Ikuti Kami Di Medsos

Berita

Pandangan Ulama Mazhab Ahlulbait terhadap Aisyah

Sekali pun terdapat riwayat yang menjurus kepada ucapan tidak senonoh yang ditujukan kepada istri Nabi yang dikarang oleh beberapa individu dari mazhab Ahlul Bait, namun bukanlah berarti bahwa pendapat dan pandangan tersebut merupakan pandangan dan keyakinan resmi dari mazhab Ahlul Bait, sebagaimana telah dijelaskan oleh ulama-ulama besar lainnya dari mazhab ini. Sebagai contoh adalah apa yang ditegaskan oleh ulama besar Syiah abad ini Sayyid Imam Ali Khamenei, yang mengatakan dengan tegas bahwa haram hukumnya mencela simbol-simbol Ahlusunah wal Jamaah, terutama sahabat dan istri-istri Nabi.

Allamah Al-Thabathaba’i penulis Kitab Tafsîr Al-Mîzân, dalam menafsirkan firman Allah QS. Al-Nûr [24]: 26, berkata,“Kami berpendapat sesungguhnya pensifatan hal-hal yang keji (fahsya’) kepada keluarga Nabi Saw akan menjauhkan hati kita dari beliau Saw, maka sudah sepantasnya Allah Swt menyucikan ruang lingkup istri-istri para Nabi dari perbuatan zina dan keji, kalau tidak, maka akan sia-sia dakwah mereka, hal ini ditetapkan oleh hujjah akal akan kesucian mereka dari hal ini, bukan dilihat dari makna lahiriyahnya saja. Sedangkan Nabi Saw lebih mengetahui hujjah ini daripada kita, mana mungkin Nabi meragukan dalam masalah istrinya, dengan tuduhan segelintir orang…… Adapun riwayat-riwayat ini (hadis Ifik) mengatakan demikian, akan tetapi alangkah mulianya Nabi untuk meragukan akan kehormatan istrinya.” (1)

Syaikh Al-Thusi penulis kitab Al-Tibyân fî Tafsîr Al-Qur’ân, dalam menafsirkan QS. Al-Tahrîm [66]: 10, menuliskan satu riwayat dari paman sekaligus sahabat Nabi, Ibnu Abbas ra. Ia berkata, “Sesungguhnya istri Nuh dan istri Luth adalah dua orang munafik. Sesungguhnya istri Nuh telah kafir yang berkata kepada orang-orang bahwa suaminya gila, sedangkan istri Luth genit terhadap para tamunya. Sesungguhnya pengkhianatan inilah yang dilakukan mereka berdua kepada Nuh dan Luth.” (2)

Setelah membawakan riwayat Ibnu Abbas ra, Syaikh Al-Thusi lalu berkata, “Para istri Nabi tidak pernah berzina. Dan ini menunjukkan kepada kita perihal yang harus kita hindari terhadap pribadi Rasulullah. Barang siapa menisbatkan perbuatan zina kepada istri Nabi, maka dia telah melakukan kesalahan yang fatal dalam pendapatnya. Dan umpatan demikian itu sama sekali tidak dapat diterima.” (3)

Syarif Al-Murtadha dalam kitab Tanzîh Al-Anbiyâ’ , hal 44 menyatakan, “…. para Nabi sudah sepantasnya dijauhkan dari keadaan ini (kehormatan beliau bercampur dengan hal keji) karena hal itu merupakan penodaan dan pengurangan kepada maqam mereka. Sesungguhnya Allah telah menghindarkan mereka dari hal-hal keji yang lebih besar dari ini sebagai suatu kemuliaan bagi mereka, dan sebagai peniadaan kepada hal-hal yang mustahil dilakukan mereka.” (4)

Ibnu Abbas telah membawakan dalil yang telah kami paparkan, bahwa tidak ada perbuatan zina dari mereka (istri Luth dan Nuh) akan tetapi salah satu di antara mereka memberitahukan orang-orang suatu hal, sedangkan yang satunya genit kepada para tamu.

