Berita
Prof Azyumardi Azra: Kaum Syiah Di Asia Tenggara, Menuju Pemulihan Hubungan Dan Kerjasama [3]
Menuju Kebangkitan Kembali
Perdebatan mengenai apa yang disebut pengaruh Syiahisme kepada Indonesia tentu saja masih berlanjut sampai hari ini. Tampaknya tidak ada cara untuk menyelesaikan kontroversi itu karena perdebatan kebanyakan didasarkan pada klaim-klaim ideologis dari pada hal lain apapun. Meskipun ada perdebatan panjang yang tak terselesaikan, yang jelas jejak-jejak kehadiran Syiah pada periode-periode pasca-kesultanan dan kolonial di Nusantara tampak susut ke dalam kekaburan. Berbicara secara historiografi s, selain beberapa cerita mengenai perayaan Tabut di Pariaman dan Bengkulu, hampir tidak ada cerita lokal atau laporan kolonial mengenai keberadaan dan perkembangan Syiahisme.
Meskipun kabur, seperti yang ditunjukkan Zulkifl i (2009 dan 2004), pembentukan komunitas Syiah benar-benar dimulai sejak penghujung abad ke-19 berbarengan dengan bertambahnya jumlah migrasi orang Hadhrami dari Yaman ke Nusantara. Dengan demikian, benih-benih komunitas Syiah di wilayah itu adalah orang-orang yang berasal dari Hadrami, khususnya yang berasal dari Ahlulbaitt, yang umumnya dikenal sebagai Sayyid (untuk laki-laki) dan Sharifah (untuk perempuan).
Akan tetapi, argumen saya adalah bahwa mayoritas orang Hadhrami dulu (dan masih) adalah Sunni, mulai dari orang-orang yang tergolong kelompok-kelompok Muslim arus utama yang moderat hingga perkumpulan-perkumpulan berpikiran harafiah, kalau bukannya radikal, yang taat kepada Salafisme moderat atau sebaliknya Wahabiyah radikal. Sebagaimana dapat diamati di masa kini, ada pertarungan dan konflik internal yang serius di kalangan orang Hadhrami—Ahlulbait atau sebaliknya—terkait dengan Syiahisme.
Sejauh menyangkut ulama Syiah terkemuka selama periode kolonial Belanda di Nusantara, studi Zulkifli memberikan laporan yang agak menyeluruh. Mengutip suatu laporan yang ditulis oleh Muhammad Asad Shahab (1910-2001), seorang Sayyid Syiah yang berprofesi sebagai jurnalis dan penulis, ada sejumlah keluarga Sayyid Syiah Hadrami seperti Al-Muhdar, Yahya, Shahab, Al-Jufri, Al-Haddad dan Al-Saqqaf (Zulkifl i 2009: 16). Sekali lagi, tentunya patut diargumenkan bahwa tidak semua keluarga ini penganut Syiahisme; kemungkinan besar mayoritas dari mereka dulu adalah (dan masih) Sunni. Itulah sebabnya ada klaim-klaim yang bertentangan terkait dengan beberapa ‘ulama’ yang telah diklaim sebagai penganut Syiahisme selama penghujung abad ke-19 hingga awal 1980-an.
Orang-orang yang telah disebut sebagai ulama Syiah adalah Sayyid Muhammad ibn Ahmad al-Muhdar (1861-1926 Masehi), yang pindah dari Hadhramaut ke Bogor, Jawa Tengah ketika dia berusia 24 tahun dan merupakan salah seorang dari pendiri Jam’iyah al-Khairiyah (1908 Masehi); Sayyid Ali ibn Ahmad Shahab (1865-1944 Masehi), seorang ‘alim dan aktivis yang juga pendiri Jam’iyah al-Khairiyah dan kemudian menjadi ketuanya; dan Sayyid Aqil bin Zayn al-Abidin al-Jufri (1870-1952 Masehi), seorang ‘alim orang Mekah yang berpendidikan yang aktif berkhotbah dan menulis karya-karya Islami. Ketiganya telah diklaim sebagai ulama Syiah yang paling penting yang bersama-sama dengan beberapa murid mereka—sebagian besar Hadhrami—telah melakukan layanan yang besar untuk memperkenalkan dan menyebarkan Syiahisme di Indonesia.
