Ikuti Kami Di Medsos

Berita

Nikah Mut’ah dalam Sejarah dan Keharamannya

Adapun pernyataan yang mengatakan bahwa “Seluruh ulama empat mazhab telah bersepakat bahwa nikah mut’ah telah diharamkan” masih perlu ditinjau ulang kebenarannya. Jika memang benar nikah mut’ah telah diharamkan oleh Rasulullah Saw, lantas mengapa pula mesti merujuk kepada selain beliau Saw? Seakan-akan pengharaman Nabi tersebut tidak memiliki kekuatan hukum di dalamnya sehingga masih memerlukan kesepakatan dari para ulama. Bukankah pernyataan seperti ini membuka peluang untuk mengerdilkan sabda Nabi Saw? Bagaimanakah pernyataan para sahabat Nabi tentang nikah mut’ah? Para ulama hadis mencatat dalam kitab-kitab mereka sebagaimana berikut:

  • Imam Ahmad bin Hanbal dalam Kitab Musnad-nya meriwayatkan: Dari Jabir bin Abdillah, dia berkata, ”Kami melakukan mut’ah pada zaman Rasulullah Saw, Abu bakar dan Umar, sehingga Umar melarang kami pada akhir masa kekhalifahannya yakni nikah mut’ah.”
    Penahkik berkata, “Sanadnya sahih sesuai syarat Muslim.” (1)
  • Dalam kitab yang sama: Telah menyampaikan kepada kami ‘Affan, dari Hammad, dari Ali bin Zaid dan ‘Ashim dari Abu Nadhrah dari Jabir bin Abdillah, dia berkata, “Kami melakukan dua mut’ah pada zaman Rasulullah Saw, mut’ah haji dan mut’ah nisa’ (nikah mut’ah).
    Hammad juga berkata, “Mut’ah haji dan mut’ah nisa, tatkala Umar telah melarang kami dari kedua mut’ah tersebut, maka kami pun tidak melakukannya lagi.”
    Penahkik berkata, “Sanadnya sahih.” (2)
  • Ibnu Hajar Al-Asqalani dalam Kitab Fath Al-Bârî, menyebutkan: Hadis Jabir yang terdapat dalam muslim yang berbunyi, “Kami melakukan mut’ah dengan (mahar) segenggam kurma dan gandum pada zaman Rasulullah Saw sehingga Umar melarangnya.” (3)
  • Ibnu Rasyad Al-Hafid dalam Kitab Bidâyah Al-Mujtahid menuliskan, Dari ‘Atha, ia berkata, “Aku pernah mendengar Jabir bin Abdillah berkata, ‘Aku pernah melakukan mut’ah pada zaman Rasulullah Saw, Abu Bakar dan pada pertengahan kekuasaan Umar, kemudian Umar melarang manusia (melakukan mut’ah).’” (4)
  • Al-Sarkhasi secara jujur mengutip dalam kitabnya Al-Mabsûth bahwa nikah mut’ah boleh menurut Imam Malik berdasar pernyataan Ibnu ‘Abbas yang merujuk ayat famastamta’tum bihi… (QS. Al-Nisâ’ [4]: 24)Meskipun demikian Al-Sarkhasi tetap menilai nikah mut’ah batil.
  • Imam Muslim dalam Kitab Shahîhnya meriwayatkan: Telah mengabarkan kepada kami Ibnu Juraij, telah mengabarkan kepadaku Abu Zubair, dia berkata, “Aku pernah mendengar Jabir bin Abdillah berkata, ‘Kami melakukan mut’ah dengan (mahar) segenggam kurma dan gandum selama beberapa hari pada zaman Rasulullah Saw dan Abu Bakar sehingga Umar melarangnya sehubungan dengan kasus Amr bin Huraits.’” (5)

Nikah dengan Niat Cerai (Misyâr)

Pembahasan nikah mut’ah tanpa menyinggung fatwa Ibnu Bazz, seorang ulama Wahabi, tentang bentuk pernikahan lain agaknya kurang lengkap. Berikut ini fatwa beliau dalam Kitab Majmû ’ Fatâwâ:

Penanya: “Saya mendengar anda berfatwa kepada salah seorang polisi bahwa diperbolehkan nikah di negeri rantau, dimana dia bermaksud untuk mentalak istrinya setelah masa tertentu bila habis masa tugasnya. Apa perbedaan nikah semacam ini dengan nikah mut’ah? Dan bagaimana kalau si wanita melahirkan anak? Apakah anak yang dilahirkan dibiarkan bersama ibunya yang sudah ditalak di negara itu? Saya mohon penjelasannya.”

