Ikuti Kami Di Medsos

Berita

Perbedaan Khilafah dan Imamah

Perbedaan Khilafah dan Imamah

Perbedaan Khilafah dan Imamah

Area

Khilafah adalah kepemimpinan dengan batas teritori tertentu, yang mengikat secara struktural setiap warga yang berada di dalamnya, sehingga tidak mengikat orang di luar area tersebut.

Sedangkan imamah adalah kepemimpinan yang melampaui batas teritorial, daerah, negara, dan lainnya tetapi mengikat secara spiritual dan teologis setiap pribadi yang meyakininya. Adanya kelompok yang ingin mengembalikan kekhilafahan di masa lalu untuk umat Islam menjadi tidak tepat guna, karena khalifah bersifat institusional (kenegaraan) dan teritorial.

Baca juga Tafsir Rekonsiliatif tentang Kepemimpinan Setelah Nabi

Objek

Umat adalah pihak lain yang merupakan objek niscaya imam. Di dalam Alquran, surah Yunus ayat 19 misalnya, Allah menyifatkan umat – ummah serumpun dengan imam dan imamah – sebagai sesuatu yang tunggal. Hal ini menunjukkan keterkaitan langsung antara Imam dan Ummah. Sedangkan khilafah mempunyai objek warga negara yang membaiatnya. Dalam ayat Alquran, bangsa (sya’b) disebutkan dalam bentuk plural – syu’uban wa qabail.415 Di sinilah objek khilafah dan imamah menjadi benderang.

Relasi

Kepemimpinan vertikal atau imamah semestinya memang dipegang oleh orang-orang suci dan memiliki spiritualitas tinggi seperti Nabi dan wali. Kepemimpinan horisontal atau khilafah tidak niscaya dipegang oleh manusia suci. Meski tentu, Nabi, sebagai pemimpin umat (imam) diyakini telah terbukti menjadi pemimpin horisontal yang menjalankan fungsi kepemimpinan administratif juga.

Keabsahan

Syiah meyakini Imamah sebagai kepemimpinan umat. Karenanya, ia harus dipegang oleh pribadi yang memenuhi syarat-syarat ketat yang tidak bisa disandang oleh pribadi yang tidak suci. Karena itu, Syiah meyakini Ali sebagai pemimpin umat. Sedangkan Sunni meyakini kepemimpinan yang bersifat struktural dengan batas teritorial sebuah state (negara). Karena itu, Sunni tidak menetapkan syarat kesucian bagi pemegangnya.

Pemangku

Ali bin Abi Thalib diyakini sebagai imam sedetik setelah Nabi wafat karena kepemimpinan umat (Imamah) tidak dibangun legitimasinya melalui pemilihan masyarakat. Ia seorang yang tidak pernah melakukan penyembahan berhala sejak kecil. Sedangkan Sunni menitikberatkan pada konsep keadilan bagi seorang khalifah, yaitu tidak cacat moral.

Mekanisme

Ali bin Abi Thalib diyakini sebagai Imam dengan proses deklarasi pengangkatan oleh Nabi Saw saat di Ghadir Khum sebagaimana diperintahkan oleh Allah Swt dalam Alquran. (QS. Al-Maidah [5]: 67. Lihat penjelasannya oleh Jalal Al-Din Al-Suyuthi, Al-Durr Al-Mantsûr fî Al-Tafsîr bi Al-Ma’tsûr, juz 5, h. 382-3, Markaz lil Buhuts wa Al-Dirasat Al-Arabiyyah wa Al-Islamiyyah, Kairo, Mesir, 2003 M, 1424 H)
Sementara Ali bin Abi Thalib memberikan baiatnya kepada Abu Bakar sebagai pemimpin masyarakat (Khalifah), karena tidak menganggapnya sebagai pemimpin umat. Baiat merupakan kontrak sosial politik. Karena itu pula, Syiah tidak mensyaratkan baiat untuk menjadi pengikut Ali (sebagai pemimpin umat). Dalam Syiah, baiat memang bukan syarat.

Fungsi

Sebagaimana mekanisme imamah dan khilafah berbeda, maka fungsi imamah bersifat spiritual, bukan institusional sebagaimana dalam khilafah.

