Berita
Syiah Mengafirkan Muslimin Pengingkar Imamah Ahlulbait
“Yusuf al-Bahrani, ulama Syiah muktabar menyatakan bahwa “Seorang mukhalif itu kafir, tiada baginya keislaman sedikitpun sebagaimana yang kami tahqiq dalam kitab al-Syihab al-Tsaqib. Sayyid Abdullah Syubbar berkata, “Ketahuilah bahwa banyak ulama Imamiyah menghukumi kafir bagi ahlul khilaf/mukhalif, seperti Sayid Al-Murtadha, di dunia dan akhirat. Pendapat yang paling masyhur adalah mereka kafir dan kekal di neraka di akhirat kelak, namun berlaku aturan Islam atas mereka dalam hal menjaga darah dan hartanya di dunia.”
“Baqir Al-Majlisi berkata, “Kaum mukhalif bukanlah ahli surga, bukan pula ahli manzilah antara surga dan neraka. Jika al-Qaim datang, ia lebih dulu membunuhi mereka sebelum orang-orang kafir.” Al-Mamqani berkata, “Inti dari riwayat-riwayat khabar itu adalah berlakunya hukum kafir dan musyrik di akhirat kelak bagi siapa saja yang bukan penganut Itsna ‘Asyari.”
Mazhab Syiah adalah sebuah mazhab yang memiliki sistem tata diri dan proteksi nilai yang mengagumkan. Betapa tidak, semua riwayat dan hadis yang tersebar pada banyak kitab dalam Mazhab Syiah wajib tunduk dan patuh atas semua ketentuan yang termuat dalam kitab suci Alquran. Sehingga tidak akan didapati dalam khazanah mazhab ini sebuah kitab yang menduduki peringkat sahih setelah Alquran. Sehingga kitab tersebut kebal terhadap studi kritis untuk menilai akurasi dan validitas suatu hadis dan riwayat yang tercantum di dalamnya. Perlu juga diketahui bahwa setiap pendapat yang berasal dari ulama mazhab Ahlul Bait, adalah pendapat yang memiliki peluang untuk diterima maupun ditolak dengan tetap mengacu dan berpegang kepada prinsip-prinsip utama di dalam Alquran. Sehingga apabila ada kutipan hadis seperti yang dituduhkan tidak serta-merta menjadi wakil dan pandangan resmi dari mazhab Syiah. Perlu dibedakan antara penolakan seseorang berdasarkan lemahnya dalil kepemimpinan Ahlul Bait (kelompok pertama) dan penolakan setelah menerima keabsahan dan kekuatan dalil yang lebih tepat disebut pengingkaran (kelompok kedua). Kata ‘kafir’ yang dimaksud adalah untuk kelompok kedua, bukan kelompok pertama. Pendapat yang disampaikan oleh Yusuf Al-Bahrani dan Sayyid Abdullah Syubbar di atas berlaku bagi kelompok kedua tersebut. Makna kafir semacam ini juga digunakan dalam Alquran dengan kata juhûd, sebagaimana berikut,
Baca juga Penjelasan Tentang Shalat Tiga WaktuOleh karena itu, apa pun yang dikatakan ulama Ahlulbait dalam kitabnya masih dapat dinilai, dikritisi dan ditimbang dengan neraca yang bernama kitab Allah. Hal ini adalah konsekuensi logis dari tidak berlakunya sebuah kitab Ahlul Bait yang berlabel sahih, sebagaimana penjelasan para ulama Syiah berikut ini:
- Mirza Al-Nuri Al-Thabarsi dalam Khâtimah Mustadrak Al-Wasâil (3/358): Al-Thabarsi berkata, “Bukanlah tujuanku dari hal tersebut untuk menyahihkan hadis yang tersebar luas, bahwa kitab ini (Al-Kafi) ditunjukkan kepada Al-Hujjah as kemudian beliau berkata, ‘Se-sungguhnya kitab ini cukup untuk Syiah kami.’ Hadis ini tidak berdasar dan tidak mempunyai pengaruh di dalam kitab-kitab sahabat kami (ulama Syiah).” (1)
- Syaikh Mufid menyatakan dalam Kitab Tashîh Al-I’tiqâd Al-Imâmiyyah, “Adapun hadis yang Abu Ja’far (Syaikh Shaduq) nisbatkan kepada Sulaim di dalam kitabnya (Kitab Sulaim bin Qais), melalui jalur periwayatan Aban bin ‘Ayyasy, riwayat itu maknanya sahih, akan tetapi kitab tersebut (kitab Sulaim) tidak bisa dipercaya, maka tidak dibenarkan seluruh isinya, karena di dalamnya terdapat kerancuan dan kebohongan. Maka sudah seharusnya bagi orang beragama untuk tidak mengamalkan, mempercayai secara utuh seluruh isinya dan taqlid kepada perawi-perawinya. Mintalah bantuan kepada ulama untuk menilai hadis sahih dan hadis buruk di dalamnya.” (2)
- Syaikh Al-Mufid menyatakan dalam Kitab Al-Jamal wa Al-Nushrah li Sayyid Al-’Itrah fîHarb Al-Bashrah: “Syiah sepakat tentang hukum kufurnya orang yang memerangi Amirul Mukminin as. Akan tetapi mereka (Syiah) tidak menge-luarkan mereka dari hukum agama Islam.” Kekafiran mereka dari sisi takwil (bukan dari sisi tanzil). Kufur agama di sini bukan kufur keluar dari syariat (murtad). Karena mereka masih menjalankan sejumlah syariat, menampakkan dua kalimat syahadat, serta berpegang dengan hal itu dari hal kufur murtad yang menyebabkan keluar dari Islam. Sekalipun kekufuran mereka keluar dari iman.” (3)Dalam pernyataannya tersebut, jelas bahwa Al-Mufid me-ngatakan kata “kufur” yang berarti bukan kufur dalam pengertian di luar Islam. Sebab, jika pengertiannya adalah kufur di luar Islam, maka jelas orang tersebut bukan seorang muslim.
