Akidah
Sikap Umat Terdahulu Terhadap Para Nabi
Manusia dan Para Nabi
Pembahasan sebelumnya Beberapa Keistimewaan Para Nabi [bag 1] dan [bag 2]
Ketika Alquran menyebutkan para nabi terdahulu, menjelaskan sebagian dimensi kehidupan mereka yang penuh berkah, serta menghilangkan upaya-upaya penyelewengan secara disengaja maupun tidak dari lembaran sejarah mereka yang gemilang, itu berarti bahwa Alquran menaruh perhatian yang besar terhadap umat manusia dalam menyikapi mereka.
Di satu sisi, Alquran menjelaskan sikap umat manusia terhadap para nabi Allah dan faktor-faktor yang menyebabkan mereka mengingkari para nabi tersebut. Di sisi lain, Alquran memberikan gambaran ihwal petunjuk, hidayah dan pendidikan para nabi dan cara-cara memberantas faktor-faktor kekufuran dan kemusyrikan. Alquran juga menjelaskan hubungan-hubungan sabab-akibat dalam pengelolaan masyarakat, khususnya hubungan timbal-balik antara manusia dan para nabi yang meliputi hal-hal penting dan berbagai manfaat yang membuahkan hasil pendidikan yang unggul.
Pembahasan semacam ini, walaupun tidak berhubungan secara langsung dengan masalah-masalah akidah dan Kalam, akan tetapi mengingat hal ini dapat menjelaskan masalah-masalah kenabian dan dapat menghilangkan berbagai kesamaran, dan mengingat pengaruhnya yang positif dalam upaya perbaikan dan pembinaan umat manusia, serta kandungan pelajaran dari peristiwa-peristiwa sejarah yang sebegitu penting, maka pembahasan mengenai hal itu amat berguna dan diperlukan. Oleh karena itu, kami akan menje-laskan berbagai hal penting yang berkaitan pada pelajaran ini.
Ketika para nabi menyeru umat manusia untuk menyembah Allah Yang Esa, mentaati segenap ajaran-Nya, meninggalkan ‘tuhan-tuhan’ mereka yang batil, menolak ajakan setan dan penguasa zalim, memerangi kezaliman, kerusakan, maksiat dan berbagai perbuatan mungkar, mereka menghadapi penentangan dari masyarakat, terutama dari para penguasa yang zalim, orang-orang kaya, orang-orang yang suka berfoya-foya, dan orang-orang yang bangga dengan harta dan kedudukan, atau dengan ilmu, budaya dan pendidikan mereka. Mereka mengerahkan semua tenaga dan kekuatan untuk menghadapi para nabi, menghadang dakwah mereka dan mengajak kelompok-kelompok lainnya untuk bersekongkol dengan mereka dan menghalangi orang-orang dari mengikuti kebenaran.
Akan tetapi secara berangsur-angsur, sebagian kelompok yang mayoritas berasal dari golongan bawah menerima dakwah para nabi. Sedikit sekali masyarakat yang terbentuk di atas akidah yang benar, keadilan dan ketaatan kepada perintah Allah dan para nabi-Nya, sebagaimana yang terlihat pada masa Nabi Sulaiman a.s. Meski begitu, sebagian ajaran para nabi dapat menyusup ke tengah-tengah budaya masyara-katnya lalu menyebar ke masyarakat yang lain sehingga banyak yang mengambil manfaat darinya. Bahkan terkadang sebagian ajaran para nabi itu dilontarkan sebagai penemuan baru para pemimpin kekufuran, padahal mereka menukilnya dari syariat-syariat samawi, kemudian mereka melontar-kannya sebagai pandangan yang baru tanpa menyebutkan sumbernya yang asli.
Faktor dan Motif Penentangan
Di samping faktor-faktor umum seperti: rasa ingin bebas dan mengikuti hawa-nafsu, terdapat faktor-faktor dan motif-motif lainnya dalam penentangan terhadap para nabi, antara lain: sifat congkak, egoisme, dan arogansi. Galibnya, sifat-sifat ini tampak di kalangan elite dan kaya di masyarakatnya. Faktor lainnya adalah fanatisme, berpegang teguh pada tradisi leluhur mereka yang keliru. Demikian pula mempertahankan kepentingan ekonomi dan status sosial merupakan motif yang kuat bagi orang-orang kaya, para penguasa dan para ilmuwan dalam mengambil sikap terhadap para nabi.