Allamah Majlisi dalam kitab Bihâr Al-Anwâr mengatakan, “Di dalamnya terdapat keburukan yang besar dan keanehan. Kami menganggap hal ini mustahil berasal dari guru kami Ali bin Ibrahim (Tafsir Al-Qummi), bahkan kami mengira bahwa hal ini adalah penambahan yang dilakukan oleh orang lain. Hal itu karena kitab tafsir (Tafsir Qummi) yang ada sekarang bukanlah mutlak berasal darinya (Ali bin Ibrahim Al-Qummi), yang kitab tafsir ini masih terdapat banyak tambahan berasal dari orang lain. Oleh karena itu, kita dapati perkataan ini bertentangan dengan pendapat seluruh muslimin, baik dari kalangan khusus atau pun umum, seluruhnya menyatakan kesucian istri-istri Nabi Saw seperti yang telah disebutkan.” (5)

Al-Thabarsi menyebutkan dalam kitab Majma’ Al-Bayân fî Tafsîr Al-Qur’ân,“Ibnu Abbas berkata, ‘Sesungguhnya istri Nuh telah kafir karena mengatakan kepada orang lain, suaminya gila….. Itulah pengkhianatan mereka berdua kepada suaminya dan istri Nabi tidak pernah berzina.’” (6)

Lebih jauh, Allamah Al-Thabathaba’i dalam Kitab Tafsîr Al-Mîzân, mengatakan, “Secara umum riwayat ini menjelaskan seakan-akan Nabi Saw ragu di dalam perkaranya sampai turunnya uzur yang tidak ada keraguan di dalamnya. Hal ini tidak mungkin dinisbatkan kepada Nabi Saw.” (7)

Mengapa demikian? Karena Allah Swt berfirman, Mengapa di waktu kamu mendengar berita bohong itu orang-orang mukminin dan mukminat tidak bersangka baik terhadap diri mereka sendiri, dan (mengapa tidak) berkata, “Ini adalah suatu berita bohong yang nyata,”maka Allah mencela kaum mukmin dan mukminat yang telah berburuk sangka dan tidak membantah apa yang mereka dengar, akan tetapi salah satu sifat keimanan adalah berbaik sangka kepada orang-orang mukmin, sedangkan Nabi Saw lebih berhak menyandang sifat tersebut dan terjaga dari sifat berburuk sangka yang mana sifat ini termasuk dosa, beliau menyandang maqam kenabian dan kemaksuman ilahi.

Tentu berbeda antara mengkritisi Ummul Mukminin atau sahabat lainnya dengan melecehkan dan mencaci maki. Hal yang pertama itu dapat kita temukan dalam tulisan ulama Syiah dan Ahlusunah. Sebagaimana yang dilakukan oleh Ibnu Taimiyah, Al-Albani dan Al-Duwaisy berikut.

Pandangan Ibnu Taimiyah terhadap Nabi dan Ummahatul Mukminin

Namun demikian ada satu pernyataan yang cukup mengejutkan yang dilontarkan oleh Ibnu Taimiyah dalam kasus Ifik.
Ibnu Taimiyah berkata dalam kitabnya Minhâj Al-Sunnah, ”Bahwa Rasulullah bertanya kepada ‘Aisyah dalam kasus Ifik, sebelum Nabi mengetahui bara’ahnya ‘Aisyah (‘Aisyah tidak melakukan perbuatan serong), dan Rasul meragukan kasusnya.” (8)

Artinya, Ibnu Taimiyah ingin mengatakan bahwa sebelum turun wahyu kepada Nabi Saw, ‘Aisyah terbebas dari tuduhan yang dinisbatkan kepadanya atas perbuatan tersebut. Sekaligus telah menuduh Rasulullah Saw telah berburuk sangka terhadap istrinya, padahal Alquran telah mengajarkan beliau untuk menjauhkan diri dari berburuk sangka. Sebagaimana firman Allah dalam QS. Ibrâhîm [14]: 12, Hai orang-orang yang beriman, jauhilah kebanyakan dari prasangka, sesungguhnya sebagian prasangka itu adalah dosa…..

