal-hal yang bertentangan dengan akal dan hal-hal yang dapat memenuhi hasrat rendah (hawa nafsu). Yang mencerminkan iblis di dalam diri manusia adalah hasrat seksual, bukan akal. Beda dengan semua ini, yang kita temukan dalam Kitab Kejadian sungguh-sungguh sangat mengherankan. Konsepsi ini telah membagi sejarah budaya Eropa selama 1500 tahun yang baru lalu menjadi dua periode, yaitu “Zaman Agama” dan “Zaman Ilmu Pengetahuan”, dan telah menempatkan ilmu pengetahuan dan agama saling bertentangan satu sama lain.

Sebaliknya, sejarah budaya Islam dibagi menjadi “Periode Kemajuan Ilmu Pengetahuan dan Agama” dan Teriode Ketika Ilmu Pengetahuan dan Agama Mengalami Kemunduran”. Kaum Muslim hendaknya menjauhkan diri dari konsepsi yang salah ini, sebuah konsepsi yang membuat ilmu pengetahuan, agama dan ras manusia mengalami kerugian yang tak dapat ditutup. Kaum Muslim juga jangan secara membuta menganggap kontradiksi antara ilmu pengetahuan dan agama sebagai fakta yang tak terbantahkan. Bagaimana kalau kita melakukan studi analisis terhadap masalah ini, kemudian kita lihat apakah kedua segi dari sisi manusiawi manusia ini hanya ada pada periode atau zaman tertentu, dan apakah manusia pada setiap zaman nasibnya adalah hanya menjadi setengah manusia, dan selalu menderita akibat keburukan yang terjadi karena kebodohan atau karena kedurhakaan.

Seperti akan kita ketahui, setiap agama tentunya didasarkan pada pola pikir tertentu dan konsepsi khusus tentang kosmos (jagat raya). Tak syak lagi, banyak konsepsi dan interpretasi tentang dunia, meskipun boleh jadi menjadi dasar dari agama, tidak dapat diterima karena tidak sesuai dengan prinsip rasional dan prinsip ilmu pengetahuan. Karena itu, pertanyaannya adalah apakah ada konsepsi tentang dunia dan interpretasi tentang kehidupan yang rasional dan sekaligus sesuai dengan infrastruktur sebuah agama yang sangat pada tempatnya? Jika ternyata konsepsi seperti itu memang ada, maka tak ada alasan kenapa manusia sampai dianggap untuk selamanya ditakdirkan mengalami nasib buruk akibat kebodohan atau kedurhakaan.

Hubungan antara ilmu pengetahuan dan agama dapat dibahas dari dua sudut pandang. Sudut pandang yang pertama adalah kita lihat apakah ada sebuah agama yang konsepsinya melahirkan keimanan dan sekaligus rasional, atau semua gagasan yang ilmiah itu bertentangan dengan agama, tidak memberikan harapan dan tidak melahirkan optimisme. Pertanyaan ini akan dibahas nanti dalam “Konsepsi Tentang Kosmos”. Sudut pandang kedua yang menjadi landasan dalam membahas hubungan antara agama dan ilmu pengetahuan adalah pertanyaan tentang bagaimana keduanya ini berpengaruh pada manusia. Apakah ilmu pengetahuan membawa kita ke satu hal, dan agama membawa kita kepada sesuatu yang bertentangan dengan satu hal itu?

Apakah ilmu pengetahuan mau membentuk (karakter) kita dengan satu cara dan agama dengan cara lain? Atau apakah agama dan ilmu pengetahuan saling mengisi, ikut berperan dalam menciptakan keharmonisan kita semua? Baiklah, kita lihat sumbangan ilmu pengetahuan untuk kita dan sumbangan agama untuk kita. Ilmu pengetahuan memberikan kepada kita cahaya dan kekuatan. Agama memberi kita cinta, harapan dan kehangatan. Ilmu pengetahuan membantu menciptakan peralatan dan mempercepat laju kemajuan. Agama menetapkan maksud upaya manusia dan sekaligus mengarahkan upaya tersebut. Ilmu pengetahuan membawa revolusi lahiriah (material). Agama membawa revolusi batiniah (spiritual).

