Berita
Syiah, Indonesia dan Iran [bag 1]
Syiah, Indonesia dan Iran [bag 1]
Syiah di Indonesia
Masyarakat Nusantara saat itu bersifat tradisional-mistik. Corak kehidupan masyarakat tersebut ditandai dengan hidupnya sejumlah sistem kepercayaan leluhur di setiap kelompok sosial berbasis adat yang berpengaruh terhadap tata kehidupan termasuk pola perubahan cara berpikir, berinteraksi, hingga memberi respon terhadap pemikiran yang baru. Artinya, penerimaan dan penolakan terhadap pemikiran atau konsep baru menggunakan alat ukur yang lebih bersifat mistikal dan kultural. Itulah sebabnya Islam yang masuk ke Nusantara saat itu adalah Islam yang membawa corak mistik dengan pola-pola penyebaran yang bersifat kultural.
Baca Antara Ajaran Ahlulbait dan Mazhab Syiah
Pada fase ini, resistensi penduduk asli hampir tidak ada ataupun jika ada, dapat diselesaikan dalam waktu singkat dengan mekanisme kultural dan pendekatan-pendekatan mistik. Justru dengan ini, maka perkembangan sosial di Nusantara memperlihatkan sebuah perpaduan budaya dan akulturasi yang membentuk sebuah entitas masyarakat baru yang beragam atau majemuk. Kemajemukan tersebut menyatu dalam suatu pola hidup yang sebenarnya memberikan kemandirian terhadap agama masing-masing komunitas untuk menjiwai perkembangan sosialnya tanpa harus merasa terganggu dengan keyakinan komunitas lain. Ini ditunjukkan bahwa selama ratusan tahun masyarakat Indonesia tidak pernah terlibat konflik hanya karena pemeluk agama yang satu merasa lebih dahulu hidup di Nusantara ataupun merasa lebih unggul dalam konsep teologis, dan lain sebagainya.
Islam yang diterima di Nusantara pada fase ini adalah Islam yang tidak datang merombak orisinalitas budaya bangsa setempat melainkan memberikan penguatan dan argumentasi baru atas konsep-konsep kebertuhanan serta tata kehidupan berdasarkan konsep tersebut. Pada fase inilah khazanah Syiah lebih mudah diterima. Seperti diketahui bahwa dalam tradisi Syiah, konsep mistisisme atau spriritualisme dan pendekatan damai serta ajaran akhlaqul karimah merupakan inti ajarannya. Strategis kultural Syiah terlihat tidak mengedepankan aspek teologi dan fikih sehingga berhasil menghindari konflik dengan agama pribumi. Itu terjadi karena corak spiritual, mistik, dan kultural tersebut memiliki kesamaan dengan agama pribumi.
Selain itu, ada perspektif lain yang menyebutkan bahwa penyebar Islam ini adalah para pedagang. Menyiarkan Islam bukan maksud utama atau satu-satunya untuk datang ke Nusantara. Islam disebarkan sebagai efek dari pembauran dalam waktu yang cukup lama. Proses penyebaran Islam oleh para pendakwah temporer ini meninggalkan corak Islam yang akulturatif.
Penerimaan terhadap Islam yang bercorak spiritual, mistik, dan kultural tadi juga memperlihatkan pembauran konsep antar mazhab Islam. Mungkin akibat trauma sejarah yakni konflik penguasa dengan pemeluk Syiah di Timur Tengah menyebabkan pendakwah berkeyakinan Syiah lebih memilih Sunni Syafi’i dalam ajaran fikihnya. Inilah yang di kemudian hari membentuk komunitas Nahdlatul Ulama dengan teologi Sunni yang khas Indonesia. NU memiliki corak kesunnian beserta tradisi-tradisi kejamaahannya yang berbeda dengan Sunni di Timur Tengah atau di belahan dunia Islam lainnya. Jejak Syiah dalam tradisi NU tak dapat dibantah. Hal mana diakui Gus Dur dengan pernyataannya yang sangat terkenal, “NU adalah Syiah minus imamah, dan Syiah adalah NU plus imamah.”