Karakteristik

Tolok ukur khilafah adalah kapabilitas, akuntabilitas, dan akseptabilitas. Sementara konsep imamah, tak harus diterima oleh publik (sosial). Karena memang imamah tidak ada hubungannya dengan pilihan masyarakat. Ia adalah hak prerogatif Tuhan yang bersifat transenden dan divine. Persis sebagaimana Muhammad Saw ditunjuk sebagai Nabi, publik suka atau tidak, setuju atau tidak, Muhammad tetaplah seorang Nabi. Selanjutnya, dalam berbagai ordo tasawuf pun, Imam Ali diyakini sebagai pemimpin para wali. Hubungan ini bersifat kepatuhan spiritual yang didasarkan pada hubungan cinta bukan bersifat kepatuhan administratif. Kepatuhan administratif ini lebih menekankan hubungan tugas kelembagaan, antara atasan dan bawahan.

Bentuk

Sebagaimana pernah dijelaskan tentang pengangkatan Nabi Ibrahim as sebagai Imam dalam QS. Al-Baqarah [2]: 124 pada bagian pertama buku ini yang menunjukkan bahwa imamah merupakan proses penciptaan (takwini). Sementara bentuk khilafah adalah penetapan yang bersumber dari kontrak sosial (tasyri’i).

Kritik Syiah terhadap Abu Bakar, Umar dan Utsman harus dipahami sebagai kritik terhadap kebijaksanaannya sebagai pemimpin struktural administratif. Bahkan penolakan Syiah terhadap ketiga khalifah tersebut karena dianggap tidak memenuhi syarat-syarat kepemimpinan administratif, bukan kepemimpinan spiritual. Sayangnya, sebagian orang Syiah, juga Sunni, menganggap imamah dan khilafah sebagai satu makna. Akibatnya, substansi masalah tereduksi dan dikaburkan oleh sentimen sektarian yang memanas karena kesalahpahaman yang berkepanjangan.

Kesalahpahaman tanpa Klarifikasi

Yang patut disayangkan, adanya orang-orang Syiah yang memberikan pernyataan yang bisa ditafsirkan sebagai penolakan terhadap kepemimpinan struktural itu. Misalnya, dengan memunculkan terma ‘perampasan hak kepemimpinan’, yang terkesan mereduksi Imamah menjadi Khilafah. Padahal, perampasan tidak ada dalam konteks imamah. Imamah tak bisa dirampas dan diberikan oleh siapa pun. Menurut orang Syiah, syarat keterpilihan para khalifah terdahulu masih patut dipertanyakan. Jadi, kritik Syiah atas keterpilihan para khalifah bukan pada soal perampasan imamah, melainkan dalam hal proses pemilihan dan kebijakan mereka selama menjadi khalifah.

Sejarah menunjukkan bahwa Imam Ali tetap mendukung dan membaiat khalifah Abu Bakar, meskipun setelah berlalu enam bulan. Pembaiatan tersebut justru menjadi indikator bahwa syarat akseptabilitas publik telah terpenuhi dan kebijakan khalifah telah diakui. Hal ini bisa menjadi dasar bahwa kekhalifahan tidaklah berada dalam posisi vis a vis dengan imamah. Sebaliknya, ucapan selamat dari Umar atas Imam Ali pada hari Ghadir Khum adalah pengakuannya kepada Ali bin Abi Thalib sebagai wali/Imam (spiritual) dan tidak menghilangkan peluangnya sebagai khalifah (struktural) pada periode selanjutnya.

Imam Ali jelas tidak pernah mundur dari posisinya sebagai Imam, karena memang posisi Imam tidak bisa dianulir. Posisi Imam bukan kepemimpinan yang bersifat struktural dan ditentukan berdasarkan banyaknya suara pemilih. Syiah berkeyakinan bahwa Imam Ali ditunjuk langsung sebagai Imam oleh Nabi.

(Dikutip dari Buku “Syiah Menurut Syiah” Tim Penulis Ahlulbait Indonesia)

Continue Reading
Click to comment

Leave a Reply

Your email address will not be published. Required fields are marked *