Bukankah ini tuduhan dan penghinaan terhadap ‘Aisyah dan Rasulullah? Kalau memang mereka mengklaim bahwa dirinya adalah pembela kehormatan istri-istri Nabi Saw, mengapa tidak menyanggah pernyataan yang terdapat dalam kitab Minhâj Al-Sunnah itu? Ataukah memang mungkin mereka sudah menganggap Ibnu Taimiyah lebih adil daripada sahabat Nabi Saw yang semua ucapannya harus selalu didengar dan diikuti?

Pandangan Al-Albani terhadap Nabi dan Ummahatul Mukminin

Lebih jauh, silahkan merujuk kitab Silsilah Al-Ahâdîts Shahîhah, Al-Albani berkata, “Karena itu, sikap Nabi saw dalam kasus Ifik, merasa lelah menanti diturunkannya wahyu yang meyakinkan untuk menjawab keraguan tentang kabar yang datang kepada beliau Saw (kasus ‘Aisyah).”(9)

Hal ini menunjukkan bahwa Rasulullah sebagai seorang Nabi menyimpan keraguan dan kebimbangan atas kasus atau gosip yang menimpa ‘Aisyah.
Setelah itu Al-Albani mengomentari kasus perang Jamal dalam Kitab Silsilah Al-Ahâdîts Shahîhah,

“Tidak diragukan lagi bahwa keluarnya Ummul Mukminin adalah sebuah kesalahan dari asalnya. Karena itu, ia ingin kembali ketika mengetahui bahwa berita yang disampaikan Nabi Saw perihal Hauab menjadi kenyataan, namun Zubair berhasil meyakinkannya supaya tidak kembali dengan mengatakan, ‘Semoga Allah memperbaiki urusanmu di antara manusia.’ Dan kami tidak ragu untuk mengatakan bahwa Zubair pun dalam hal ini berbuat kesalahan.’‘Dan akal memutuskan secara pasti bahwa tidak ada jalan lain selain menyalahkan salah satu dari dua kelompok yang saling berperang (yaitu perang Jamal). Karena perang tersebut ratusan orang menjadi korban. Dan tidak diragukan lagi bahwa ‘Aisyah dalam posisi salah karena alasan yang cukup banyak dan pelbagai dalil yang jelas, di antaranya adalah penyesalannya atas keluarnya (menuju medan perang).’” (10)

Fatwa Lajnah Daimah Saudi Arabia terhadap Nabi dan Istrinya

Dalam kitab Fatâwâ Lajnah Al-Dâimah li Al-Buhuts Al-’Ilmiyyah wa Al-Iftâ’ yang dikumpulkan dan disusun oleh Ahmad Al-Dausyi, memuat pertanyaan sebagai berikut, “Apakah Rasul Saw mengetahui terbebasnya ‘Aisyah dari tuduhan peristiwa Ifik sebelum turunnya wahyu sebagaimana dikatakan oleh salah seorang mereka?”

Jawaban Fatawa Lajnah:

“Nabi Saw tidak mengetahui terbebasnya ‘Aisyah dari tuduhan tersebut. Sebab, andaikan beliau mengetahui niscaya beliau tidak diliputi oleh kebingungan dalam menyikapi kasusnya.” (11)

Bukankah jawaban fatwa lajnah tersebut di atas telah menghina Rasulullah, karena sudah menganggap Rasulullah berprasangka buruk kepada istrinya? Mukmin mana yang apabila dikabarkan padanya bahwa istrinya melakukan suatu perbuatan yang tidak baik, langsung bingung menyikapi kasus tersebut? Artinya langsung berburuk sangka kepada istrinya. Mungkinkah Rasulullah tidak mengenal pribadi ‘Aisyah sehingga beliau ragu, bingung dan bimbang mengenai kasus istrinya atau mereka secara tidak langsung menuduh Rasulullah telah menentang.

