Akidah
Pertanyaan Seputar Masalah Tauhid: Perkara Diantara 2 Perkara, Bukan Jabr dan Bukan Tafwidh
Apakah makna hadis “bukan jabr dan bukan tafwidh melainkan suatu perkara di antara dua perkara”?
Bukan jabr (keterpaksaan) artinya adalah bahwa manusia tidak terpaksa dalam segenap perbuatannya, yang buruk maupun yang baik. Mereka tidak seperti alat yang tak memiliki kekuatan dan ikhtiar hingga dikatakan bahwa segala perbuatan mereka murni berasal dari Allah Swt dan bukan hasil iradah serta ikhtiar mereka.
Ketidakbenaran jabr termasuk di antara hal-hal yang sudah jelas. Sebab, setiap manusia berakal akan memandang dirinya sebagai orang yang benar-benar memiliki ikhtiar dan dalam dirinya terdapat semua dasar-dasar ikhtiar yang dikatakan sebagai kemampuan untuk menggambarkan sesuatu dan kemudian meyakini manfaatnya. Juga niat dan kebenaran manusia berakal berkeyakinan bahwa segala perilaku dan apapun yang muncul dari dirinya tidaklah sama dengan perbuatan tanpa iradah, yang muncul dari manusia yang kehilangan penguasaan akan iradahnya, yang mengakibatkan rusaknya kemampuan mengendalikan diri atas perilaku dan perbuatannya.
Karena itu, dalam kitab Qawanin, muhaqqiq Qummi mengatakan bahwa penganut mazhab jabr, meski mendatangkan beribu dalil untuk membenarkan mazhab mereka, sebenarnya dalil-dalil itu tidak berpengaruh apa-apa di hadapan sesuatu yang jelas. Ya, kejelasan itu dapat dipahami rasio dengan gamblang.
Di sisi lain, pemahaman ini akan mengakibatkan tidak adanya pahala dan siksa akhirat. Sebab, jika manusia terpaksa dalam melakukan ketaatan maupun kemaksiatan, maka secara rasional, ia tak berhak menerima pahala maupum siksa; bahkan secara rasional, ia tak berhak dipuji atau dicela.
Kenyataan justru sebaliknya. Andaikan seseorang melakukan suatu perbuatan buruk, maka dalam pandangan semua kalangan yang berakal, ia berhak beroleh celaan dan perbuatannya akan menyebabkan siksa tanpa maaf. Benar, ia akan mendapati dirinya berada dalam celaan orang-orang berakal jika melakukan sesuatu yang melanggar aturan syariat.
Adapun tafwidh dapat diibaratkan dengan tindakan yang membiarkan hamba-hambanya berada dalam kondisi dan kemerdekaan serta ikhtiar mutlak sehingga bebas berbuat apapun yang dikehendaki dalam segala aspeknya.
Ketidakbenaran tafwidh sama persis dengan ketidakbenaran jabr. Yaitu, dapat dipahami dengan jelas. Syaikh Mufid mengatakan bahwa tafwidh adalah pendapat yang mengatakan tidak adanya bahaya apapun bagi makhluk dalam setiap perbuatan sehingga membolehkan mereka melakukan perbuatan apapun yang dikehendaki [kitab tafsir al-Itiqad, hal. 33]
Sebab, jika tidak, niscaya setiap orang berakal beribu-ribu kali akan menahan diri dalam hidupnya; bahwa mereka berniat sesuatu kemudian niat tersebut musnah begitu saja dengan adanya perubahan yang tanpa disadari oleh keinginan dan niatnya, yang mencegahnya sampai ke tujuan. Sebaliknya, mereka tidak menghendaki sebagian hal dan sama sekali tidak berniat untuk itu. Namun, sebagian hal itu benar-benar menjadi sesuatu yang tidak disukai serta di luar keinginannya.
Amirul Mukminin Ali bin Abi Thalib as berkata, “Aku telah mengenal Allah Swt dengan adanya perubahan niat-niat dan rusaknya tujuan-tujuan.” Jika tidak demikian, maka, orang berakal mana yang akan menyadari bahwa dirinya sebenarnya mampu melakukan perbuatan apapun yang dikehendaki sementara dirinya yakin dengan seyakin-yakinnya bahwa ia tidak memiliki dalam dirinya manfaat dan kerugian, tidak pula kematian atau kehidupan, dan kebangkitan.
