Berita
Menanti Ketegasan Jokowi-JK Pulangkan Pengungsi Muslim Syiah Sampang
Dua tahun enam bulan sudah Muslim Syiah Sampang mengungsi dari kampung halaman sendiri dan saat ini menetap di Rusunawa Sidoarjo. Pemerintahan sudah berganti tapi nasib pengungsi Muslim Syiah Sampang masih belum jelas arahnya.
Tidak hanya itu, media yang awalnya ramai memblow up dan mengabarkan bagaimana ketidak adilan itu terjadi, kini lambat laun pun mulai surut dan meninggalkan para pengungsi yang terus memendam mimpi mereka untuk dapat pulang kembali ke kampung halaman mereka.
Lalu seperti apa sebenarnya kondisi dan situasi para pengungsi Muslim Syiah Sampang saat ini?
Berikut adalah petikan wawancara ABI Press dengan Ahmad Hidayat, Ketua DPP Ahlulbait Indonesia, ormas Islam yang menjadi pendamping para pengungsi Muslim Syiah Sampang selama ini.
Bagaimana kondisi para pengungsi Muslim Syiah Sampang yang telah mengungsi di Rusunawa selama dua tahun lebih?
Bismillaahirrahmaanirrahiim, yang pertama saya ingin mengucapkan belasungkawa kepada bangsa Indonesia yang didirikan dengan modal pluralitas dan menjadi dasar dibangunnya konsep ideologi bernegara, menjadi dasar dibangunnya konstitusi bernegara dan undang-undang di negara kita memberi hak, melindungi setiap warganegara untuk menjalankan keyakinanan mereka kepercayaan agama mereka tanpa harus merasa terbebani oleh gangguan, ancaman dan intimidasi, baik oleh sesama warga negara apalagi oleh negara.
Sudara-saudara Muslim Syiah di Sampang yang sudah meninggalkan kampung halamannya lebih dari dua tahun, tepatnya sudah dua tahun enam bulan, sejak 26 Agustus 2012 hingga sekarang ini dan selama mereka di pengungsian, tentu secara umum kita tahu bahwa pengungsi biasanya mengalami problem-problem sosial, problem psikologis. Anda bisa bayangkan bahwa orang yang sudah terbiasa dan sejak dari kakek nenek moyang mereka tinggal di kampung halaman menghirup udara bebas menjalankan kepercayaan, keyakinan dan doktrin agamanya itu, tiba-tiba terusik oleh sekelompok orang yang tidak toleran atau terhasut provokasi oleh orang-orang yang tidak bertanggung jawab.
Lalu properti mereka, milik mereka yang selama ini mereka hidup darinya, mereka kumpulkan, mereka usahakan dengan keringat, dengan pengorbanan, tiba-tiba harus terbakar, tiba-tiba harus mereka tinggalkan, sanak famili yang ada di kampung halaman terpisah selama dua tahun enam bulan itu, tentu bukan sesuatu yang sederhana, pasti meninggalkan beban psikologis, beban sosial yang sangat berat.
Anda bisa bayangkan bahwa anak-anak kecil yang selama di kampung halaman dengan leluasa bisa sekolah, dalam satu hal urusan sekolah itu saja, mereka bisa bersekolah dengan bebas, belajar dengan baik, tiba-tiba dipisahkan dengan sekolahnya, lalu mereka tidak bisa mendapatkan pelajaran, tentu ini problem tersendiri bagi anak-anak.
Di saat yang sama undang-undang mengatakan bahwa setiap warga negara berhak untuk mendapatkan pendidikan, mereka terjauhkan dari pendidikan di tempat pengungsian, dari tempat mereka sekarang yang bernama pengungsian itu.
Anda bisa bayangkan ibu-ibu yang terbiasa ke kebun, mengurusi dapurnya dengan hasil mengolah lahan tanah mereka, menghasilkan sayur-sayuran, menghasilkan bahan makanan yang mereka kosumsi setiap hari, tiba-tiba mereka terjauhkan dari sawah dan ladang mereka, terjauhkan dari kebun mereka, terjauhkan dari tempat-tempat mereka melakukan upaya produksi secara ekonomi. Tinggal di ruang yang serba terbatas yang di luar dari budaya mereka yang terbuka dan bebas, akrab dengan alam, tiba-tiba dikurung di satu tempat yang semua urusannya harus dimata-matai, harus di proses dengan perizinan dan seterusnya, di tengah kebiasaan hidup masyarakat yang sebelumnya dapat berlangsung sangat sederhana.
Anda bisa membayangkan bapak-bapak, kaum laki-laki yang terbiasa di pagi hari di sawah mereka, di ladang mereka, mengelola sawah mereka untuk produksi, mengelola ternak mereka untuk kegiatan pendukung kegiatan ekonomi rumah tangga mereka, tiba-tiba terkurung di satu tempat dan tidak melakukan aktivitas ekonomi. Ini adalah sebuah kondisi yang sangat menyesakkan dada dan inilah yang dialami oleh pengungsi selama dua tahun. Di tengah-tengah tidak ada celah, tidak ada ruang, tidak ada kesempatan yang terbuka yang diberikan oleh pemerintah sebagai sebuah upaya untuk menjawab harapan mereka untuk kembali ke kampung halaman yang mereka rindukan.