Ilmu pengetahuan menjadikan dunia ini dunia manusia. Agama menjadikan kehidupan sebagai kehidupan manusia. Ilmu pengetahuan melatih temperamen (watak) manusia. Agama membuat manusia mengalami pembaruan. Ilmu pengetahuan dan agama sama-sama memberikan kekuatan kepada manusia. Namun, kekuatan yang diberikan oleh agama adalah berkesinambungan, sedangkan kekuatan yang diberikan oleh ilmu pengetahuan terputus-putus. Ilmu pengetahuan itu indah, begitu pula agama. Ilmu pengetahuan memperindah akal dan pikiran. Agama memperindah jiwa dan perasaan. Ilmu pengetahuan dan agama sama-sama membuat manusia merasa nyaman. Ilmu pengetahuan melindungi manusia terhadap penyakit, banjir, gempa bumi dan badai. Agama melindungi manusia terhadap keresahan, kesepian, rasa tidak aman dan pikiran picik. Ilmu pengetahuan mengharmoniskan dunia dengan manusia, agama menyelaraskan manusia dengan dirinya. Kebutuhan manusia akan ilmu pengetahuan maupun agama telah menarik perhadan kaum pemikir religius maupun pemikir sekular.

Dr. Muhammad Iqbal berkata: “Dewasa ini manusia membutuhkan tiga hal: Pertama, interpretasi spiritual tentang alam semesta. Kedua, kemerdekaan spiritual. Ketiga, prinsip-prinsip pokok yang memiliki makna universal yang mengarahkan evolusi masyarakat manusia dengan berbasiskan rohani.”

Dari sini, Eropa modern membangun sebuah sistem yang realistis, namun pengalaman memperlihatkan bahwa kebenaran yang diungkapkan dengan menggunakan akal saja tidak mampu memberikan semangat yang terdapat dalam keyakinan yang hidup, dan semangat ini ternyata hanya dapat diperoleh dengan pengetahuan personal yang diberikan oleh faktor supranatural (wahyu). Inilah sebabnya mengapa akal semata tidak begitu berpengaruh pada manusia, sementara agama selalu meninggikan derajat orang dan mengubah masyarakat. Idealisme Eropa tak pernah menjadi faktor yang hidup dalam kehidupan Eropa, dan hasilnya adalah sebuah ego yang sesat, yang melakukan upaya melalui demokrasi yang saling tidak bertoleransi. Satu-satunya fungsi demokrasi seperti ini adalah mengeksploitasi kaum miskin untuk kepentingan kaum kaya.

Percayalah, Eropa dewasa ini paling merintangi jalan kemajuan akhlak manusia. Sebaliknya, dasar dari gagasan-gagasan tinggi kaum Muslim ini adalah wahyu. Wahyu ini, yang berbicara dari lubuk hati kehidupan yang paling dalam, menginternalisasi (menjadikan dirinya sebagai bagian dari karakter manusia dengan cara manusia mempelajarinya atau menerimanya secara tak sadar—pen.) aspek-aspek lahiriahnya sendiri. Bagi kaum Muslim, basis spiritual dari kehidupan merupakan masalah keyakinan. Demi keyakinan inilah seorang Muslim yang kurang tercerahkan pun dapat mempertaruhkan jiwanya. “Reconstruction of Religious Thought in Islam” (Rekonstruksi Pemikiran Religius dalam Islam).

Will Durant, penulis terkenal “History of Civilization” (Sejarah Peradaban), meskipun dia bukan orang yang religius, berkata:

“Beda dunia kuno atau dunia purba dengan dunia mesin baru hanya pada sarana, bukan pada tujuan. Bagaimana menurut Anda jika ternyata ciri pokok seluruh kemajuan kita adalah peningkatan metode dan sarana, bukan perbaikan tujuan dan sasaran?”[2]

