Berita
Mengenal Cendekiawan Syiah Kontemporer, Ayatullah Jawadi Amuli
Mengenal Cendekiawan Syiah Kontemporer, Ayatullah Jawadi Amuli
Ayatullah Abdollah Jawadi Amuli lahir pada tahun 1933 di sebuah kota yang indah dan subur bernama Amol, di kawasan utara Iran. Ayahnya adalah Mirza Abul Hasan dan kakeknya adalah Mulla Fathullah Amuli, ulama yang dikenal sebagai mubalig di kota itu. Ayah dan kakek ulama besar ini aktif bertablig di tengah masyarakat di zaman rezim Reza Khan yang dikenal anti agama. Mengikuti jejak ayah dan kakeknya, Abdollah juga terjun menggeluti ilmu agama. Setelah merampungkan jenjang pendidikan dasar, pada tahun 1946, Abdollah masuk ke sekolah agama hauzah ilmiah di kota Amol. Dia berguru kepada sejumlah ulama termasuk ayahandanya sendiri, Hujjatul Islam Mirza Abul Hasan Jawadi Amuli, dan sejumlah ulama lainnya. Sang ayah yang meyakini bahwa belajar tanpa penyucian jiwa tidak ada gunanya, menitipkan Abdollah kepada seorang ulama yang dikenal takwa dan zuhudnya. Mengenang gurunya ini, Ayatullah Jawadi Amuli bercerita, “Manusia ilahi itu telah membuatku mengecap lezatnya ilmu-ilmu Ilahi. Sejak awal jenjang pendidikan beliau mengajarkan kepadaku makrifat Allah.”
Tahun 1950, Abdollah muda meninggalkan kota kelahirannya dan pergi ke Tehran untuk melanjutkan pendidikan agama di hauzah ilmiah Marvi di kota itu. Di hauzah yang baru, dia mempelajari fiqih, ushul, tafsir, filsafat, kalam dan mantiq dengan tekun. Pendidikan tinggi hauzah untuk mata pelajaran fiqih dan ushul didapatkannya dengan mengikuti kuliah Ayatullah Mohammad Taqi Amuli. Tahun 1955, setelah lima tahun berada di hauzah Tehran, Jawadi Amuli hijrah ke kota Qom. Di sana dia menimba ilmu dari para ulama besar seperti Ayatullah al-Udzma Boroujerdi, Ayatullah Sayid Mohammad Mohaqqeq Damad, Imam Khomeini dan Allamah Thabathabai. Di madrasah Hojjatiyeh di kota Qom, dia berkenalan dan akrab dengan Imam Musa Sadr yang kelak menjadi tokoh besar dalam perjuangan rakyat di Lebanon.
Kecerdasan yang mengagumkan dalam memahami ilmu-ilmu logika dan filsafat membuat beliau nampak menonjol di antara murid-murid Allamah Thabathabai, filsuf besar Muslim kontemporer. Sampai sang guru meninggal dunia, beliau selama 25 tahun dengan setia menyertainya dan menimba ilmu darinya. Tapi dari sekian banyak guru yang berjasa baginya, Imam Khomeini punya keistimewaan tersendiri. Mengenai pelajaran yang disampaikan Imam Khomeini, Ayatullah Jawadi Amuli mengatakan, “Setelah meninggalkan Tehran dan ketika tiba di Qom, mata kuliah ushul yang disampaikan Imam Khomeini banyak diminati oleh para santri. Beliau menyampaikan materi ushul fiqih secara argumentatif layaknya ilmu filsafat. Kata-kata seseorang tentu mewakili pemikirannya. Kata-kata yang argumentatif menunjukkan bahwa pembicaranya adalah orang yang bijak. Dalam mengajar Imam Khomeini memberikan kebebasan kepada murid untuk independen, dan beliau sendiri adalah contoh dari seorang manusia yang bebas dan independen. Murid tidak hanya kagum kepada ilmu Imam Khomeini saja tetapi juga terkesan dengan kekuatan berpikir, kebebasan, jiwa yang tinggi dan kebijaksanaan beliau.”
