Ikuti Kami Di Medsos

Akidah

Perihal Syafaat dan Tawasul

Mazhab Syiah meyakini bahwa para nabi, terlebih Nabi Muhammad saw, memiliki kewenangan memberi syafaat. Mereka akan memberi syafaat pada golongan pendosa tertentu. Tentu itu setelah memperoleh izin Allah Swt: Tidak ada pemberi syafaat kecuali setelah mendapat izin-Nya. (QS. Yunus: 3)

Siapakah yang dapat memberi syafaat di sisi-Nya tanpa seizin-Nya (QS. al-Baqarah: 255)

Dengan demikian, jika dalam beberapa ayat al-Quran terkesan adanya penafian syafaat secara mutlak seperti ayat:  Hai orang-orang yang beriman, nafkahkanlah sebagian dan rezeki yang telah Kami berikan kepada kamu sebelum datang hari yang ketika itu tidak ada lagi jual beli, tidak ada persahabatan yang akrab, dan tidak ada syafaat; dan orang-orang kafir itulah yang orang-orang yang zalim.” (QS. al-Baqarah: 254)

Syafaat yang dimaksud bukanlah sebagaimana yang kita jelaskan di atas. Melainkan syafaat yang bersifat independen dan tanpa izin Allah, atau syafaat orang-orang yang belum mencapai tingkat kewenangan memberi syafaat. Sebab, seperti telah kami tegaskan berulang-kali, ayat-ayat al-Quran saling menjelaskan satu sama lain.

Mazhab Syiah menyakini bahwa syafaaat adalah sarana yang sangat penting bagi pendidikan dan upaya mengembalikan orang-orang yang tergelincir ke jalan yang lurus; memotivasi mereka pada kesucian dan takwa, serta menghidupkan kembali harapan di hati mereka. Sebab, syafaat bukan perkara tanpa aturan. Ia hanya diberikan pada orang-orang yang memenuhi syarat untuk menerimanya, yaitu para pendosa yang dosa-dosanya tidak membuatnya putus hubungan dengan para pemberi syafaat.

Mazhab Syiah juga meyakini bahwa masalah tawasul serupa dengan syafaat; bahwa orang-orang yang menghadapi berbagai masalah, apakah itu duniawi atau ruhani, dapat bertawasul atau meminta kepada Allah Swt melalui para kekasih-Nya. Ini agar masalah yang mereka hadapi, dengan izin-Nya, dapat diatasi. Dengan kata lain, di satu sisi, ia memohon langsung kepada Allah Swt. Namun di sisi lain, menjadikan para kekasih-Nya sebagai perantara.

Dan seandainya ketika mereka menzalimi diri mereka (berbuat dosa) datang kepadamu, lalu minta ampun kepada Allah dan dimintakan ampun oleh Rasul, tentulah mereka akan dapati Allah Maha Pengampun lagi Maha Pengasih. (QS. an-Nisa: 64)

Dalam kisah Nabi Yusuf, kita melihat betapa saudara-saudara Yusuf as meminta ayahnya, Ya’qub as, bersedia menjadi perantara mereka kepada Allah Swt seraya berkata:  Ayah, mohonkan ampunan buat kami atas dosa-dosa kami. Kami adalah orang-orang yang bersalah. (QS. Yusuf: 97)

Nabi Ya’kub pun menerima permintaan mereka dan bersedia menjadi perantara dengan mengatakan:  Aku akan mohonkan ampun buat kamu kepada Tuhanku. (QS. Yusuf: 98)

Ini adalah bukti bahwa tawasul dilakukan umat terdahulu. Namun layak diingat bahwa tawasul tidak boleh melewati atas yang diizinkan, yaitu dengan menganggap para kekasih Allah Swt dapat melakukan sesuatu tanpa izin Allah Swt. Sebab, perbuatan ini dapat membawa pada kemusyrikan. Dus, tidak boleh dilakukan dalam bentuk ibadah pada para kekasih Allah Swt. Sebab, perbuatan itu syirik dan kafir, mengingat para kekasih Allah Swt tidak dapat mendatangkan kebaikan atau keburukan tanpa izin Allah Swt:  Katakanlah aku tidak dapat mendatangkan suatu manfaat buat diriku dan tidak pula dapat mencegah suatu mudharat dari diriku, kecuali yang dikehendaki Allah. (QS. al-A’raf: 188)

Kendati demikian, harus diakui, terdapat sikap berlebih-lebihan pada sebagian kalangan awam dalam semua aliran Islam sehingga kita harus selalu membimbing dan menuntun mereka.

Ayatullah Nasir Makarim Syirazi, Konsep Aqidah Syiah Imamiyah

Continue Reading
Click to comment

Leave a Reply

Your email address will not be published. Required fields are marked *