- Muhammad Hasan Al-Najafi dalam kitab Jawâhir Al-Kalâm berkata, “Ketika seseorang menyuarakan kekafiran mukhalif (mengingkari imamah Ahlul Bait), dia diketahui kerusakannya, dari khabar-khabar mu’tabar dan fakta sejarah yang qath’i, namun tetap dibenarkan keislamannya karena dua kalimat syahadat.” (4)Dalam kitab tersebut, sangat gamblang bahwa konteks kalimatnya menggunakan kata syahadatain (dua kalimat syahadat) yang berarti “Aku bersaksi tiada Tuhan kecuali Allah dan aku bersaksi sesungguhnya Muhammad Rasul Allah.” Oleh karenanya, siapa saja yang mengucapkan kalimat tersebut, berarti dia adalah seorang muslim, sehingga akan berlaku bagi-nya seluruh hukum Islam.
- Imam Khomeini dalam Kitab Al-Thahârah tentang hukum mukhalifin berkata, “Sesungguhnya Imamah menurut pengertian yang ada pada kelompok Imamiyah adalah tidak termasuk keharusan diniyah (keagamaan). Karena hal itu (keharusan diniyah) termasuk persoalan-persoalan yang sudah jelas dan terang di hadapan seluruh muslimin. Bisa jadi keharusan Imamah tersebut di hadapan muslimin hal yang dipertentangkan. Apalagi keberadaan Imamah sebagai dharurah. Yang benar dia adalah termasuk Ushul Al-Mazhab (dasar mazhab), dan yang mengingkarinya keluar dari mazhab tersebut, bukan keluar dari Islam.” (5)
- Sayyid Al-Khu’i dalam kitab Al-Tanqîh fî Syarh Al-‘Urwah Al-Wutsqâ berkata, “Sesungguhnya ahli khilaf (yang mengingkari imamah) yang mengingkari apa-apa yang telah ditetapkan dalam keharusan agama, yaitu wilayah Ali dimana Nabi telah menjelaskannya kepada mereka, dan memerintahkan mereka untuk menerimanya serta mengikutinya, sementara mereka justru mengingkari wilayahnya sungguh telah berlalu (pembahasannya). Sesungguhnya ingkar pada keharusan (Imamah) menyebabkan kekufuran. Ini bentuk yang diarahkan kepada orang yang mengetahui hal itu, namun dia mengingkarinya.”“Dan tidak dibenarkan (kekufuran) jika disandarkan kepada para penentangnya karena dharuriyah akan wilayah adalah wilayah dengan makna cinta dan penolong.”(6) Dharuriyah dalam hal ini adalah sebuah makna kecintaan yang telah disepakati oleh semua muslimin. Selanjutnya Sayyid Al-Khu’i berkata, “Dan mereka (seluruh muslimin) tidak mengingkarinya dengan makna semacam ini, bahkan mereka menampakkan kecintaannya kepada AhlulBait as. Adapun wilayah yang dimaksud kekhalifahan bukan termasuk dharuri, akan tetapi dia termasuk masalah persepsi …” “Yang benar adalah bahwa wilayah dengan pengertian khilafah termasuk dari dharuriyah mazhab bukan dharuriyah agama. Maka mengingkarinya tidak akan mengeluarkan manusia dari agama dan dari Islam.” (7) Sehingga sekali pun argumen yang digunakan adalah pendapat dari kalangan ulama Ahlulbait, maka kita tetap dengan tegas akan menolaknya jika pernyataan tersebut bertentangan dengan Alquran.