Perkembangan berikutnya adalah masuknya gerakan pembaharuan pemikiran Islam yang mencoba menggabungkan berbagai corak ajaran Islam. Gerakan yang mirip dengan gagasan Pan Islamisme Jamaluddin Al-Afghani yang digabung dengan Muhammad Abduh. Gerakan ini terpaksa mengangkat tema-tema teologi dan fikih sebagai suatu konsekuensi pembaharuan Islam dalam menghadapi gelombang modernism. Gerakan ini kemudian menimbulkan benturan akibat munculnya klaim kebenaran antar mazhab. Pada saat itulah gerakan Wahhabisme mempertegas benturan antar mazhab dengan slogan anti takhayul, bid’ah, dan khurafat. Gerakan Wahhabisme berkembang sedemikian rupa dengan karakteristik takfiri dalam berbagai variannya hingga kini melalui kelompok-kelompok masyarakat baik yang berbentuk ormas maupun komunitas lain.
Syiah dalam situasi masyarakat seperti ini hanya berupa “artefak” kultural yang dapat dijumpai pada tradisi dan upacara tahunan semacam asyura, maulid, dan ritual lain seperti ziarah kubur, tradisi tabarruk kepada ulama dan tempat keramat para ulama dan habaib, ritual munajat, ratib dan zikir dan sebagainya. Syiah sebagai sebuah mazhab pemikiran yang sarat dengan gagasan pembaharuan dan perubahan sosial tidak lagi dijumpai dalam waktu yang cukup lama, hingga meletusnya Revolusi Islam Iran.
Sebagai mazhab Islam arus utama bersama Ahlussunnah, Syiah memiliki sejarah yang merentang jauh hingga ke masa fajar Islam menyingsing di jazirah Arab pada abad ke-6 Masehi. Selama itu pula, para pengikut mazhab ini diakui telah memberikan banyak kontribusi signifikan bagi perdaban Islam pada umumnya, baik dalam bidang pemikiran (filsafat, teologi, moral, irfan, dan hukum) hingga di ranah praktik sosial, budaya, ekonomi, dan politik.
Beberapa di antaranya bahkan tercatat sebagai figur prestisius tak tertandingi yang mewarisi pengaruh sangat luas dan menentukan sampai hari ini. Sebut saja di antaranya “bapak kedokteran” Ibnu Sina, pendiri teosofi keislaman Nashiruddin Thusi, “mahkota filsafat Islam” Mulla Sadra, dan “bapak revolusi Islam di abad modern” Imam Khomeini.
Seluruh dinamika dan prestasi mengagumkan itu mencapai puncaknya berkat revolusi Islam di Iran pada Februari 1979–yang secara fantastis dan sukses menumbangkan kekaisaran Persia berusia 2500 tahun dan didukung seluruh kekuatan “adidaya” Barat. Sejak saat itu, Syiah sebagai mazhab keislaman sekaligus kekuatan sosial politik mulai diperhitungkan di kancah internasional serta menjadi sorotan publik.
Salah satu implikasi yang tak dapat diabaikan dari revolusi itu adalah meningkatnya jumlah pengikut mazhab Syiah sebanyak dua kali lipat dari jumlah sebelumnya. Sampai hari ini, kuantitas pengikut mazhab ini ditaksir mencapai sekitar 400 juta jiwa atau 25 persen dari total populasi Muslim yang tersebar di pelbagai belahan bumi, termasuk di Indonesia.