Setelah merampungkan jenjang pendidikan tingkat tinggi beliau memfokuskan diri untuk mengajar dan menulis materi-materi ilmu agama. Beliau mengajarkan ilmu-ilmu logika dan filsafat dari jenjang dasar sampai jenjang tertinggi. Selain itu, beliau juga mengajar tafsir Alquran, ushul fiqih, dan irfan. Tak hanya mengajar dan menulis, Ayatullah Jawadi dikenal sebagai ulama dengan ketakwaan yang tinggi. Beliau selalu berpesan kepada semua orang terutama anak didiknya untuk tekun dan serius dalam mensucikan jiwa dan mendekatkan diri kepada Allah. Menurutnya, niat ikhlas dalam bertablig ibarat senjata yang sangat diperlukan oleh seorang santri dan ulama. Beliau berpesan kepada kita untuk selalu akrab dengan kitab suci al-Quran dan hadis. Sampai saat ini, sudah lebih dari 60 tahun beliau mengajar ilmu agama, mulai dari saat berada di hauzah Tehran hingga kedatangannya ke kota Qom.
Selain aktivitasnya di dunia ilmu dan pendidikan, beliau juga terlibat dalam perjuangan politik dan sosial. Beliau termasuk salah satu tokoh perjuangan melawan rezim Pahlevi. Bersama dengan rekan-rekan seperjuangan, beliau menyebarkan pemikiran Imam Khomeini akan Islam dan kebebasan ke tengah masyarakat. Akibatnya, berkali-kali beliau dilarang memberikan ceramah dan kuliah.
Setelah kemenangan revolusi Islam tahun 1979, Jawadi Amuli mendapat instruksi dari Imam Khomeini untuk duduk sebagai hakim. Selain itu, beliau juga diangkat menjadi salah satu anggota Dewan Tinggi Peradilan. Ayatullah Jawadi Amuli dipercaya warga Mazandaran untuk mewakili mereka di Dewan Pakar Kepemimpinan periode I dan II. Pasca revolusi, beliau melakukan berbagai kunjungan ke luar negeri seperti Amerika, Italia, Perancis, Inggris, Jerman, Swiss, Austria, Uni Soviet, Suriah dan Lebanon dalam misi tablig.
Baca juga : Larangan Melukai Diri dalam Peringatan Asyura Menurut Ulama Syiah yang Muktabar
Misi paling penting adalah saat beliau membawa surat Imam Khomeini kepada Presiden terakhir Uni Soviet Mikhail Gorbachev tahun 1988. Dalam surat itu, Imam Khomeini mengingatkan pemimpin blok Timur itu bahwa tak lama lagi komunisme akan tumbang. Tahun 2000 Ayatullah Javadi membawa misi dari Pemimpin Besar Revolusi Islam Ayatullah al-Udzma Khamenei ke pertemuan agama di New York.
Tak ada yang meragukan keluasan dan kedalaman ilmu beliau. Kebebasan berpikir, keluasan ilmu, kelapangan dada dan kerendahan hatinya dikagumi banyak orang. Meski menguasai berbagai disiplin ilmu, beliau pantang membatasi diri dengan satu pandangan. Sebab untuk mencapai kesimpulan yang baik orang perlu mendengarkan pendapat yang lain lalu menganalisanya. Saat ini Ayatullah Jawadi Amuli juga menerima rujukan umat dalam masalah syariat sebagai seorang marji taqlid.
Ayatullah Jawadi Amuli banyak mengkritisi karya-karya dan pandangan keilmuan para ulama dan cendekiawan masa lalu maupun masa sekarang. Tulisan-tulisannya sangat halus dan sopan, meski dalam posisi mengkritisi pandangan orang lain. Kesopanan dan perangainya yang santun itu dikenal oleh semua orang. Sampai saat ini karya-karya beliau yang sudah terbit tercatat lebih dari 90 judul buku dalam lebih dari 130 jilid. Diantara karya beliau adalah Tasnim, yaitu kitab tafsir al-Quran yang dicetak dalam 23 jilid. Karya ini masih berlanjut dan diperkirakan akan selesai sampai 80 jilid. Buku lainnya yang terkenal Rahiq-e Makhtum, syarah kitab Asfar dalam ilmu filsafat, dan kitab Zan dar Aiyeneh-e Jalal va Jamal.
