Ikuti Kami Di Medsos

Berita

Syahadat Syiah Berbeda dengan Ahlusunah?

Syahadat Syiah Berbeda dengan Ahlusunah?

Syahadat Syiah Berbeda dengan Ahlusunah?

Bersyahadat berarti mengungkapkan keyakinan secara verbal. Secara etimologis, syahadat berasal dari kata bahasa Arab yaitu syahida (شهد ), yang artinya ia telah menyaksikan.

Asal kata syahida-yasyhadu artinya menyaksikan, penyaksian. Ketika seseorang bersyahadat untuk memeluk Agama Islam dia bersaksi atau menjadi saksi akan terhadap dan adanya Allah.

Seseorang yang bersaksi di sebuah pengadilan tentu dia telah paham terhadap peristiwa yang disidangkan. Orang yang bersaksi dalam pengadilan telah melihat atau menyaksikan kejadian dengan sebenarnya (dengan kata lain dengan mata kepalanya sendiri) sehingga dapat memberikan keterangan atau kesaksian dengan benar.

Bersyahadat secara terminologis dalam teologi, berarti pernyataan kepercayaan dalam keesaan Tuhan (Allah) dan Nabi Muhammad sebagai RasulNya.

Baca juga : Penjelasan tentang Shalat Tiga Waktu

Sebagian orang menganggap muslim Syiah memiliki tiga syahadat. Maka perlu diperjelas bahwa syahadat adalah konfirmasi terhadap sesuatu.

Misalnya, mengonfirmasi bahwa seseorang adalah orang yang jujur dan baik. Maka ia bisa bersyahadat bahwa ia adalah orang jujur dan baik.

Hal itu bukan berarti bahwa ia memiliki tiga syahadat; Asyhadu an La ilaha illa Allah, wa Asyhadu anna Muhammad Rasulullah, dan (misalnya) wa asyhadu anna Fulan shaduq (aku bersaksi bahwa si fulan adalah orang jujur dan baik).

Lantas apa salahnya jika Muslim Syiah meyakini bahwa Ali seorang wali Allah? Sementara di sebagian keyakinan muslim di Indonesia juga banyak yang mengakui seseorang sebagai wali.

Padahal kalau kita mau merujuk kepada kitab-kitab klasik, banyak keterangan yang menunjukkan bahwa Ali adalah wali dan segala keutamaannya, di antaranya;

  1. Sebuah hadis panjang yang berasal dari Ibnu Abbas, di antaranya Rasulullah Saw bersabda kepada Ali bin Abi Thalib, “Engkau waliku di dunia dan akhirat.” Dalam hadis yang sama beliau juga bersabda kepada Ali bin Abi Thalib, “Engkau waliku bagi setiap mukmin setelahku.” (1)
  2. Dari Imran bin Hushain, Rasulullah Saw bersabda, “Biarkanlah Ali, biarkanlah Ali, biarkanlah Ali. Sesungguhnya Ali dariku dan aku dari Ali. Ali wali setiap mukmin setelahku.” (2)
  3. Dari Imran bin Hushain, Rasulullah bersabda, “Jangan persoalkan Ali. Sesungguhnya Ali dariku dan aku dari Ali, dan wali setiap mukmin.”  (3)
  4. Dari Anas bin Malik, “Aku diutus Nabi Saw kepada Abu Barzah Al-Aslami, Nabi berkata kepadanya, dan aku mendengarnya bersabda, ‘Wahai Abu Barazah, sesungguhnya Tuhan semesta bersumpah kepadaku tentang Ali bin Abi Thalib, ‘Sesungguhnya ia adalah panji petunjuk, penerang iman, pemimpin para wali-Ku, dan cahaya seluruh yang taat kepadaku.’ Wahai Abu Barazah, Ali bin Abi Thalib adalah kepercayaanku kelak di hari Kiamat, pemegang panjiku di hari Kiamat, kepercayaanku atas kunci-kunci khazanah kasih sayang Tuhanku azza wa jalla.’” (4)

Baca juga : Ambiguitas Mekanisme dan Kebijakan dalam Khilafah

Selain itu, syahadat dalam maknanya sebagai sebuah penyaksian juga bisa diperluas menjadi lebih dari dua, yaitu, syahadat atas sepuluh malaikat utama, syahadat atas para Nabi Ulul ‘Azmi, syahadat atas dua puluh lima Nabi, syahadat atas surga dan neraka, syahadat atas barzakh, syahadat atas shirat, dan seterusnya.

Apakah kemudian kita bisa menyebut syahadat dalam Islam lebih dari dua? Lantas apa makna dari dua syahadat sesungguhnya?

Dua kalimat syahadat adalah password, kata kunci terjaminnya seseorang sebagai muslim dan selamat jiwa dan kehormatannya. Ketika ia bersyahadat, maka haram darahnya untuk dibunuh meskipun ia berdusta.

