Wawancara
Peneliti dan Dosen Universitas NU: ABI Berpartisipasi dalam Memajukan Masyarakat
Sore itu, Rabu (2/6) hujan sempat mengguyur Jakarta Selatan, namun dinginnya cuaca saat itu bertolak belakang dengan kehangatan di Kantor DPP Ahlulbait Indonesia (ABI), di Mampang. Pasalnya sore itu, ABI kedatangan tamu seorang peneliti dan dosen di Universitas Nahdlatul Ulama Indonesia (UNUSIA), Ahmad Suaedy.
Pria yang usianya mendekati kepala enam itu tetap terlihat segar, meski sejumlah rambutnya sudah tampak memutih. Sesekali ia tertawa lepas di sela-sela wawancara dengan reporter ABI. Hujan pun dibuat kehilangan aura dinginnya.
Kami berbicang santai tentang berbagai hal yang terkait dengan mazhab keislaman Syiah dan organisasi Ahlulbait Indonesia. Berikut petikan wawancara ABI dengan Ahmad Suaedy.
T: Bagaimana menurut Anda tentang Syiah saat ini di dunia internasional maupun di Indonesia?
J: Jadi saya kira, terutama sejak revolusi Iran pada 1979, Syiah mendapatkan tempat yang luar biasa di pikiran dan di benak banyak orang, baik oleh Syiah maupun Sunni dan yang lain. Tetapi juga menimbulkan kekhawatiran oleh pihak-pihak tertentu, seperti Amerika, jelas ya…! Dan Amerika punya jaringan juga yang… kemudian mempengaruhi. Jadi, sebenarnya di satu pihak dengan adanya revolusi Iran itu menimbulkan dinamika yang positif, seperti pergulatan pemikiran.
Namun, di sisi lain juga menimbulkan reaksi. Nah, inilah tantangan kita. Di Indonesia ada dua sisi juga. Sisi positifnya, dari [19]79 sampai sekarang itu banyak sekali. Misalnya pada [19]80-an banyak berdiri institusi, tokoh-tokoh baik di kampus, maupun di komunitas, pengajian, pesantren dan lain-lain. Hal itu menimbulkan kegairahan.
Nah, tantangan kita sekarang adalah memberi pemahaman kepada masyarakat tentang berbeda itu biasa, berbeda itu dinamis. Kalau dulu, antara Syiah dan Sunni itu istilahnya Cultural Blended, bercampur secara kultural. Dalam keagamaan, misalnya memperingati Asyura dan lain-lain itu, semua membaur dan tak terasa kita berbeda. [Juga] ziarah ke wali dan lain sebagainya.
Nah, sekarang ini ada perubahan, di alam demokrasi itu semuanya terinstitusionalisasi dan [ber]identitas. Misalnya kalau dulu tidak ada organisasi Syiah, meskipun sekarang belum dengan nama Syiah tetapi Ahlul Bait. IJABI (Ikatan Jamaah Ahlul Bait Indonesia) dan ABI (Ahlulbait Indonesia).
Meskipun tidak dengan nama Syiah, tetapi sudah menunjukkan, inilah identitas kami.
Nah, dulu tidak seperti itu. dulu tidak dibutuhkan karena sudah blended. Ada dua hal di situ, indentitas dan institusi, karena sebagai organisasi massa, sesuai dengan undang-undang harus mendaftar. Harus sesuai dengan ideologi negara dan lain sebagainya.
Di media, di website organisasinya, baik IJABI maupun ABI sudah menunjukkan, seperti konsep tentang imamah misalnya, yang berbeda dari Sunni. Namun, hal itu tidak berarti bertentangan dengan eksistensi Indonesia, Pancasila, Bhineka Tunggal Ika. Perkara itu sudah dijelaskan di sana. Tetapi kan tidak cukup hanya itu, masih harus memahamkan.
Ada orang yang bertanya, kalau ada konsep imam[ah] berarti menolak NKRI? Nah, itu yang harus dijelaskan. Konsep imamah bukan bertabrakan, di dalam Sunni sendiri juga ada idealitas, bagaimana sebuah negara, sebuah pemerintahan, sebuah syariat, tapi kan ada proses. Jadi blended-nya bukan kultural lagi tapi sudah institusi negara.
Kita masih terus menerus melakukan dialog.
Ini kan negara bangsa, dan negara konstitusi. Dalam demokrasi semua harus diberi tempat dan dengan tempat itu bisa berekspresi. Kalau dulu mungkin tidak dibutuhkan, dulu hidup ya biasa saja. Sekarang itu semua terinstitusi, berdasarkan konstitusi. Dulu Iran kan juga dikuasai Syah [maksudnya, Syah Pahlevi–peny.) ya, sebuah dinasti pada zaman itu. Kemudian Iran menjadi republik, ya Iran harus menunjukkan bahwa negaranya republik. Nah, masalahnya, dunia lain juga harus memahami ini, jadi timbal balik. Iran juga harus memahami tempat lain sehingga harus mendeklarasikan nation state, harus ikut PBB, tapi orang lain juga harus memahami ada republik Islam, nah itu, tidak bisa saling menolak.
Di Indonesia juga begitu. Kalau dulu ya udah blended aja ndak apa-apa, tapi kalau sekarang, semua harus pakai izin, organisasi. Teman-teman Syiah harus paham bahwa ini tuntutan konstitusi, tapi masyarakat juga harus tahu bahwa di situ ada identitas, ada masyarakat.
Jadi dinamika tidak akan berhenti, nanti mungkin tuntutannya akan lebih tinggi, tapi juga dialognya lebih… jadi bukan negatif – positif tapi lebih ke tantangan, sebenarnya.
T: Bagaimana pandangan Anda dengan keberadaan ormas ABI di Indonesia?
