Akhlak
Telaah Atas Hadis-Hadis Mistik Dan Akhlak: Hadits Tentang Jihad Al-Nafs [Bag. 6]
Tahap Kedua: Jihad Diri di Dunia Batin
Tahap kedua ini juga terdiri atas beberapa jenjang. Ketahuilah, jiwa manusia mempunyai kerajaan atau alam dan dimensi lain yaitu kerajaan batin dan dimensi malakut. Di situ, kekuatan pasukan jiwa lebih banyak dan lebih signifikan ketimbang di kerajaan lahiriyah dan fisik. Pertarungan dan konflik antara pasukan Sang Pengasih dan pasukan setan berlangsung dengan lebih keras dan juga lebih menentukan, sehingga kemenangan dan dominasi di alam itu akan bernilai lebih besar dan lebih penting. Bahkan semua yang ada di alam lahiriah atau fisik berasal dari alam ini dan merupakan manifestasi darinya. Pasukan manapun yang menang di alam ini -baik pasukan Sang Pengasih ataupun pasukan setan- pasti akan menang di alam fisik. Karena itu, jihad diri atau perjuangan batin amat penting bagi seluruh guru besar suluk dan akhlak. Tahap ini dapat dipandang sebagai sumber seluruh kebahagiaan atau kesengsaraan, sumber kemajuan dan kemuliaan, atau kerendahan dan kehancuran diri.
Baca sebelumnya Telaah Atas Hadis-Hadis Mistik Dan Akhlak: Hadits Tentang Jihad Al-Nafs [Bag. 5]
Setiap manusia mesti benar-benar sadar diri selama melaksanakan jihad ini. Sebab, mungkin saja akibat kekalahan pasukan Sang Pengasih itu, diri manusia menjadi kosong, sehingga dengan mudah dirampas dan dijarah oleh pasukan setan. Akibat selanjutnya, manusia akan menuju kehancuran abadi yang tak mungkin lagi dibenahi dan syafaat para pemberi syafaat tidak dapat menyelamatkannya dari murka Allah Swt yang Maha Pengasih; bahkan, mungkin pula para pemberi syafaat itu justru akan menjadi musuh-musuhnya. Dan mungkin [menjadi] suatu bencana jika penolongnya malah menjadi musuhnya.
Hanya Allah Swt yang Mahatahu rencana penderitaan dan kesulitan macam apa yang akan diakibatkan oleh murka Allah Swt dan kebencian para kekasih-Nya. Seluruh api neraka zaqqum (makanan neraka) dan racun bukanlah apa-apa dibandingkan dengan siksaan yang diakibatkan oleh kekalahan pasukan Sang Pengasih dalam diri manusia. Aku berlindung kepada Allah Swt agar tidak ditimpakan kepada kita yang lemah tak berdaya ini siksaan yang telah digambarkan oleh kalangan ahli hikmah, ahli irfan, ahli latihan spiritual, dan ahli suluk itu. Seluruh derita dan siksa yang kalian bayangkan di dunia ini sangatlah lembut dan ingat jika dibandingkan dengan penderitaan yang harus dialami manusia sebagai akibat dari siksa di atas.
Surga dan neraka yang digambarkan dalam al-Quran, hadis-hadis Rasulullah saw, dan ucapan-ucapan para Wali Allah umumnya terkait dengan neraka dan surga perbuatan yang dipersiapkan untuk perbuatan baik dan buruk manusia. Namun, dalam rujukan-rujukan tersebut adapula isyarat halus pada surga dan neraka akhlak, yang bahkan lebih penting dan lebih bernilai. Surga itu adakalanya disebut jannah al-liqa (surga pertemuan) dan jahanam al-firaq (neraka perpisahan). Surga dan neraka jenis ini jauh lebih penting dari semua jenis surga dan neraka. Akan tetap, isyarat-isyarat mengenai jenis surga dan neraka ini, tersembunyi dari pandangan mata kita dan hanya terbuka bagi pandangan mereka yang berhak memperolehnya.
Engkau dan aku tidak termasuk golongan yang berhak memperolehnya; tapi kita tidak layak untuk meragukannya. Kita harus mengimani semua yang datang dari Allah Swt dan para wali-Nya, lantaran keimanan tak kukuh (ijmali) ini pun ada manfaatnya buat kita. Sebaliknya, ketidakpercayaan yang muncul dari ketidaktahuan dan penolakan tanpa dasar serta tanpa pengetahuan tentangnya niscaya akan membahayakan kita, dan bahaya itu bisa sangat besar.
Dunia ini bukanlah tempat kita menyadari bahaya-bahaya seperti itu. Jika kalian mendengar sesuatu yang dikatakan seorang ahli suluk atau pelaku latihan spiritual, janganlah menyangkal atau menganggapnya tidak valid hanya karena perkataan itu tidak sesuai dengan selera atau pola pikir kalian. Perkataan atau gagasan itu mungkin berasal dari sumber yang lebih tinggi dan tidak terjangkau oleh kalian, seperti al-Quran dan hadis yang tidak atau belum terpahami akal kalian.
Apa bedanya penyangkalan atas fatwa ahli fikih dibidang diyat yang tidak kau ketahui dalilnya dan penyangkalanmu bahkan penghinaanmu atas gagasan ahli suluk atau ahli irfan mengenai ajaran-ajaran Ilahi atau mengenai keadaan surga dan neraka? Jangan lupa, mungkin saja yang memiliki otoritas tentang masalah itu atau memang benar-benar menguasainya memperoleh pengetahuannya dari al-Quran atau beberapa hadis yang disampaikan oleh para Imam yang tidak pernah kau ketahui. Jika demikian, berarti engkau telah menyangkal Allah Swt dan Rasul-Nya tanpa alasan yang dapat diterima. Jelas, engkau tidak dapat hanya berargumen dengan menyatakan bahwa “hal itu tidak sesuai dengan seleraku” atau “aku belum pernah mengetahuinya atau aku pernah mendengar hal yang sebaliknya dari para penceramah publik”. Semua itu tentu bukan alasan yang dapat diterima.
Semua yang mereka paparkan mengenai surga dan neraka akhlak serta watak adalah perkara yang tak akan sanggup [kalian pahami], bahkan untuk sekadar mendengarnya. Sebab itu, saudaraku, berpikirlah, carilah penawar dan cobalah menemukan jalan keselamatan dan sarana kebebasan bagimu. Mintalah perlindungan dari Allah Zat Mahakudus yang Paling Pengasih dan mohonkanlah kepada-Nya di malam-malam yang gelap dengan ratapan yang merdu merendah agar Dia menolongmu dalam jihad suci melawan diri ini, agar kau memperoleh kemenangan.
Jadikan kerajaan jiwamu sebagai kerajaan Tuhan dan usirlah pasukan setan darinya, kemudian serahkan kerajaan itu kepada pemiliknya yang sah. Semoga Allah Swt mencurahkan kebahagiaan, keriangan, dan kasih sayang kepadamu. Seluruh pujian yang telah kau dengar tentang surga dan seluruh isinya yang amat indah, tidaklah berarti apa-apa dibandingkan kebahagiaan Ilahi. Itulah kesultanan dan dominasi Ilahi yang telah digambarkan para Wali Allah dari kalangan umat Muhammad saw.
Keindahan dan kehebatan keadaan itu tak satu telinga pun pernah mendengarnya dan tak ada pikiran yang mampu menjangkaunya.
Imam Khomeini, “40 Hadis: Hadis-hadis Mistik dan Akhlak: Hadis Jihad an-Nafs”