Para ilmuan biasanya mengenalkan buah pemikiran lewat karya-karya yang mereka tulis. Ayatullah Jawadi Amuli adalah salah seorang ulama besar yang punya keahlian dalam menuliskan pemikirannya untuk dimanfaatkan para pencinta ilmu. Dengan menilik karya-karyanya kita akan mendapatkan bahwa filsuf besar ini sangat peduli untuk mengajak manusia mengenal jati diri masing-masing. Sebab manusia adalah makhluk yang hakikatnya mempunyai berbagai dimensi yang agung.
Dalam satu hadis Nabawi disebutkan bahwa orang yang mengenal dirinya berarti mengenal Tuhannya. Manusia adalah ciptaan Allah yang paling mulia. Para ulama mengatakan bahwa untuk mengenal manusia, semua kulit luar yang ada harus disingkirkan sehingga hakikatnya akan nampak di depan mata. Dengan persepsi yang demikian, Ayatullah Javadi berusaha mengenalkan hakikat manusia lewat karya-karyanya untuk para pembaca.
Perempuan adalah wujud yang ciptaan sangat agung. Berbagai agama, madzhab dan ideologi punya pandangan masing-masing terkait hakikat wujud perempuan. Sebagian memandangnya dengan sinis dan menganggapnya sebagai makhluk kerdil yang jauh lebih rendah dibanding kaum pria. Sebagian membawanya kepada jalan yang menyimpang dan tanpa tujuan. Untuk menunjukkan keagungan wanita dalam pandangan Islam, Ayatullah Jawadi memberikan judul yang indah untuk bukunya yang membahas tentang perempuan. Judul buku itu adalah, Zan dar Aineye Jalal va Jamal’ yang artinya, ‘Keindahan dan Keagungan Perempuan’.
Di bagian awal buku ini, sang penulis menjelaskan kedudukan dan peran wanita seperti yang dijelaskan oleh al-Quran al-Karim. Beliau menyatakan bahwa asal penciptaan laki-laki dan perempuan adalah satu. Secara esensial, tak ada yang melebihkan laki-laki di atas perempuan. Artinya, jika sebagai manusia, laki-laki bisa mencapai puncak kesempurnaan insani tertinggi, perempuanpun punya potensi yang sama. Ayatullah Javadi menegaskan, “Para Nabi menyeru manusia kepada tiga asas, mengenal asal penciptaan, mengenal hari akhir, dan mengenal nabi. Mereka tidak menujukan seruan dan ajakan hanya kepada kaum pria, tapi sebaliknya mereka juga menyerukan hal yang sama kepada kaum perempuan. Di ayat 108 surat Yusuf, Al-Quran al-Karim lewat lisan Nabi Saw menyatakan, ‘Aku dan orang-orang yang mengikutiku menyeru umat manusia kepada Allah’. Seruan ini meliputi semua orang dan tidak dikhususkan hanya kepada kaum laki-laki.”
Di bagian lain buku tersebut, Ayatullah Javadi menyinggung ayat 10-12 surat al-Tahrim yang menyebutkan beberapa perempuan sebagai permisalan. Perempuan agung dalam sejarah seperti Maryam putri Imran, Asiah istri Firaun dan lainnya disebut sebagai teladan yang baik untuk ketuhanan. Menurut beliau, keteladanan ini bukan diperuntukkan hanya untuk kaum perempuan tapi juga kaum pria juga diseru untuk meneladani mereka.
Ayatullah Javadi Amuli bukan saja ulama dengan pengetahuan agama yang luas, tapi beliau juga seorang arif dan sufi yang punya mata hati. Menurut beliau, irfan dan sufisme tidak mengajak manusia untuk mengucilkan diri dari masyarakat. Tapi irfan yang benar justeru mengajak manusia untuk terlibat dalam kehidupan sosial dan membimbing orang lain di jalan ini. Untuk menjelaskan masalah ini beliau menulis buku berjudul ‘Hamaseh va Erfan’ yang berarti gelora dan irfan. Dalam buku ini beliau menjelaskan bahwa irfan dan semangat perjuangan adalah dua hal yang berhubungan sangat erat. Diantara yang dibahas dalam buku ini adalah kisah perjuangan Imam Husein di hari Asyura di Karbala. Menurut beliau peristiwa Asyura yang berlangsung kurang dari satu hari dan terjadi di sebuah lokasi kecil telah menjadi peristiwa yang abadi. Sebab, para pelaku kisah ini adalah orang-orang suci yang mengkombinasikan perjuangan heroik dengan irfan yang murni.