Pada masa kontemporer, tidak diragukan lagi bahwa keberhasilan revolusi Islam di Iran telah menciptakan suatu momentum besar untuk kebangkitan kembali Syiah di Indonesia. Revolusi itu juga telah mengilhami sejumlah kaum Sunni Indonesia untuk menganut Syiahisme. Sejak awal 1980-an sejumlah yayasan Syiah telah semakin banyak didirikan di berbagai kota di dalam negeri; jumlah mahasiswa Indonesia yang pergi ke Iran untuk menuntut pengetahuan Islam Syiah juga semakin bertambah; dan juga sudah banyak muncul publikasi mengenai Syiahisme (Azra 2001, 2007 dan Zulkifli 2009).
Banyak pengamat dan otoritas pemerintah berasumsi bahwa Syiahisme telah mendapat pengikut, khususnya di kalangan Muslim Indonesia yang masih muda. Ahmad Barakbah, seorang muda lulusan Qum, mengklaim bahwa ada sekitar dua puluh ribu kaum Syiah di Indonesia masa kini (Dewi Nurjuliyanti dan Subhan 1995 dan Alkaff 1998); jumlah itu kemungkinan besar bertambah sekarang ini. Akan tetapi, sulit untuk menaksir jumlah persisnya. Salah satu intelektual Syiah di Indonesia adalah Jalaluddin Rakhmat, yang tampaknya memainkan peranan sangat penting dalam menjelaskan doktrin-doktrin Syiah kepada berbagai komunitas. Selanjutnya, dia terlibat dalam perdebatan-perdebatan dengan para individu dan kelompok yang menganggap popularitas Syiahisme yang meningkat merupakan ancaman bagi ortodoksi Sunni.
Pertanda selanjutnya akan peningkatan popularitas Syiahisme di Indonesia adalah pertumbuhan sekitar 79 lembaga Syiah di Jakarta, Bogor, Bandung, Malang, Jember, Bangil, Samarinda, Pontianak, Banjarmasin, dan kota-kota lain di Indonesia. Akan tetapi, sulit mengetahui seberapa banyak lembaga ini yang benar-benar aktif, apalagi sebagian diketahui hanya sekadar nama belaka. Tampaknya pusat lembaga-lembaga ini adalah Jakarta, yang setidaknya mempunyai 25 lembaga Syiah yang aktif. Terlepas dari aktivisme dan
inaktivisme mereka, jelaslah bahwa semua lembaga ini dicurahkan untuk pendidikan dan dakwah Syiah.
Mungkin yayasan Syiah tertua di Indonesia adalah Yayasan Penyiaran Islam ( YAPI), yang didirikan di Surabaya, Jawa Timur pada 1961. Kemudian YAPI ini pindah ke Lampung dan selanjutnya ke Jakarta. YAPI lainnya yang penting adalah Yayasan Pesantren Islam ( YAPI), pertama didirikan di Bondowoso pada 1971 dan kemudian pindah ke Bangil, Jawa Timur. YAPI lain ini mempunyai sejumlah pesantren yang mendapat ketenaran karena pendidikan agama Islamnya yang berkualitas tinggi.
Salah satu lembaga Syiah terkemuka di Jakarta adalah Yayasan Muntadzar yang didirikan pada 1991. Seperti Yayasan Jawad di Bandung, Yayasan Muntadzar didirikan oleh beberapa penganut Syiah. Program awal yayasan itu adalah studi mazhab (fiqh) Ahlulbaitt, yaitu yurisprudensi Islam dalam tradisi Syiah. Yayasan Muntadzar kini mengklaim mempunyai setidaknya empat ratus anggota dari seluruh Jakarta. Kegiatan-kegiatannya tidak sebatas mempelajari fiqh, tetapi juga meliputi pendidikan tingkat taman kanak-kanak, sekolah dasar, menengah, dan menengah atas. Masih di Jakarta, ada yayasan-yayasan Syiah seperti Yayasan Fatimah (didirikan 1997), dan Yayasan Al-Huda yang meliputi Islamic Cultural Center (ICC, didirikan 2000). ICC setidaknya mempunyai hubungan dengan Kedutaan Besar Iran. Tampaknya ICC dan Kedutaan Besar Iran juga mempunyai hubungan dengan Islamic College of Advanced Studies (ICAS) yang notabene didirikan oleh lembaga Syiah yang berbasis di London. ICAS ini bekerjasama dengan Universitas Paramadina yang didirikan oleh mendiang Nurcholish Madjid, seorang intelektual Sunni Indonesia yang terkemuka.
