Berita
Syiah di Indonesia dan Dinamika Politik Iran (bag 5 Republik Islam Iran)
Republik Islam Iran
Syiah sering dikaitkan dengan Iran. Pengaitan ini kadang karena minimya informasi. Kadang pengidentikan ini dilakukan secara sengaja demi tujuan dan tendensi kebencian alias fitnah.
Iran menjadi Republik Islam tidak melalui pemaksaan, tetapi melalui referendum dengan partisipasi terbanyak dalam sejarah. Referendum diadakan untuk mengukur akseptabilitas (keterterimaan). Kemudian akseptabilitas menjadi legalitas untuk mendirikan negara Islam Iran. Setelah rakyat memilih Republik Islam dalam referendum, konstitusi yang ditetapkan menjadi sistem yang mengikat warga, apa pun agama dan mazhabnya. Konstitusi yang dihasilkan oleh lembaga legislatif menjadi Undang-undang Dasar (UUD) negara, bukan hukum Islam yang hanya berlaku atas Muslim/Syiah saja, tapi setiap warga Iran.
Baca juga Syiah di Indonesia dan Dinamika Politik Iran (bag 4 Iranisme & Gerakan Transnasional)
Hal penting yang kerap tidak diperhatikan ialah bahwa Republik Islam Iran tidak berarti Islam telah menjadi sistem negara di Iran. Disebut Republik Islam Iran, yang lebih tepat diartikan Republik Islami di Iran (Jomhouriye Islami-ye Iran atau Al-Jumhuriyyah Al-Islamiyyah Al-Iraniyyah), karena bersifat Islam. “Islam” ajektif, bukan substantif. Artinya, dalam republik (negara yang kedaulatannya dibangun dengan kontrak sosial melalui referendum) itu, Islam merupakan sifat yang dipredikasikan atas “Republik” sebagai substansi, bukan Islam menjadi substansi dan Republik menjadi predikat. Dengan kata lain, undang-undang negara Iran disarikan (melalui penafsiran) dari teks suci Alquran dan Sunnah. (Sebenarnya bila Pancasila diyakini sebagai dasar negara yang disarikan dari Islam dan nilai-nilai etika universal yang selaras dengan semua agama, maka Republik Indonesia bisa dianggap “islami”, karena ke-islam-an sebuah Republik didasarkan dari penafsiran dari Alquran dan Sunnah. “Islam” yang merupakan predikat yang bersifat universal melampaui mazhab Sunni dan Syiah.)
Sementara itu, Irak, meski mayoritas penduduk bermazhab Syiah dan sebagian besar kekuasaan dipegang oleh mayoritas Syiah sejak Saddam Husein jatuh, namun tidak lantas menjadi negara Islam.
Iran yang relatif homogen berbeda dengan Indonesia yang heterogen. Karena itu pengalaman negara Islam di Iran tidak serta merta bisa diterapkan di Indonesia. Selain itu, masyarakat beragama di Indonesia lebih mirip dengan masyarakat beragama di Lebanon. Syiah di Indonesia pun lebih memilih Islam sebagai sistem masyarakat, bukan sistem negara karena kemajemukannya. Sungguh ironis bila yang dijadikan bahan analisis intelejen Negara terhadap Syiah di Indonesia adalah data-data invalid, tidak up-to-date, dan dangkal.
Sebagai warga negara Indonesia ketaatan kepada wali faqih (bukan Rahbar) – yang saat ini sebagian besar percaya dipegang oleh Ali Khamenei – adalah sebatas ketaatan dalam hal fikih atau ibadah bukan ketaatan politis tentunya.
Ekspor Revolusi
Tuduhan bahwa Syiah di Indonesia ini ingin mengimpor revo-lusi Islam Iran ke Indonesia adalah jelas tuduhan tidak mendasar sebagaimana jika ada tuduhan bahwa umat Katolik di Indonesia ingin mendirikan negara Katolik ala Vatikan. Artinya, perlu ditegaskan kembali bahwa ketaatan kepada wali faqîh yang saat ini dipercayai dipegang oleh Ali Khamenei adalah sebatas keterikatan keagamaan sebagaimana orang Katolik terhadap Paus. Karena itulah, Syiah di Indonesia tidak setuju jika negara turut campur dalam mengurusi agama di Indonesia. Justru dengan memahami konsep wilâyah al-faqîh, maka seharusnya akan terkonfirmasi terpisahnya agama dari negara.
(Dikutip dari Buku “Syiah Menurut Syiah” Tim Penulis Ahlulbait Indonesia)