J: Positifnya adalah ABI itu berpartisipasi dalam memajukan masyarakat. Ada pengajian, ada pendidikan, ada penerbitan, dan lain-lain, itu bagian dari membantu bangsa, mencerdaskan bangsa. Jadi, partisipasinya sangat penting, eksistensinya pun sangat penting. Seperti yang tadi saya sampaikan harus ada institusi yang terdaftar, itu bagian dari proses.
Namun di sisi lain, kalau dulu tidak perlu ada identitas, ya kalau mau beramal, beramal saja. Tapi sekarang tidak begitu, harus berdialog. Kami ini ABI tapi tidak sama misalnya dengan Iran. Kan orang masih melihat begitu, seolang-olah ingin membawa revolusi Islam ke Indonesia, itu memang harus dipahamkan.
Kita tidak boleh sepihak menyalahkan yang salah paham, harus juga memahami dan harus terbuka juga dengan kritik. Dan itulah dialog, dari pihak mayoritas seperti Sunni juga harus menerima itu.
Memang masih ada ya, pihak-pihak yang fanatik, itu bagian dari pekerjaan bersama. Mereka juga tidak mewakili Sunni secara keseluruhan, jadi mesti dipahamin seperti itu. Jadi positifnya ada, tantangannya ada.
T: Menurut Anda apa tantangan dan peluang ormas ABI di tengah masyarakat sebagai bagian dari warga negara Indonesia?
J: Itu sebenarnya bagian dari pergumulan masyarakat, kita tidak bisa sendiri, dunia kan ada perubahan juga. Sebut saja Amerika, Saudi, jadi masyarakat Indonesia tidak berdiri sendiri. Kita harus bersama-sama. Memang masih ada kekurangan, kecurigaan, bahkan ada aksi kekerasan, dan lain sebagainya, itu harus dianggap sebagai tantangan bersama. Saya meyakini bahwa itu gambaran besarnya [yang] sebenarnya sangat optimis, tidak ada ketakutan. Karena kita tahu tokoh NU, Muhammadiyah, Politik, Menteri Agama, Presiden itu tidak mempermasalahkan.
Dan izin pendidikan, ormas itu juga tidak ada masalah. Tapi masih ada masalah kecil-kecil, kan ada campur tangan orang lain, itu bagian dari proses yang harus dilalui. Namun saya kira dengan eksistensi Syiah yang makin terbuka, identitas dan seterusnya, itu menurut saya justru makin positip.
Pertama memberikan persaingan yang sehat. Kedua berpartisipasi bersama-sama mencerdaskan kehidupan bangsa. Berikutnya juga bersama-sama mencari penyelesaian berbagai masalah, termasuk kekerasan, kecurigaan itu akan terus berlangsung dan di mana saja.
T: Apa pandangan Anda terhadap keberadaan madzhab Syiah?
J: Itu kan mahzab dalam hal pemikiran, jadi argumentasinya kuat, tetapi berbeda dengan Sunni. jadi, berbeda itu kan realitasnya begitu, ini melihat Si A berbeda, ini melihat Si B berbeda. Tapi masing-masing punya argumentasi yang kuat, jadi tidak saling membatalkan.
Saya membaca beberapa penjelasan beberapa tokoh Syiah, seperti Allamah Tabataba’i, Hossein Naser, dan lain sebagainya, itu argumentasinya sangat kuat, tapi berbeda dengan argumentasi Sunni.
Jadi tantangan besar kita sebenarnya saling memahami. Bagaimana teman-teman syiah memahami Sunni, sampai ke proses intelektual dan lain sebagainya. Bagaimana Sunni melihat Syiah. Karena perkembangan pemikiran, puncaknya itu sama. Misal abad 9 sampai abad 12 itu kan, puncak pemikiran di Syiah tapi juga terjadi di Sunni.
Jadi tantangan kita sekarang ini bagaimana mengulang puncak pemikiran seperti abad-abad yang lalu itu. Jadi, persaingan bukan hanya jalan perang tapi pemikiran ekonomi, bergerak terus waktu itu. Jadi persaingan itu biasa tapi bagaimana menyelesaikan persaingan itu dengan dialog, tukar menukar dalam bisnis dan lain sebagainya.
Saya berharap teman-teman Syiah bisa memfasilitasi Indonesia untuk bekerjasama dengan negara-negara yang mayoritas Syiah. Dan orang jarang memahami bahwa ada beberapa negara yang mayoritas Syiah, seperti Irak, Lebanon dan lain sebagainya, namun tidak menerapkan wilayatul faqih atau negara Republik Islam seperti Iran. Jadi Iran itu adalah kasus yang karena penindasan yang luar biasa sehingga menimbulkan perlawanan, tapi di tempat lain berbeda.
Sama dengan sunni, di Malaysia, Indonesia itu beda-beda juga, nah itu bagi saya yang paling penting. Bagaimana mendorong perdebatan, pemikiran, ekonomi lebih maju bersama.
T: Apa saran Anda soal dialog?
J: Mungkin membangun lingkaran-lingkaran anak muda, isinya adalah anak-anak muda yang berdialog untuk saling memahami. Berbagi pengalaman, pengetahuan, jadi kita tidak bisa ngomong di tempat umum apa yang kita punya, sementara mereka tak punya referensi.
Jadi harus mulai dari dialog kelompok kecil di mana-mana dan di berbagai kelas, bahkan mulai anak muda, kelas professional. Mesti ada kelompok-kelompok ini sebagai juru bicara atau sebagai chamber untuk dialog. Kita tidak bisa berharap hanya lewat sosial media, itu kan seperti bicara di alun-alun. Orang-orang tidak mendengarkan tapi cuma nonton.
Dan kalau ada chamber-chamber yang ini, saya berharap itu akan efektif.