Dalam buku lainnya yang membahas tentang perjuangan Imam Husein as, Ayatullah Jawadi menyebut peristiwa Asyura sebagai buah dari cara berpikir Imam Husein yang logis dan matang. Dengan berbekal pada prinsip bahwa setiap revolusi mementaskan cara pandang dan pemikiran para pemimpinnya, Ayatullah Jawadi menyatakan bahwa pemikiran Imam Husein sebagai pemimpin kebangkitan Asyura bisa dilihat dari perilaku dan kata-kata beliau sepanjang perjalanan ke Kufah atau doa-doa beliau.
Baca juga : Sejarah dan Budaya Syiah di Asia Tenggara
Di antara yang menjadi perhatian Ayatullah Jawadi adalah masalah pengenalan agama Islam kepada umat manusia sebagai agama yang menjamin kebahagiaan hakiki manusia. Untuk itu beliau menulis buku berjudul Entezare Bashar az Din atau ‘apa yang diharap manusia dari agama’. Di buku ini Ayatullah Jawadi menjelaskan bahwa agama Ilahi adalah kumpulan dari hukum Allah, akidah dan ketentuan yang diturunkan Allah untuk membimbing manusia supaya bisa mengekang hawa nafsu dan memperoleh kebebasannya…
Mengenai akal manusia yang tidak sempurna, Ayatullah Javadi mengatakan, “Akal tidak cukup mampu untuk membimbing manusia kepada kebahagiaan. Untuk berkembang dan mengenal sejumlah hakikat, akal memerlukan bantuan agama. Sebab akal tidak mampu mencerna banyak hal, dan akal juga kesulitan membedakan mana yang hakdan mana yang batil. Agamalah yang membantu akal menafsirkan makna kehidupan, mengenal dunia, mengenal asal penciptaan dan hari akhir.”
Ayatullah Jawadi meyakini bahwa agama memberikan makna kepada kehidupan manusia. Dengan agama, kehidupan akan keluar dari kenihilan dan kesia-siaan. Secara naluriah, manusia memiliki sederet pertanyaan di benaknya yang memerlukan jawaban. Dari manakah aku datang? Untuk apa aku berada di dunia ini? Ke manakah aku akan pergi? Agama menjawab pertanyaan-pernyataan seperti ini. Ayatullah Javadi Amoli mengatakan, “Secara jujur harus dikatakan bahwa akal manusia tidak bisa memberikan jawaban yang benar akan pertanyaan-pertanyaan ini. Karena itu, pertanyaan-pertanyaan ini masih ada dan manusia tidak pernah bisa memahami makna kehidupan dengan baik.” Dengan menjelaskan awal penciptaan dan filosofis penciptaan manusia, agama memberikan makna kepada kehidupan.
Ayatullah Jawadi dalam kitab Entezare Bashar az Din menjelaskan bahwa kehidupan sosial manusia harus diatur dengan hukum agama dan Ilahi. Sebagai makhluk sosial yang cenderung hidup bermasyarakat, manusia memerlukan kehadiran undang-undang yang mengatur kehidupan sosial. Undang-undang itulah yang mencegah terjadinya kekacauan dan semua orang harus tunduk dan mentaatinya. Tentunya, undang-undang dan aturan akan sempurna jika pembuat aturan itu mengenal segala seluk beluk manusia dan kehidupannya. Sementara, kepatuhan kepada undang-undang dan aturan itu akan terjamin ketika manusia menyadari bahwa pembuatnya adalah wajib ditaati. Untuk itulah para nabi ke tengah umat manusia sebagai pembawa pesan dan undang-undang Ilahi serta mengajak mereka untuk mematuhi Allah dan meninggalkan larangan-Nya. [hajij]
Baca juga : Perbedaan Syiah dan Sunni