Dari sisi lain, kebodohan dan tidak adanya kesadaran masyarakat juga berperan besar yang membuat mereka tertipu dan jatuh ke dalam perangkap thaghut (para penguasa zalim), bertaklid buta kepada para tokoh, dan mengikuti kebanyakan orang, serta menyebabkan manusia lebih condong mengikuti dugaan dan keyakinan mereka serta menolak agama yang hanya diikuti oleh kelompok kecil saja. Terlebih lagi, orang-orang mutadayyin (yang taat pada agama) tidak mempunyai kedudukan sosial yang berarti di tengah masyarakat, bahkan mereka itu adalah orang-orang yang tersingkir dari kaum elite dan mayoritas. Di samping itu semua adalah tekanan dari pihak-pihak yang berkuasa.
Metode Penentangan
Para penentang nabi telah menggunakan berbagai macam metode untuk menentang dakwah para nabi. Di antara metode tersebut ialah:
a. Menghina dan Mengejek
Pada mulanya, mereka berusaha membunuh para nabi, atau menyingkirkan mereka dengan cara menghina dan mencemooh sehingga masyarakat mengambil sikap acuh tak acuh terhadap dakwah para nabi.
b. Dusta dan Fitnah
Lalu, mereka menggunakan cara-cara bohong, fitnah dan tuduhan yang keji; bahwa Rasul itu, misalnya, dungu atau gila. Tatkala beliau mendatangkan mukjizat, mereka menuduhnya sebagai penyihir. Mereka juga menyebut risalah nabi itu sebagai semata-mata dongeng dusta.
c. Debat dan Mughalathah
Ketika para nabi berbicara di hadapan umat dengan bahasa yang penuh hikmah dan argumentasi yang kuat, atau berdialog dengan mereka melalui debat sebaik mungkin, menasihati dan mengingatkan mereka akan bahaya kekafiran, kemusyrikan dan pengingkaran, menjelaskan kepada mereka bahwa iman dan ibadah kepada Allah swt. itu akan menda-tangkan keuntungan, dan memberikan kabar gembira kepada kaum mukmin dan orang-orang yang beramal saleh akan kebahagiaan dunia dan akherat.
Melihat kondisi semacam ini, para tokoh kafir berusaha mencegah umat dari mendengarkan ajakan para nabi tersebut. Kemudian mereka berusaha menjawab ajakan tersebut dengan logika yang lemah. Mereka juga berusaha menipu masyarakat dengan retorika yang secara lahiriah menarik, serta mencegah mereka dari mengikuti ajakan para nabi. Untuk itu, biasanya mereka menggunakan cara-cara dan adat yang biasa dipakai oleh nenek moyang mereka dalam menghadapi ajakan para nabi itu, misalnya dengan harta dan kekuatan materi yang mereka miliki.
Kaum penentang selalu menjadikan para pengikut nabi yang miskin dan lemah sebagai dalil atas ketidakbenaran akidah dan perilaku mereka. Kemudian mereka mencari-cari berbagai alasan untuk membendung dakwah nabi seperti: mengapa Allah tidak mengutus para nabi-Nya itu dari malaikat? Atau, mengapa Allah tidak mengutus malaikat bersama para nabi? Atau, mengapa para nabi itu tidak memiliki kekayaan yang melimpah dan kehidupan yang menonjol? Puncak penentangan ialah tatkala mereka menga-takan: “Kami tidak akan beriman sampai Allah menurunkan wahyu kepada kami sendiri, atau kami dapat melihat Allah dengan jelas dan mendengar perkataan-Nya tanpa perantara”.
d. Ancaman dan Propaganda
Metode lain yang digunakan oleh kebanyakan umat sebagaimana dikisahkan oleh Al-Qur’an ialah mengancam para nabi dan pengikut mereka, dan menakut-nakuti dengan berbagai macam intimidasi seperti: mengusir mereka dari kota, melempari mereka dengan batu-batu, atau membunuh mereka.[1] Dari sisi lain, mereka menggunakan propaganda yang memikat, terutama melalui harta yang melimpah demi mencegah manusia dari mengikuti ajakan para nabi.[2]
e. Kekerasan dan Pembunuhan
Akhirnya, melihat kesabaran dan keteguhan para nabi, dan menyaksikan ketegaran pengikut mereka yang setia, dan setelah merasa putus asa dari berbagai sarana dan cara untuk membendung dakwah para nabi, mereka membunuh para nabi itu agar umat manusia terhalangi dari wujud mereka sebagai karunia Ilahi yang paling besar dan penyelamat masyarakat yang agung.[3]
Sunnatullah dalam Pengelolaan Umat
Sesungguhnya tujuan utama diutusnya para nabi ialah untuk membimbing umat manusia agar memperoleh penge-tahuan yang cukup, menyampaikan mereka kepada kebaha-giaan dunia dan akhirat, serta menutupi kekurangan mereka -lantaran terbatasnya akal dan pengalaman mereka- dengan menurunkan wahyu. Singkatnya, tujuan utama itu ialah menyempurnakan hujjah atas mereka.[4] Akan tetapi, ketika para nabi itu diutus, Allah swt. dengan rahmat dan kasih sayang-Nya kepada hamba-hamba-Nya dan melalui pengatu-ran-Nya yang bijaksana, melengkapi mereka dengan kondisi jiwa sehingga mereka dapat menerima dakwah nabi dan membimbing manusia dalam menempuh jalan kesempurnaan.