Bagaimana dengan Syiah yang membangun syahadatnya sendiri? Selama ia tidak bertentangan dengan syariat, maka bisa dibenarkan bagi Muslim Syiah. Karena kalau tidak mengimani Ali sebagai wali Allah, berarti ia bukanlah seorang Syiah.

Meskipun hadis-hadis yang menyebutkan bahwa Ali wali Allah banyak tercatat dalam literatur Islam, muslim Syiah juga dilarang keras memaksa orang lain untuk mengimaninya, karena tidak ada paksaan dalam beragama.

Hal ini jelas menunjukkan adanya perbedaan di dalamnya, tapi ia bukan merupakan bagian dari pokok agama. Titik temunya adalah pada dua kalimat syahadat tersebut sesuai dengan ijmak seluruh Muslim dari mazhab mana pun.

Baca juga : Dua Dimensi Kepemimpinan Nabi

Syiah tidak mengakui adanya tambahan lain atas teks syahadat sebagaimana ijmak muslimin di atas. Tambahan teks “wa ‘Aliyyan waliyyullâh” sama sekali tidak ditemukan dalam buku-buku rujukan Syiah.

Bahkan, penambahan teks tersebut, sebagaimana yang dituduhkan kepada Syiah dalam azan, adalah bidah menurut jumhur ulama Syiah.

Sebagian awam yang menambahkan kalimat sebagaimana yang dituduhkan di atas tidaklah dapat dijadikan sebagai dasar, karena perilaku awam bukanlah sumber hukum atau pun otoritas yang dapat dipegang dalam menilai mazhab mana pun.

Di dalam Kitab Wasâil Al-Syi’ah bab 19 tentang azan dan iqamah disebutkan larangan untuk menambah teks “wa ‘Aliyyan waliyullâh” dalam azan.

Bahkan, hal ini dianggap sebagai sesuatu yang dimasukkan dengan tidak sahih dalam kitab-kitab Syiah. Hal yang sama disebutkan dalam semua referensi Syiah lain.

Kalau pun dibenarkan, hukum tambahan “wa‘Aliyyan wa liyullâh” dalam azan adalah sama dengan hukum pendengar azan bershalawat ketika mendengar kata Muhammad disebutkan dalam syahadat.  (5)

(Dikutip dari Buku “Syiah Menurut Syiah” Tim Penulis Ahlulbait Indonesia)

Catatan kaki

  1. Ahmad bin Hanbal, Al-Musnad, juz 3, h. 331-3, hadis 3062, syarh Ahmad Muhammad Syakir, cet. 1, Dar Al-Hadis, Kairo, Mesir, 1995 M (1416 H).
  2. Ahmad bin Hanbal, Musnad, juz 5, h. 350-1, 358-61. juz 33, h. 154, hadis 19928, cet. 1, Muassasah Al-Risalah, Beirut, Lebanon, 1999 M (1420). Ahmad bin Hanbal, Kitâb Fadhâil Al-Shah,âbah h. 749-750, hadis 1035, cet. 2, Dar Ibn Al-Jauzi, Jeddah, Saudi Arabia, 1999 H (1420 M). Ibnu Abi Syaibah, Al-Mushannaf, juz 12. Abu Dawud, Musnad, 829. Tirmidzi, Jâmi’ Al-Tirmidzi, 3712, Ibnu Abi ‘Ashim, Al-Sunnah, hadis 1187. Al-Nasa’i, Al-Sunan Al-Kubrâ, hadis 8147, 8474 dan Al-Khashâis Amîr Al-Mu’minîn Ali bin Abî Thâlib, hadis 68, 89. Abu Ya’la Al-Maushili, Al-Musnad, hadis 355. Al-Thabarani, Al-Mu’jam Al-Wasîth, juz 18, 265. Abu Na’im,Hilyah Al-Awliyâ’, juz 6, h. 294.
  3. Al-Hakim, Al-Mustadrak ‘alâ Al-Shahîhain, juz 3, h. 119, hadis 4579, cet. 2, Dar Al-Kutub Al-’Ilmiyyah, Beirut, Lebanon, 2002 M (1422 H). Al-Albani, Al-Ta’lîqât Al-Hisân ‘alâ Shahîh Ibn Hibbân, j. 10, h. 67-8, hadis 6890, cet. 1, Dar Bawazir, Jeddah, Saudi Arabia, 2003 M (1424 H).q
  4. Muhammad bin Yusuf Al-Kanji Al-Syafi’i, Kifâyah Al-Thâlib fî Manâqib Ali bin Abî Thâlib, h. 215, cet, 3, Dar Ihya Al-Turats Ahl Al-Bait, Tehran, Iran, 1404 H.
  5. Tahrîr Al-Wasîlah, Bab Azan dan Ikamah.

Baca juga : Perbedaan Khilafah dan Imamah