Di Bogor, sebuah lembaga Syiah yang disebut Yayasan Mulla Sadra didirikan pada 1993. Seperti lembaga-lembaga lainnya, Yayasan Mulla Sadra semula mencurahkan diri untuk mempelajari madzhab fiqh Ahlulbayt. Yayasan itu kemudian memperluas kegiatan-kegiatannya mencakup pendidikan dan penyediaan berbagai layanan sosial dan kesehatan. Pesantren Al-Hadi di Pekalongan, sebuah kota kecil di Jawa Tengah, mempunyai latar belakang yang sama. Pesantren ini didirikan oleh Ahmad Barakbah pada 1989. Pesantren itu mengadopsi sistem pendidikan dari Qum. Kesembilan gurunya adalah lulusan dari Qum di Iran.Pesantren al-Hadi kini mempunyai 112 murid, sebagian besar dari mereka datang dari luar Jawa.
Mengenai alumni Qum, studi yang dilakukan Ali (2005) tentunya adalah studi penting yang mengungkap perjalanan intelektual pemuda Muslim Indonesia di Qum, pusat ilmu-ilmu keagamaan Syiah sejak periode Soeharto. Tidak ada jumlah yang pasti mengenai para alumni Hawzeh Ilmiyeh ini. Jelas, indikasi tersebut menunjukkan peningkatan. Sulit juga rasanya memastikan apakah semua alumni Qum benar-benar Syiah. Kalau memang benarnya adanya, maka mereka pun akan cenderung untuk ikut aktif dalam beragam kegiatan lembaga-lembaga Syiah.
Kesimpulan
Meskipun ada segala usaha ini, tampaknya tidak ada bukti yang kuat bahwa terjadi sejenis konversi besar-besaran Muslim Sunni Indonesia kepada Syiahisme. Meskipun kaum Syiah bebas di Indonesia, mereka menghadapi berbagai kesukaran besar di negeri-negeri lain di Asia Tenggara. Baik di Malaysia maupun di Brunei Darussalam, Syiahisme dipandang sebagai ajaran yang menyimpang. Oleh karena itu, pemerintah di kedua negeri senantiasa mengawasi Syiahisme dan kemungkinan penyebarannya di negeri mereka karena Indonesia adalah daerah yang jauh lebih bersahabat terhadap Syiahisme sehingga mayoritas terbesar Sunni Indonesia tidak berkeberatan dengan Syiahisme. Kenyataannya, sebagian besar pemimpin Muslim Sunni moderat dalam banyak kasus datang membela saudara Syiah mereka ketika mereka mengalami keadaan sulit seperti yang terjadi di
Sampang, Madura, baru-baru ini.
Secara eksternal, kaum Syiah Indonesia ditantang oleh penyebaran kampanye anti-Syiah yang dikhotbahkan oleh kaum Salafiyah radikal dan beberapa alumni Saudi Arabia. Sampai sekarang, kampanye anti-Syiah belum berhasil, tetapi kampanye jenis itu dapat saja meningkat pada hari-hari mendatang.Untuk itu, perlu bagi kaum Syiah Indonesia untuk lebih proaktif dalam usaha-usaha taqarib (pemulihan hubungan baik) dengan saudara Sunni mereka. Hanya melalui dialog, saling pengertian dan penghargaan,
kerjasama dapat diperkuat. Dialog itu juga tak kalah penting dalam menghadapi kelompok-kelompok radikal Salafiyah-Wahhabiyah yang ingin mengubah hakikat dan arah Islam Indonesia untuk keuntungan mereka sendiri.
*Untuk lebih detailnya silahkan baca langsung buku Sejarah dan Budaya Syiah di Asia Tenggara yang diterbitkan oleh Penerbit Sekolah Pascasarjana Universitas Gadjah Mada.