Berita
Nasionalisme Komunitas Syiah Indonesia
Sebagian kalangan curiga bahwa Syiah menyimpan agenda transnasional. Hal ini mencuat pasca Revolusi Islam Iran 1979. Iran menjadi rujukan berbagai gerakan kebangkitan Islam global, apa pun aliran dan mazhabnya. Di Indonesia, pemikiran teologi dan politik Syiah dikaji di berbagai tempat, berbarengan dengan maraknya kajian keislaman pasca depolitisasi kampus melalui NKK/ BKK 1978.
Stereotipe negatif tentang Syiah mulai marak saat Iran berkonfrontasi dengan Amerika Serikat terlebih saat Kedubes AS diduduki mahasiswa militan Iran selama 14 bulan (November 1979 Januari 1981), perang dengan Iraq (1980-1988) dan perebutan hegemoni dengan Arab Saudi karena pembelaan Iran atas Palestina. Sebelum revolusi 1979, Iran era Pahlevi adalah sekutu kesayangan AS di Timur Tengah. Kini, Iran dianggap punya peran signifikan atas menguatnya kaum perlawanan di Lebanon, Iraq, Yaman, dan Suriah terhadap hegemoni AS dan antek-anteknya.
Isu ekspor revolusi, yang lebih banyak dihembuskan oleh AS, Inggris, dan jaringan Zionis internasional lainnya, membuat Syiah dipandang lebih sebagai gerakan politik daripada mazhab besar bersanding dengan Sunni. Banyak kalangan mendudukkan Syiah dalam satu keranjang bersama Ikhwanul Muslimin, Hizbut Tahrir, Jamaah Tabligh, dan organisasi Islam lainnya yang berlatar Sunni. Bahkan membandingkan Syiah dengan Wahabisme yang turunan dari Hambalisme pun tidak tepat.
Baca juga Jejak Spiritualitas Syiah di Nusantara
Syiah dituding ingin membangun kekhilafahan Syiah. Padahal khilafah itu bukan urusan Syiah, sama sekali tidak terkait teologi.
Bagi Syiah, kepemimpinan ilahiah pasca Nabi saw sudah selesai pada 12 pemuka Ahlulbait yang suci. Sedangkan khilafah hanyalah urusan administrasi politik yang profan, modelnya dinamis, bisa diduduki siapa pun dengan cara apa pun. Sehingga Syiah di Indonesia tidak punya hambatan untuk loyal kepada Pancasila sebagai ideologi bangsa dan taat kepada semua aturan di Republik Indonesia. Bagi Syiah, menaati kontrak sosial yang dibangun dari nilai-nilai universal tersebut juga merupakan perintah agama.
Keraguan atas loyalitas kebangsaan komunitas Syiah nampaknya dampak dari gagal paham konsep Wilayatul Fakih. Padahal konsep ini sangat natural dan rasional, bahwa setiap kalangan akan memilih di antara mereka siapa yang paling fakih di bidangnya. Pengangkatan Wali Fakih melalui pemilihan berjenjang yang melibatkan partisipasi rakyat di level terendahnya. Konsep ini dipatri dalam konstitusi Republik Islam Iran. Sehingga mustahil menerabas koridor negara-negara lain. Sangat berbeda dengan konsep khilafah yang menegasikan eksistensi negara-bangsa.
Sebenarnya, implementasi Wilayatul Fakih bisa juga dilacak pada sila ke-4 Pancasila. Bahwa kepemimpinan itu dimandatkan kepada ahli hikmat (spiritual) nan bijaksana (intelektual) yang mumpuni, melalui mekanisme musyawarah. Jejak sejarah Wilayatul Fakih juga terdapat dalam sejarah Demak, kerajaan Islam pertama di Jawa. Raden Patah diangkat oleh dewan para wali yang tergabung dalam Walisongo.
Dengan sekian bukti ikatan umat Islam Syiah dengan Tanah Air, mengapa Syiah Indonesia masih diwaspadai sebagai bagian dari gerakan transnasional, dituding ekstremis dan radikal yang menghalalkan penggunaan aksi teror untuk meraih tujuannya? Fakta di lapangan menunjukkan, kalangan Syiah di Indonesia merupakan objek rentan untuk dipersekusi, bahkan dibunuh.
Seharusnya supremasi hukum ditegakkan tanpa pandang bulu. Sehingga komunitas Syiah dapat mengadakan peringatan Asyura atau Arbain tanpa ancaman dari gerombolan Darul Islam dan Khilafah Islamiyah. Mereka punya sejarah makar terhadap Republik ini. Bagaimana mungkin paham anti hormat bendera Merah Putih dan menyanyikan lagu kebangsaan bisa loyal terhadap Pancasila yang jelas-jelas dibangun dari kemajemukan bangsa dan pluralitas keyakinan? Sedangkan Syiah Indonesia tetap loyal kepada Pancasila dan NKRI. Dengan segenap jiwa dan raga. Sebab mencintai dan membela Tanah Air adalah bagian dari ajaran agama. [Andito]
Dikutip dari Majalah SYI’AR, Edisi IV: Maret 2019/1440 H