Seperti inilah penjelasan ulama Syiah tentang kata “kafir” bagi orang yang mengingari “Imamah Ahlulbait”. Bahwa mereka tidak keluar dari Islam, dan sebagaimana telah kami nyatakan di atas bahwa pedoman yang kami miliki adalah mengembalikan semua riwayat kepada Alquran. Sebagaimana Allah Swt berfirman,
Kemudian, kita dapat melihat dalam salah satu literatur Ahlusunah seperti Al-Shawâiq Al-Muhriqah yang menuliskan banyak keutamaan Ahlulbait Nabi Saw, namun Ibnu Hajar Al-Haitsami (w. 947 H/1566 M) juga menuliskan kritik pedas terhadap orang-orang Syiah. Berikut ini kami kutip pernyataannya, “Adapun Rafidhah dan Syiah dan sejenisnya adalah saudara Syaitan, musuh-musuh agama, orang-orang bodoh, berbeda pokok dan cabang agama, penganut kesesatan, layak mendapatkan siksa dan azab yang pedih. Mereka bukanlah Syiah Ahlul Bait yang disucikan dari segala kekurangan dan kotoran, karena mereka ekstrem di sisi Allah. Maka, mereka berhak kekal dalam kehancuran kesesatan, dan kesalahan. Mereka hanyalah Syiah Iblis terlaknat dan pengganti anak-anaknya yang terkutuk. Maka bagi mereka laknat Allah, malaikat-Nya dan seluruh manusia.” (8) Dalam hal ini, Syiah sama sekali tidak menganggap pernyataan pedas terhadap Syiah di atas sebagai pendapat Ahlusunah yang muktabar. Lebih dari itu, ada yang menarik dari salah seorang ulama murid Ibnu Taimiyah ketika memberikan penilaiannya ihwal kriteria dan klasifikasi terhadap orang yang disebut beriman atau pun yang tidak beriman, yang kami pandang perlu untuk disuguhkan kepada pembaca. Al-Ghaniman menyatakan dalam Kitab Al-Sabâik Al-Dzahabiyyah bi Syarh Al-Aqîdah Al-Wâsithiyyah, “Sehingga Muhammad Hamid berkata dan yang lainnya termasuk ulama Mesir, kita senantiasa mengetahui dan membedakan antara ahli tauhid dan Ahlus Sunnah dalam kecintaan kepada Ibnu Taimiyah. Maka barang siapa membencinya, kita telah mengetahui bahwa dia bukan kelompok ahli tauhid dan sunnah. Dan barangsiapa mencintainya kita telah mengetahui bahwa dia kelompok ahli tauhid.” (9) Dalam pandangan Al-Ghaniman tersebut, yaitu bahwa muslimin sedunia, di dalamnya termasuk ulama di Indonesia yang membenci dan berlepas diri dari Ibnu Taimiyah maka mereka bukan ahli tauhid maupun ahlusunah. Sebab bagi mereka, tolok ukur bertauhid dan syirik, tergantung kecintaan kepada Ibnu Taimiyah.(Dikutip dari Buku “Syiah Menurut Syiah” Tim Penulis Ahlulbait Indonesia)
Catatan kaki
- Mirza Husein Al-Nuri Al-Thabarsi, Khâtimah Mustadrak Al-Wasâil, juz 3, h. 470, cet. 1, Muassasah Alu Bait li Ihya’ Al-Turats, Beirut, Lebanon, 2008 M (1429 H).
- Syekh Al-Mufid, Tashîh Al-I’tiqâd Al-Imâmiyyah, h. 149, cet. 1, tahkik Husein Darghahi, Mu’tamar Al-’Alami lialfiyah Syaikh Al-Mufid, Qom, Iran, 1413 H.
- Syaikh Al-Mufid, Al-Jamal wa Al-Nushrah li Sayyid Al-’Itrah fîHarb Al-Bashrah, h. 69, tahkik Ali Mir Syarifi, cet. 1, Maktab Al-I’lam Al-Islami, Qom, Iran, 1413 H.
- Muhammad Hasan Al-Najafi, Jawâhir Al-Kalâm, juz 4, h. 82-3, cet. 7, Dar Ihya’ Al-Turats Al-’Arabi, Beirut, Lebanon, 1981 M.
- Imam Khomeini, Kitab Thahârah (3/270 ms), tentang hukum mukhalifin.
- Mirza Ali Al-Gharawi, Al-Tanqîhfî Syarh Al-‘Urwah Al-Wutsqâ, juz 3, h. 79, Muassasah Al-Khu’i Al-Islamiyyah, Irak, TT.
- Ibid., juz 3, h. 80.
- Ibnu Hajar Al-Haitami, Al-Shawâiq Al-Muhriqah, h. 216, Maktabah Al-Haqiqah, Istanbul, Turki, 2003 M (1424 H).
- Abdullah bin Muhammad Al-Ghaniman, Al-Sabâik Al-Dzahabiyyah bi Syarh Al-’Aqîdah Al-Wâsithiyah, h. 38-9, Dar Ibn Al-Jauzi, Kairo, Mesir, 1430 H.