Kajian Islam
Bergunjing yang Diperbolehkan Islam
Ada beberapa pengecualian berkaitan dengan pengharaman bergunjing/ghibah. Karena di dalamnya terkandung tujuan-tujuan sosial yang hendak dicapai atau dihindari. Sebagai contoh, mencari kejelasan informasi dan meminta pendapat. Seperti bila seseorang ingin bekerjasama dengan orang lain, tentunya ia akan mengorek keterangan, tentang baik-buruknya, kepada siapa saja yang kenal baik dengan perilaku calon mitranya, dalam rangka mengetahui sejauh mana kelayakan membentuk kerjasama dengannya. Atau, ketika seseorang hendak mengawinkan anak perempuan atau laki-laki, dan lain-lain. Dalam kesempatan-kesempatan seperti itu, seseorang yang dimintai pendapat harus menampakkan kebenaran, ikhlas memberikan nasihat, serta memberikan hak orang yang meminta nasihatnya.
Di antara alasan pembolehan yang lain adalah menampakkan kezaliman. Barang siapa yang hartanya dirampas, ia mempunyai hak mutlak untuk menyiarkan kejahatan si perampas di muka khayalak. Karena ia berada di antara dua pilihan. Apakah mendiamkan kezaliman, yang berarti haknya terinjak. Atau memberitahu khayalak akan kezalimannya (si perampas). Yang demikian itu adalah ghibah, akan tetapi ghibah yang dibolehkan.
Berdasarkan firman-Nya: Allah tidak menyukai orang-orang yang mengungkapkan keburukan, kecuali bagi orang yang dizalimi. (QS. an-Nisa: 148)
Saya tegaskan hal di atas supaya kita waspada agar tidak bersikap ekstrim. Karena aib masyarakat Islam adalah sebagaimana yang digambarkan oleh sejarah. Kita terbiasa antara berlebihan dalam berghibah atau menganggap bahkan menganggap menggunjing Hajjaj bin Yusuf (algojo rezim Umayah -red) pun haram hukumnya, dan menganggap itu sebagai dosa yang harus segera beristighfar, sebagaimana pendapat lbnu Sirrin.
Alkisah dalam sejarah, Ibnu Sirrin seorang ulama terkemuka abad kedua Hijriah, sangat marah mendengar seseorang menggunjing Hajjaj. Suatu saat ada seseorang yang menggunjing Hajjaj di hadapan Ibnu Sirrin. Kemudian lbnu Sirrin menghardiknya, “Jangan menggunjingnya! Kini sesungguhnya dosamu lebih besar dari dosa Hajjaj itu sendiri.”
Pernahkah Anda mendengar lelucon seperti ini? Coba kita bayangkan, bila kita dilarang menggunjing orang seperti Hajjaj, tidak dibolehkan menggunjing Yazid bin Muawiyah. Akibatnya kita yang siang malam naik mimbar karena mengungkap kezaliman-kezalimannya dianggap telah berdosa. Padahal, Tuhan sendiri di dalam al-Quran telah menggunjing Fir’aun, Namrud, Qarun, Bal’am bin Ba’ura, serta ratusan oknum lainnya. Bahkan, seluruh kaum seperti terhadap Bani Israil.
Di sini kami tegaskan bahwa sekelumit doa-doa Makarimul Akhlak ini, bagaikan cermin yang memantulkan ketinggian ruhani dan akhlaki si empunya. Orang seperti inilah yang benar-benar patut untuk disucikan. Karena pikirannya melewati kepentingan pribadinya. Yang demikian itu, merupakan sikap terpuji dan akhlak mulia yang abadi. Kita wajib mengetahui rahasia keagungannya yang tersembunyi agar senantiasa berusaha menggapainya.
Murtadha Muthahhari, Filsafat Moral Islam