Pasca tumbangnya monarki Pahlevi Syiah sebagai kultur mistik yang sudah langgeng di Nusantara berkembang sebagai mazhab. komunitas Syiah di Indonesia baru berkembang pesat dan memiliki pengaruh pada tahap tertentu di tengah kehidupan masyarakat pasca revolusi Islam di Iran pada 1979 diawali dengan kepergian sejumlah individu berusia muda untuk belajar di pusat pendidikan keislaman (hauzah) mazhab Syiah, Qum di Iran pada awal 1980-an (beberapa di antaranya bahkan sudah berada menimba ilmu di sana sejak sebelum berdirinya Republik Islam).
Beberapa pandangan tokoh dari Iran seperti Ali Shariati dan Muthahhari berupa artikel di majalah Yaumul Quds terbitan Kedubes Iran dan beberapa buku terjemahan menjadi menu favorit banyak mahasiswa di seluruh Indonesia. Syiah sebagai mazhab bercorak rasional, filosofis dan ilmiah yang dikemukan dengan metodologi modern pun menjadi primadona di kalangan generasi Muslim yang sempat goncang oleh pandangan-pandangan Marx, Nietzche, Sartre dan para pemikir Barat modern.
Beragam peristiwa besar internasional dan regional juga nasional membentuk, mempengaruhi dan mengiringi sejarah terbentuknya individu-individu yang menggandrungi pemikiran Syiah dan sebagian menganut mazhab ini. Mazhab ini terus berkembang secara natural dan sporadis membentuk sejumlah perkumpulan berupa aneka kelompok kajian dari filsafat lalu teologi, kemudian sejarah dan akhirnya fikih dan ritual melalui majelis pembacaan doa sebagainya.
Evolusi dari kultur esoterisme dan mistisme pada masa pra revolusi lalu hazanah pemikiran filsafat pada masa-masa awal Revolusi Iran ke sebuah mazhab khas dengan teologi dan fikihnya pada masa-masa setelahnya yang disertai berdirinya sejumlah lembaga berupa yayasan yang bercirikan Syiah di sejumlah kota menandai babak baru yang penuh tantangan eksternal dan internal.
Tanpa perlu merincikan tantangan-tantangan eksternal dan internal yang mengiringinya sejak 90-an hingga kini, dapat dikonfirmasi bahwa mazhab Islam Syiah Imamiyah di Indonesia telah hadir sebagai sebuah realitas intelektual Islam dan dan komunitasnya dengan dinamika pemikiran partikular di dalamnya juga telah eksis sebagai realitas sosial bangsa.
Seiring daur waktu, melalui diskusi, kajian internal, interaksi dengan pihak luar, gangguan-gangguan intoleransi dan beragam faktor lainnya, komunitas Syiah di Indonesia secara natural terbentuk dengan ciri khas dan identitas kesyiahannya di tengah masyarakat Sunni yang merupakan mayoritas umat Islam di Indonesia dan masyarakat umum.
Dengan semua perbedaan dan keragaman level pemahaman kesyiahan individu-individu di dalamnya, komunitas ini disatukan oleh sebuah kebutuhan bersama, yaitu legitimasi formal dan akseptabilitas sosial sebagai penguat eksistensinya. Ide berkoordinasi mulai tumbuh serentak dari banyak individu, terutama para mubalig dan aktivis yayasan-yayasan yang tersebar di seluruh kota di Tanah Air untuk mengevaluasi pola interaksi, mempertegas posisinya dalam konteks keumatan dan kebangsaan, melakukan klarifikasi, menyeragamkan visi dan misi dan memberikan kontribusi dalam segala bidang untuk umat dan bangsa terutama dalam memperkuat NKRI dan membendung intoleransi, ekstremisme dan radikalisme beriring harapan umat Islam di Indonesia, masyarakat umum dan Pemerintah menerima dan memperlakukannya sebagai elemen umat Islam dan bagian integral bangsa majemuk yang besar ini.
Bersambung…
Ustaz Muhsin Labib Assegaf (Ketua Komisi Bimbingan dan Dakwah Dewan Syura ABI)
Baca juga : Syiah, Indonesia dan Iran [Bag 2]