49_6

Hai orang-orang yang beriman, jika datang kepadamu orang fasik membawa suatu berita, maka periksalah dengan teliti agar kamu tidak menimpakan suatu musibah kepada suatu kaum tanpa mengetahui keadaannya yang menyebabkan kamu menyesal atas perbuatanmu itu. (QS. Al-Hujurât [49]: 6)

Demikianlah sikap dan penilaian kelompok tersebut dalam fatwa lajnah ulama Saudi, yang nyata-nyata telah merendahkan dan menghina kedudukan istri Nabi Saw. Tidak cukup sampai di situ, mereka pun telah menuduh Nabi berburuk sangka kepada istrinya. Hal ini tentu saja berbeda dengan Ahlusunah yang selalu mencintai para istri Nabi dan Ahlul Bait Nabi, juga memuliakan kedudukan dan martabat mereka.

(Dikutip dari Buku “Syiah Menurut Syiah” Tim Penulis Ahlulbait Indonesia)

Catatan Kaki

  1. Al-’Allamah Sayyid Muhammad Husein Al-Thabathaba’i, Tafsîr Al-Mîzân, juz 15, tafsir surah 24: 26, h 52, cet. 1, Muassasah Al-A’lami, Beirut, Lebanon, 1997 M, 1417 H.
  2. Muhammad bin Al-Hasan Al-Thusi, Al-Tibyân fî Tafsîr Al-Qur’ân, j. 10, h. 52, Dar Ihya Al-Turats Al-Arabi, Beirut, Lebanon, TT.
  3. Muhammad bin Al-Hasan Al-Thusi, Al-Tibyân fî Tafsîr Al-Qur’ân, j. 10, h. 52, Dar Ihya Al-Turats Al-Arabi, Beirut, Lebanon, TT.
  4. Syarif Al-Murtadha, Tanzîh Al-Anbiyâ’, h. 44.
  5. Allamah Al-Majlisi, Bihâr Al-Anwâr, juz 22, h. 240, cet. 2, Muassasah Al-Wafa’, Beirut, Lebanon, 1983 M (1403 H).
  6. Al-Thabarsi, Abu ‘Ali Al-Fadhl bin Al-Hasan, Majma’ Al-Bayân fî Tafsîr Al-Qur’ân, juz 10, h 64, cet 2, Muassasah Al-A’lami, Beirut, Lebanon, 2005 M, 1425
  7. Al-’Allamah Sayyid Muhammad Husein Al-Thabathaba’i, Tafsîr Al-Mîzân, juz 15, h 102, cet. 1, Muassasah Al-A’lami, Beirut, Lebanon, 1997 M, 1417 H.
  8. Ibnu Taimiyah, Minhâj Al-Sunnah Al-Nabawiyyah, juz 8, h. 80, cet. 1, Jami’ah Al-Imam Muhammad bin Saud, Riyadh, Saudi Arabia, 1986 M, 1406 H.
  9. Muhammad Nasir Al-Din Al-Albani, Silsilah Al-Ahâdîts Shahîhah, j. 6, h. 27, hadis 2507, cet. 1, Maktabah Al-Ma’arif, Riyadh, Saudi, 2002 M, 1422 H.
  10. Muhammad Nasir Al-Din Al-Albani, Silsilah Al-Ahâdîts Shahîhah, j. 1, h. 854.
  11. Ahmad Abd Al-Razzaq Al-Duwaisy, Fatâwâ: Al-Lajnah Al-Dâimah li Al-Buhuts Al-’Ilmiyyah wa Al-Iftâ’, juz 4, h. 212, soal 9811, Dar Al-Muayyad, Riyadh, Saudi Arabia, 1424 H.
Continue Reading
Click to comment

Leave a Reply

Your email address will not be published. Required fields are marked *