Ibnu Baz menjawab, “Benar, telah keluar fatwa dari Al-Lajnah Al-Daimah, dimana saya adalah ketuanya bahwa dibenarkan nikah dengan niat talak sebagai urusan hati antara hamba dan Tuhannya. Jika seseorang menikah di negara lain dan niat bahwa kapan saja selesai dari masa belajar atau tugas kerja, atau lainnya, maka hal itu dibenarkan menurut jumhur ulama. Niat talak semacam ini adalah urusan antara dia dan Tuhannya dan bukan merupakan syarat dari sahnya nikah.”

“Perbedaan antara nikah ini dan nikah mut’ah adalah dalam nikah mut’ah, disyaratkan masa tertentu, seperti satu bulan, dua bulan dan semisalnya. Jika masa tersebut habis, maka pernikahan tersebut gugur dengan sendirinya. Inilah nikah mut’ah yang batil itu, tetapi jika seseorang menikah dimana dalam hatinya berniat untuk menalak istrinya bila tugasnya berakhir di negara lain, maka hal itu tidak merusak akad nikah. Niat itu bisa berubah-ubah, tidak pasti dan bukan merupakan syarat sahnya nikah. Niat semacam ini hanyalah urusan dia dan Tuhannya, dan cara ini merupakan salah satu sebab terhindarnya dia dari perbuatan zina dan kemungkaran. Inilah pendapat para pakar….”  (6)

Jelas bahwa fatwa tersebut aneh dan asing di telinga kaum muslimin. Di samping membuat syariat baru dalam Islam yang belum pernah ditetapkan oleh Rasulullah Saw dan mengusik rasa keadilan dan kehormatan sebuah institusi pernikahan. Lalu apa yang harus kita katakan tentang pernikahan misyar ini? Pada saat yang sama mereka menistakan dan mencemooh pernikahan mut’ah sebagai sebuah perbuatan yang terlarang. Padahal pernikahan tersebut pernah ada dan terus berlangsung sampai datangnya larangan yang berasal dari Khalifah Kedua, Umar bin Khatthab.

Singkatnya bahwa tuduhan terhadap nikah mut’ah sama dengan perbuatan zina adalah sebuah pernyataan yang sangat keji dan tendensius, sekali pun mut’ah sendiri telah “dihapuskan” kebolehannya. Karena secara tidak langsung orang yang menyatakan demikian berarti mereka telah menuduh ‘yang mensyariatkan mut’ah, yakni Rasulullah Saw’ telah menghalalkan suatu perbuatan yang sama dengan zina, sekali pun kemudian mengharamkannya.

Oleh karena itu, apakah layak umpatan semacam ini dilontarkan oleh seorang muslim mengingat beberapa sabahat pernah melakukan mut’ah di masa Islam awal? Apakah perbuatan ini tidak berarti menuduh dan mengolok-olok mereka sebagai orang yang pernah melakukan perbuatan zina? Naudzubillah min dzalik. Lalu dimana slogan yang selalu didengungkan bahwa kita harus memuliakan para sahabat. Bukankah ini merupakan satu tuduhan yang keji terhadap para sahabat Nabi Saw? Semoga kita dijauhkan dari perbuatan buruk seperti itu.

(Dikutip dari Buku “Syiah Menurut Syiah” Tim Penulis Ahlulbait Indonesia)

Catatan Kaki

  1. Al-Imam Ahmad bin Hanbal, Musnad, j. 22, h. 168, hadis 14268.
  2. Ibid, juz 23, h. 184, hadis 14916.
  3. Ibnu Hajar Al-’Asqalani, Fath Al-Bârî bi Syarh Shahîh Al-Bukhârî, juz 9, h. 75-7, tahkik Abd Al-Qadir Syaibah Al-Hamd.
  4. Ibnu Rasyad Al-Hafid, Syarh Bidâyah Al-Mujtahid wa Nihâyah Al-Muqtashid, j. 3, h. 1370, cet. 1, tahkik Abdullah Al-’Ibadi, Dar Al-Salam, Kairo, Mesir, 1995 M, 1416 H.
    Pernyataan Al-Sarkhasi terdapat dalam kitab Al-Mabsûth, juz 5, h. 152, bab Nikah Al-Mut’ah, Dar Al-Ma’rifah, Beirut, Lebanon, 1989 M (1409 H).
  5. Al-Imam Muslim bin Al-Hajjaj, op.cit., h. 654, hadis 3306, kitab Al-Nikah, bab Nikah Al-Mut’ah.
  6. Abdullah bin Abd Al-Aziz bin Baz, Majmû’ Fatâwâ, juz 4, h. 29-30, cet. 1, Dar Al-Qasim, Riyadh, Saudi Arabia, 1420 H.
Continue Reading
Click to comment

Leave a Reply

Your email address will not be published. Required fields are marked *