Dalam hal itu, mengikuti aliran tauhid yang dinisbatkan pada aliran Mutazilah akan menyebabkan kita memiliki pandangan akan adanya sekutu bagi Allah Swt. Pernyataan mereka bahwa sesungguhnya manusia itu independen dan memiliki perilaku mandiri dari suatu perbuatan yang dikehendakinya jelas akan menyebabkan adanya sekutu bagi Allah Swt dalam hal pelaku perbuatan. Perkara ini harus lebih ditekankan lagi kepada siapa pun yang menganut paham Mutazilah, khususnya yang menafikan kemampuan Allah Swt atas perbuatan dan kemampuan hamba.
Perkara di antara dua perkara artinya manusia bukanlah tidak memiliki ikhtiar sebagaimana didakwahkan mazhab pemikiran jabr; bukan pula memiliki hak mutlak seperti yang dituduhkan kaum tafwidhi. Namun, dalam semua perbuatannya, manusia memerlukan kehendak Allah Swt. Jika tidak demikian, maka tanpa persetujuan kehendak Allah Swt, mustahil tercipta perbuatan manusia. Dengan kata lain, perkara ini jelas-jelas mustahil.
Berdasar keterangan yang terkait dengan penafsiran terhadap ide jabr dan tafwidh, Imam Ali Ridha as berkata, “Sesungguhnya Allah Swt lebih adil daripada itu.” Lalu, beliau as berkata bahwasanya Allah Swt berfirman: Hai anak Adam, sesungguhnya Aku lebih utama dari segala kebaikan kalian atas kalian, dan kalian lebih utama dengan segala keburukan kalian daripada Aku, kalian melakukan maksiat dengan kekuatan yang Aku ciptakan pada [diri] kalian. [al-Kahfi, Juz 1, hal. 157]
Sesungguhnya perbuatan-perbuatan manusia tercipta dari-Nya, atas apa yang dianugerahkan Allah Swt kepadanya seperti kehidupan, kemampuan, dan lain-lain. Karena itu, manusia selalu memerlukan Allah Swt dalam semua hal. Adapun perbuatan baik itu muncul dari manusia berkat taufik Allah Swt. Sedangkan segala maksiat dan perilaku buruk manusia muncul tanpa adanya pertolongan Allah Swt. Tidak adanya pertolongan ini tiada lain lantaran buruknya ikhtiar manusia dan hasrat pribadi yang mendasarinya.
Secara umum, taufik Allah Swt dan adanya pertolongan pada hakikatnya tidak akan diperoleh kecuali hamba tersebut memang berhak menerimanya. Dalam hal ini, Amirul Mukminin Ali bin Abi Thalib as pernah menjawab seseorang yang menanyakan kepada beliau tentang arti kalimat, “Tidak ada kekuasaan dan tidak ada kekuatan melainkan atas kehendak Allah Swt.” Beliau menjawab, “Tidak ada kekuatan bagi kita untuk bermaksiat kepada Allah Swt melainkan dengan penjagaan Allah Swt dan tiada kekuatan bagi kita untuk taat kepada Allah Swt kecuali dengan perlindungan-Nya.”
Dalam kesempatan lain, beliau as berkata, “Kebajikan itu terjadi berkat taufik dari Allah Swt dan keburukan itu terjadi dengan tanpa pertolongan-Nya.”
Agar kesadaran seorang muslim berdasar sikap Islamiyah dalam masalah jabr dan tafwidh, serta makna perkara di antara dua perkara menjadi jelas, silahkan merujuk pada sejumlah riwayat dan nash dalam Ushul al-Kahfi, juz 1, bab “Al-Jabr wa al-Qadr al-Amr al-Amrain”, hal. 157, atau at-Tauhid karya Syaikh Shaduq, bab “Al-Jabr”, hal. 359 s.d 364, dan lain-lain. Bagi yang tidak sempat merujuk sumber-sumbernya, kami ketengahkan dua riwayat dari Imam Ja’far Shadiq as, saat ditanya tentang jabr dan qadar. Beliau as menjawab, “Tak ada jabr dan qadar, tetapi satu di antara keduanya. Di dalamnya terdapat kebenaran, tidak ada yang mengetahuinya kecuali orang yang tahu atau orang yang diberitahu oleh yang Mahatahu.”
“Tak ada jabr dan tafwidh, melainkan [satu] perkara di antara dua perkara.” Kemudian, beliau menerangkan maksud ucapannya, “Laksana seorang lelaki yang anda lihat berada dalam kemaksiatan dan anda melarangnya namun ia tidak peduli. Lalu anda meninggalkannya dan ia melakukan kemaksiatan tersebut. Maka, ketika ia tidak menerima teguran anda lalu anda meninggalkannya, ini bukan berarti anda telah menyuruhnya berbuat maksiat.” [Ushul al-Kahfi, juz 1, hal. 159-160)
Abdul Husein Dasteghib, Menepis Keraguan Beragama