Dia juga mengatakan: “Harta itu membosankan, akal dan kearifan hanyalah sebuah cahaya redup yang dingin. Hanya dengan cintalah, kelembutan yang tak terlukiskan dapat menghangatkan hati.”[3] Kini kurang lebih disadari bahwa saintisisme (murni pendidikan ilmiah) tidak mencetak manusia seutuhnya. Saintisisme melahirkan setengah manusia. Pendidikan seperti ini hanya menghasilkan bahan baku untuk manusia, bukan manusia jadi. Yang dapat dihasilkan pendidikan seperti ini adalah manusia unilateral, sehat dan kuat, namun bukan manusia multilateral dan bajik. Semua orang kini menyadari bahwa zaman murni ilmu pengetahuan sudah berakhir. Masyarakat sekarang terancam dengan terjadinya kekosongan idealistis. Sebagian orang bemiaksud mengisi kekosongan ini dengan murni filsafat, sebagian lainnya merujuk kepada sastra, seni dan ilmu-ilmu humanitarian (ilmu-ilmu yang mempromosikan kesejahteraan manusia—pen.).

Di negeri kami (Iran—pen.) ada usulan agar kekosongan tersebut diisi dengan sastra yang penuh kebajikan, khususnya sastra sufi karya Maulawi, Sa’di dan Hafiz. Para pendukung rencana ini lupa bahwa sastra ini sendiri mendapat ilham dan agama dan dan semangat agama yang penuh kebajikan, semangat yang menjadikan agama menarik perhatian, yaitu semangat Islam. Kalau tidak, mengapa sastra modern, meski ada klaim lantang bahwa sastra modern itu humanistis, begitu hambar, tak ada roh dan daya tariknya. Sesungguhnya kandungan manusiawi dalam sastra sufi kami, merupakan hasil dan konsepsi Islami sastra tersebut tentang alam semesta dan manusia. Seandainya roh Islam dikeluarkan dari mahakarya-mahakarya ini, maka yang tersisa hanyalah kerangkanya saja.

Will Durant termasuk orang yang menyadari adanya kekosongan itu. Menurutnya, hendaknya sastra, filsafat dan seni mengisi kekosongan itu. Dia berkata:

“Kerusakan atau kerugian yang dialami oleh sekolah dan perguruan tinggi kita, sebagian besar adalah akibat teori pendidikannya Spencer.[4] Definisi Spencer mengenai pendidikan adalah bahwa pendidikan membuat manusia menjadi selaras dengan lingkungannya. Definisi ini tak ada rohnya, dan mekanis sifatnya, serta lahir dari filsafat keunggulan mekanika. Setiap otak dan jiwa yang kreatif menentang definisi ini. Akibatnya adalah sekolah dan perguruan tinggi kita hanya diisi dengan ilmu-ilmu teoretis dan mekanis, sehingga tak ada mata pelajaran sastra, sejarah, filsafat dan seni, karena mata pelajaran seperti ini dianggap tak ada gunanya. Yang dapat dicetak oleh suatu pendidikan yang murni ilmu pengetahuan hanyalah alat. Pendidikan seperti ini membuat manusia tak mengenal keindahan dan tak mengenal kearifan. Akan lebih baik bagi dunia seandainya saja Spencer tidak menulis buku.”[5]

Sangat mengejutkan, meskipun Will Durant menganggap kekosongan ini pertama-tama sebagai kekosongan idealistis yang terjadi akibat pemikiran yang salah dan akibat tak ada kepercayaan kepada tujuan manusia, namun dia masih saja berpendapat bahwa problem ini dapat dipecahkan dengan sesuatu yang non-material, sekalipun mungkin imajinatif belaka. Menurutnya, menyibukkan din dengan sejarah, seni, keindahan, puisi dan musik dapat mengisi sebuah kekosongan. Kekosongan ini ada karena manusia memiliki naluri mencari ideal dan kesempurnaan.

Ayatullah Syahid Muthahari, Manusia dan Alam Semesta

 

Catatan Kaki

[1] Petikan dari The Holy Bible, 1611 M. The British and Foreign Bible Society, London.
[2] The Pleasures of Philosophy, h. 240.
[3] The Pleasures of Philosophy, h. 114 (New York, 1953).
[4] Filosof Inggris abad ke-19 yang termasyhur.
[5] The Pleasures of Philosophy, h. 168,169 (New York, 1953).
[6] Bertrand Russell, Marriage and Morals, h. 102 (London, 1929).

Continue Reading
Click to comment

Leave a Reply

Your email address will not be published. Required fields are marked *