Berita
Tabuik, Warisan Syiah tanpa Syiah di Padang Pariaman
Festival Tabuik selalu dirayakan setiap 10 Muharam di Pariaman, Sumatera Barat. Ini merupakan acara perayaan Asyura, 10 Muharam, yang diperingati kaum Syiah setiap tahun sejak 1831. Uniknya penduduk Pariaman bukan pemeluk Syiah.
Tabuik (artinya peti) sendiri adalah patung seekor burak: kuda berkepala manusia perempuan yang memiliki dua sayap dan ekor yang lebar. Di punggungnya terdapat peti dengan hiasan-hiasan yang cantik dengan sebuah payung kertas di puncaknya.
Baca Rangkaian Festival Tabot Bengkulu Kembali Digelar
Semua patung ini terbuat dari rangka bambu, rotan, dan kayu. Kemudian dihias dengan kain dan kertas warna-warni. Setiap tahun ada dua tabuik setinggi 12 meter yang dikeluarkan ke tengah kota pada 10 Muharam. Ribuan pengunjung akan datang menyaksikannya. Kedua tabuik ini digotong dengan diiringi irama gendang tasa ke Pantai Gandoriah.
Tabuik tak sekadar patung hiasan. Pembuatannya diiringi dengan upacara ritual. Ada tujuh prosesi pembuatan tabuik yang dimulai 1-10 Muharam.
Tabuik adalah hiasan menarik yang dibuat tangan-tangan terampil para lelaki, turun-temurun di dua Rumah Tabuik yaitu Rumah Tabuik Subarang dan Rumah Tabuik Pasa.
Baca Harmonisasi Syiah dan Ahlusunah dalam Sejarah Awal di Nusantara
Rumah Tabuik adalah rumah keluarga pewaris budaya tabuik yang dibawa oleh bekas tentara Inggris Raya asal Sepoy, India, setelah dibubarkan ketika Inggris hengkang dari Bengkulu pada 1824.
Agak aneh sebenarnya dengan ritual ini. Sebab di Kota Pariaman dan sekitarnya tidak ada penganut Syiah. Tidak ada catatan sejarah menyebutkan bagaimana proses awal terjadinya acara tabuik di Pariaman. Apakah setelah para Sepoy bermukim di sana atau jauh sebelumnya, ketika Inggris Raya menguasai pantai barat Sumatera dengan markas di Bengkulu dan tentara Sepoy adalah tulang punggungnya.
Acara Tabuik adalah peringatan Hari Assyura atau hari berkabung atas kematian Imam Hussein bin Ali, cucu Nabi Muhammad SAW yang syahid di Padang Karbala pada 10 Muharam 61 Hijriah atau 680 Masehi.
Tabuik dianggap perwujudan seekor burak yang membawa peti di punggungnya untuk mengangkut jenazah Imam Hosen. Dikisahkan, burak datang setelah pembantaian Hussein dan pasukannya yang kecil oleh pasukan Khalifah Raja Yazid yang berjumlah ribuan. Lalu, sang burak terbang ke angkasa membawa jenazah tersebut.
Baca Jejak Spiritualitas Syiah di Nusantara
Itulah makna Tabuik diarak lalu dibuang ke laut. Itu puncak dari proses ritual yang telah dimulai sejak 1 Muharam hingga 10 Muharam yang dimulai mengambil tanah di muara sungai, mengarak jari-jari dan sorban lalu pada 10 Muharam diterbangkan ke Samudera Hindia.
Membuang Tabuik ke laut merupakan acara tahunan setiap 10 Muharam di Pariaman sejak 1831. Ritual Perayaan Asyura bagi pemeluk Islam Syiah ini dibawa ke Pariaman oleh para pendatang asal Sepoy, India, yang menganut Syiah.
Waktu itu Pariaman merupakan kota pelabuhan terkemuka di pantai barat Sumatera. Berbagai macam suku bangsa tinggal di sana, termasuk Aceh dan Arab yang juga beragama Islam. Para pendatang asal Sepoy ini sebelumnya adalah para prajurit Inggris asal India di bawah komando Thomas Stamford Raffles yang semula bermarkas di Bengkulu.
Setelah Traktat London pada 17 Maret 1829 antara Inggris dan Belanda, wilayah pesisir barat Sumatra yang semula dikuasai Inggris diserahkan kepada Belanda dan sebagian prajurit Sepoy memilih tinggal di Pariaman. Merekalah kemudian menganjurkan diadakannya perayaan Asyura dengan membuat Tabuik untuk mengenang kematian cucu Nabi Muhammad SAW tersebut.
Baca Mengapa Asyura Diperingati Setiap Tahun?
Penduduk Pariaman sendiri adalah penganut Mazhab Syafii yang dibawa Syekh Burhanuddin, seorang ulama penyebar Islam pertama di Sumatera Barat. Cara mengajarkan agama yang sangat persuasif, toleran terhadap adat, dan melalui pendekatan kultural yang dilakukan ulama ini mempunyai andil diterimanya perayaan Tabuik di Pariaman. [TEMPO]