Ikuti Kami Di Medsos

Berita

Syiah, Iran dan Indonesia (bag 4)

Syiah, Iran dan Indonesia (bag 4)

Syiah, Iran dan Indonesia (bag 4)

Pembahasan sebelumnya Syiah, Iran dan Indonesia

Wilayah Faqih dan Rahbari

Wali Faqih adalah seseorang yang menjadi representasi dari lembaga otoritas keagamaan (wilayah faqih) yang bersifat universal tanpa batas geografis, kultur dan lainnya. Sedangkan ‘rahbar’, yang berasal dari kata Parsi ‘rah dan bar (jalan dan memandu = pemandu jalan) adalah sebuah predikat yang disandang oleh seseorang yang memegang wewenang tertinggi dalam konstitusi dan undang-undang negara Republik Islam Iran yang hanya mengikat warga negara Iran, Muslim maupun non Muslim. 

Sebagian besar Umat Muslim Syiah di Iran dan selurun dunia menganggap Wali Faqih sebagai Na’ibul Imam atau representatif imam suci dalam masa kegaiban. Sebagian kecil umat Muslim Syiah di seluruh dunia menganggap setiap marja’ atau mujtahid muqallad sebagai figur-figur fuqaha yang merepresentasi Imam suci selama masa kegaiban. Warga negara Iran, yang Muslim bermazhab Syiah, Sunni dan Nonmuslim penganut agama lain, sesuai konstitusi dan undang-undang Republik Islam Iran berkewajiban mematuhi rahbar sebagai pemegang kewenangan tertinggi dalam struktur kekuasaan formal negara. Rahbari adalah lembaga tertinggi Republik Islam Iran setingkat MPR di Republik Indonesia.

Karena saat ini posisi Wali Faqih dan Rahbar ditempati oleh satu figur, maka karakteristik dua  posisi tersebut perlu dibenerkan. Berikut ini adalah beberapa ciri perbedaan Wali Faqih dan Rahbar: 

  1. Wali Faqih adalah pemegang kewenangan vertikal dan keagamaan yang mengikat umat di manapun yang meyakini konsep Wilayah Faqih. Ia tidak mengikat bangsa-,bangsa yang terdistribusi ke aneka institusi negara masing-masing. Sedangkan Rahbar merupakan pemegang kekuasaan formal tertinggi dalam Republik Islam Iran sesuai konstitusinya.
  2. Wali Faqih merupakan figur pelanjut sementara imam suci yang wajib dipatuhi secara teologis oleh individu-individu yang mengikutinya di mana pun. Sedangkan Rahbar, sebagai pemimpin formal dalam struktur negara Republik Islam yang harus dipatuhi secara konstitusional oleh setiap warga negara Republik Islam Iran, apapun agama dan mazhabnya.
  3. Wali Faqih adalah penerima mandat kewenangan vertikal secara tidak langsung dari imam suci (Imam Mahdi). Rahbar adalah penerima mandat kekuasaan dari rakyat melalui Dewan Ahli (yaitu para faqih atau mujtahid berkewarganegaraan Iran yang dipilih dalam pemilihan umum di seluruh Iran)  sebagai bagian niscaya dari referendum yang merupakan ketentuan undang-undang Iran.
  4. Wali Faqih menjaga dan mengawal agama. Rahbar menjaga dan mengawal sistem negara Republik Islam iran, konstitusi dan tiga lembaga kekuasaan di dalamnya.
  5. Wali Faqih tak niscaya menjadi rahbar selaku pemegang kewengan formal dalam negara Republik Islam Iran. Sedangkan Rahbar sebagai pemegang kekuasaan formal dalam sistem Republik Islam disyaratkan seorang mujtahid sesuai konstitusi Iran.

Dengan kata lain, Seseorang non Iran yang meyakini konsep Wilayah faqih tidak terikat dengan rahbari karena sebagai warga negara lain  tidak berada dalam strukturnya. Namun ia, yang tidak berada dalam struktur rahbari, bisa mengikat diri secara kultural dan spiritual dengan Wali faqih. Artinya, instruksi (keagamaan) wali faqih  berbeda dengan isntruksi (kenegaraan) rahbar. 

Bagaimana membedakannya? Cara membedakannya adalah mengidentifikasi subjek dan objek serta konteks instruksinya. Dengan demikian, orang Indonesia yang bermazhab Syiah dan meyakini konsep wilayah faqih hanya terikat secara keagamaan dan kultural dengan figur Sayyid Ali Khamenei, misalnya, yang juga menjadi pemimpin tertinggi di sebuah negara di Timur Tengah, yaitu Iran. Ia juga terikat secara keagamaan denga seorang faqih yang diyakininya sebagai muqallad atau marja’. Selebihnya, setiap individu Muslim Syiah di Indonesia hanya terikat dengan undang-undang dan sistem negara Indonesia.

Agama dan Negara di Iran

Pada dasarnya, bila didefinisikan sebagai aturan hidup, agama meliputi aspek kehidupan, termasuk politik. Tapi, untuk diterapkan sebagai aturan hidup yang paripurna, diperlukan seperangkat syarat. Salah satunya adalah pemberlaku otoritatif yang diterima oleh para pemeluk. Bila para pengikut tidak bersepakat meyakini pentingnya keberadaan pemberlaku otoritatif, maka agama tidak bisa diberlakukan secara efektif sebagai aturan hidup. Bila sudah menyepakati keberadaan pemberlaku otoritatif pun, diperlukan penerimaan atas figurnya. Bila tidak, maka ia tidak bisa diterapkan.

Bila sekelompok orang dalam masyarakat yang majemuk berusaha menerapkan apa yang dipahaminya tentang agama (yang ditolak oleh penganut agama lain dan tidak diterima oleh sesama penganut agama yang tak sepersepsi), maka yang timbul adalah konflik akibat pemaksaan.

Faktanya, agama (baca : Islam) hingga kini dianut dengan aneka persepsi sebagai konsekuensi perbedaan tentang konsep otoritas pemberlaku dan sosoknya. Justru isu otoritas inilah yang menjadi pembelah umat sejak wafat Nabi termulia SAW.

Sebenarnya sengketa isu otoritas pun terjadi dalam masyarakat beragama lainnya, seperti dalam Kristen yang muncul dalam ragam aliran. Andai membekali diri dengan konsep “yang semestinya” dan konsep “yang terjadi”, kita bisa menguraikan isu ini dengan mudah.  Dengan kata lain, tak perlu ada pemisahan. Bila syarat-syarat faktual untuk berlaku secara sempurna, maka niscaya berlaku seluas area yang bisa diterapkan.

Ustaz Muhsin Labib Assegaf (Ketua Komisi Bimbingan dan Dakwah Dewan Syura ABI)

Baca juga Syiah, Indonesia dan Iran [bag 1]

Continue Reading
Click to comment

Leave a Reply

Your email address will not be published. Required fields are marked *