Mengingat faktor terbesar pengingkaran, penyimpangan dan penolakan terhadap Allah dan para nabi adalah rasa tidak butuh[5] dan lalai akan sebegitu luasnya kebutuhan makhluk, maka Allah Yang Mahabijak menyiapkan kondisi dan sebab-sebab yang mendorong manusia agar dapat menyadari kebutuhan dan kepentingan mereka, juga untuk menyela-matkan mereka dari kelalaian, kecongkakan dan fanatisme.[6] Maka itu, Allah menguji mereka dengan berbagai macam ujian, bencana dan musibah agar mereka merasa dan menga-kui kelemahannya kemudian tunduk di hadapan Allah swt.
Akan tetapi faktor inipun tidak berpengaruh secara merata dan menyeluruh, sebab masih banyak sekali manusia -khususnya orang-orang yang memiliki kekayaan materi yang melimpah- yang hidup dalam usia yang panjang di dalam kesenangan dan kezaliman terhadap orang lain. Dalam gambaran Al-Qur’an, mereka bagaikan batu bahkan lebih keras.[7] Mereka tidak sadar akan kelalaian mereka, bahkan senantiasa tenggelam dan terus berjalan dalam kesesatan, sakalipun mereka telah ditimpa berbagai bencana. Nasehat dan peringatan para nabi tidak lagi berarti bagi mereka sama sekali. Dan ketika Allah mengangkat azab dan bencana dari mereka lalu mengembalikan nikmat-Nya kepada mereka, mereka berkata: “Kesusahan sudah biasa terjadi di dunia ini, seperti yang menimpa nenek-nenek moyang kita”,[8] lalu mereka kembali berbuat maksiat dan menumpuk harta kekayaan dan menghimpun kekuatan. Mereka lalai bahwa semua itu merupakan ujian Ilahi yang dapat membuat mereka sengsara, baik di dunia maupun di akhirat.
Alhasil, ketika pengikut dan pembela para nabi telah mencapai jumlah yang memungkinkan untuk membentuk sebuah masyarakat yang mandiri, dapat menjaga dan membela diri serta memerangi musuh-musuh Allah, mereka diperintahkan untuk melakukan jihad.[9] Ketika itulah azab Allah akan ditimpakan kepada orang-orang yang kafir melalui kekuatan orang-orang mukmin.[10] Jika kondisi tidak memung-kinkan, kaum mukmin diperintahkan oleh para nabi untuk menghindar dan menjauhi orang-orang kafir karena azab dan bencana Ilahi –melalui jalan lainnya– akan diturunkan ke atas umat penentang yang tidak dapat diharapkan lagi kebaikan-nya, dan mereka tidak mungkin kembali ke naungan Ilahi.[11] Inilah sunnatullah yang tidak mungkin berubah dan berganti dalam mengatur kehidupan umat manusia.[12]
Dikutip dari buku karya Ayatullah Taqi Misbah Yazdi, Merancang Piramida Keyakinan
Catatan Kaki [1] Lihat Ibrahim:13, Hud: 91, Maryam: 36, Yasin: 18, Ghafir: 26 [2] Lihat QS. Al-Anfal: 36 [3] Lihat QS. Ibrahim: 12, Al-Baqoroh: 61, 87, 91, Al-Imran: 21, 112, 181, Al-Maidah: 70, An-Nisa': 155 [4] Lihat QS. An-Nisa': 65, Thaha: 134 [5] Lihat Qs. Al-'Alaq: 6 [6] Lihat Qs. Al-An'am: 42, Al-A'raf: 94. [7] Lihat Qs. Al-An'am: 43, Al-Mu'minun: 76 [8]Lihat Qs. Al-A'raf: 95, 182, 183, Alimran: 178, At-Taubah: 55-58, Al-Mu'minun: 54-56. [9] Lihat Qs. Alimran: 146 [10] Lihat Qs. At-Taubah: 14 [11] Lihat Qs. Al-'Ankabut: 40, dan di surat-surat lainnya. [12] Lihat Qs Al-Fathir: 43, Ghafir: 85, Al-Isra': 77