Berita
Tafsir Rekonsiliatif tentang Kepemimpinan Setelah Nabi
Biang Perbedaan
Bagaimana konsep kepemimpinan dalam Islam? Bagaimana mendudukkan imamah dan khilafah dalam konteks kepemimpinan dan kekuasaan politik? Benarkah kepemimpinan Imamah ala Syiah dan kepemimpinan Khilafah ala Sunni bertentangan?
Secara etimologis, khalifah berasal dari khalafa, yang berarti menyusul, melanjutkan, dan lawan kata dari salafa, yang berarti mendahului. Dari arti umum ini khalifah mencakup arti keseluruhan, suksesi kepemimpinan. Ia bisa berarti nabi yang datang menggantikan nabi sebelumnya, sebagaimana Isma’il dan Ishaq yang menggantikan posisi Nabi Ibrahim as, atau boleh jadi person bukan nabi yang melanjutkan kepemimpinannya, sebagaimana sahabat yang diyakini melanjutkan kepemimpinan Nabi Muhammad Saw.
Dalam konteks Nabi sebagai pemimpin, terdapat dua fungsi, yaitu: kepemimpinan vertikal dan kepemimpinan horisontal. Karena itu, person yang diyakini sebagai pengganti Nabi, mesti diperjelas apakah ia merupakan pengganti Nabi dalam konteks vertikal ataukah horisontal.
Meskipun khalifah mempunyai arti luas, suksesi atau melanjutkan, khalifah telah terbatas pengertiannya dalam terapan yang bersifat sosial, politik, kenegaraan, teritorial dan horisontal. Sedangkan Imamah yang juga mempunyai arti luas bahkan mencakup imam salat dan suami sekali pun, dalam kenyataannya, telah terbatas pengertiannya dalam terapan yang bersifat individual, spiritual, intelektual, universal dan vertikal.
Penjelasan ini penting agar banyaknya istilah khilafah, imamah, imarah tidak mereduksi pengertian kepemimpinan horisontal dan vertikal. Dalam kenyataan historisnya, khilafah diterapkan sebagai kepemimpinan horisontal dan imamah diterapkan sebagai kepemimpinan vertikal.
Dengan demikian, khilafah yang dimaksud di sini bermakna kepemimpinan pengganti Nabi (khalifah al-Nabi), bukan khalifah dalam ayat 30 surah Al-Baqarah, khalifah fi al-ardh (khalifah di muka bumi). Khalifah pada ayat tersebut bermakna manusia sebagai spesies, bukan manusia sebagai individu.
Sebagian kalangan Syiah menganggap dua frase itu sama dalam makna sehingga menganggap kepemimpinan yang diklaim Sunni sebagai kontra kepemimpinan Ali bin Abi Thalib dan Ahlulbait. Sebagian kalangan Sunni juga menganggap konsep kepemimpinan (Imamah) yang diyakini Syiah sebagai delegitimasi kepemimpinan Abu Bakar, Umar dan Utsman.
Sudah banyak polemik dan perdebatan antara Syiah dan Sunni untuk membuktikan kebenaran pendapat masing-masing. Tulisan ini tidak berpretensi untuk mengemukakan salah satu pendapat yang mewakili satu mazhab, namun berusaha mencari sebuah konsep yang diharapkan mampu mengharmoniskan keduanya.
Bila isu kepemimpinan ini dijelaskan secara komprehensif dengan mengedepankan semangat mencari benang merah untuk diterima oleh kedua belah pihak, maka jalan menuju kesepahaman dan rekonsiliasi terbuka lebar. Salah satu syaratnya adalah membuang jauh-jauh tendensi klaim kebenaran mutlak yang secara logis tidak bisa diterima.
Konflik menjadi makin rumit karena Sunni menganggap konsep kepemimpinan (Imamah) yang diyakini Syiah sebagai tandingan konsep kepemimpinan (Khilafah) yang diyakini Sunni, dan Syiah menganggap konsep kepemimpinan (Khilafah) yang diyakini Sunni sebagai antikonsep kepemimpinan (Imamah) yang diyakini Syiah. Padahal, bila diperhatikan secara seksama dan bebas dari sentimen sektarianisme, rincian konsep Khilafah dan Imamah berbeda secara substansial dan tidak niscaya saling menafikan.
(Dikutip dari Buku “Syiah Menurut Syiah” Tim Penulis Ahlulbait Indonesia)