Tentu ini adalah sebuah penyiksaan, sebuah upaya menelantarkan, penyengsaraan satu anak bangsa, satu kelompok anak bangsa, hanya karena persoalan di dalam perbedaan menginterpretasi agama, dengan sekelompok orang lain, lalu mereka kemudian terlantar ke tempat pengungsian. Ini justru akan menjadi beban yang sangat berat bagi anak-anak yang menatap masa depannya tidak ada harapan, bagi ibu-ibu, perempuan yang mereka semestinya bisa punya obsesi yang besar tentang anak-anak mereka, pupus, karena anak mereka tidak sekolah.
Bagi ayah-ayah, bapak-bapak yang setiap hari membanting tulang untuk kegiatan mendukung rumah tangganya, kegiatan membiayai sekolah anaknya, tiba-tiba kehilangan lapangan pekerjaannya dan harus di satu tempat yang ruang lingkup kegiatannya, akses untuk melakukan kegiatan ekonomi sosial budaya tiba-tiba terbatas. Saya kira siapapun manusia yang berakal dan mempunyai hati nurani, akan merasakan bahwa inilah kejahatan yang secara sistematis dilakukan oleh sekelompok manusia yang tidak toleran terhadap kelompok manusia yang lainnya, yang semestinya tidak layak berlaku di negara kita yang kita cintai ini, apalagi atas nama agama Islam.
Ketika ada perhatian dari pemerintah daerah yang sekarang di Sidoarjo, apa pandangan anda terkait berita pemerintah daerah akan menerbitkan KTP untuk pengungsi di Sidoarjo?
Saya kira inilah kejahatan yang dilakukan secara sistematis oleh mereka yang tidak toleran, oleh mereka yang sesungguhnya melakukan tindakan anarkis dan tidak toleran yang bertentangan dengan konstitusi negara kita, lalu ada semacam pembiaran yang dilakukan oleh pemerintah daerah, apa lagi yang menyatakan hal tersebut bahwa warga Muslim Syiah akan dicabut hak kependudukannya di kabupaten Sampang, karena sudah tinggal di pengungsian selama sekian lama itu akan dilakukan oleh pemerintah atas pernyataan Bupati.
Tentu ini adalah pernyataan konyol dari seorang pejabat negara. Dia lupa, dia tidak sadar bahwa para pengungsi ini meninggalkan kampung halamannya bukan atas keinginan mereka sendiri. Mereka meninggalkan kampung halaman karena dipaksa oleh keadaan dalam keadaan pemerintah tidak memberikan perlindungan yang semestinya didapatkan oleh warga negara dari gangguan sekelompok orang yang tidak toleran, yang berbuat makar, yang berbuat intimidatif, yang memprovokasi masyarakat untuk melakukan benturan sosial. Semua kelakuan itu bagi orang yang memahami Undang-Undang Dasar, bagi orang-orang yang memahami konstitusi negara pasti akan mengatakan itu adalah kejahatan.
Kita tentu bertanya apakah Bupati atau Wakil Bupati ini paham terhadap konstitusi negara atau tidak? Nah, karena itu ironis bahwa seorang Wakil Bupati tiba-tiba memberikan pernyataan yang sangat-sangat kontradiktif atau melawan hukum, melawan asas konstitusi negara, ini menunjukkan bahwa ada upaya sistematis yang dilakukan baik oleh mereka yang intoleran maupun oleh pemerintah daerah untuk mengusir warga Muslim Syiah dari kampung halamannya atas dalih bahaya, atas nama ancaman ketidak amanan yang sebenarnya hanya dibuat-buat dan tidak sesuai fakta.
Padahal pernyataan Wakil Bupati itu menunjukkan bahwa ini tidak saja mencederai peranan polisi sebagai aparat keamanan, ini sama saja Wakil Bupati itu menganggap bahwa aparat-aparat keamanan di negeri kita ini tidak mampu menjaga keamanan, memberikan pelayanan terhadap setiap warganegara untuk menjaga keamanan warga negaranya.
Kita lihat spanduk-spanduk polisi, pernyataan-pernyataan kepolisian Republik Indonesia yang kita cintai ini selalu mengatakan bahwa polisi adalah pelayan masyarakat. Maka pernyataan Bupati ini sebenarnya menohok ke jantung kepolisian Republik Indonesia, seakan-akan Bupati ini menyangsikan kemampuan polisi untuk menjaga keamanan warganegaranya.
Lebih dari itu Bupati ini ingin melakukan tindakan destruktif, terhadap konstitusi negara bahwa negara memerintahkan perlindungan secara sama kepada setiap individu bagi anak bangsa ini, menjalankan keyakinannya masing- masing. Karena itu apa yang dinyatakan oleh Bupati betul-betul bertentangan dengan konstitusi dan semestinya itu tidak dibiarkan oleh aparat penegak hukum terutama Kementerian Dalam Negeri dan Kementerian Hukum dan HAM.
Lantas sejauh mana kebijakan pemerintahan yang baru, dari pusat dalam menangani pemulangan pengungsi Muslim Syiah Sampang?
Kalau melihat pernyataan Wakil Bupati Sampang terakhir ini termasuk pernyataan Gubernur Jawa Timur, sepertinya memang saya ingin mengatakan bahwa pemerintah daerah Jawa Timur dan pemerintah kabupaten Sampang sudah menyerah kalah dari kelompok intoleran, dari orang-orang yang menginjak-injak Pancasila, dari orang-orang yang menafsirkan agama secara sempit, dari orang-orang yang tidak memiliki kelayakan sedikitpun untuk mengklaim kebenaran, dan memaksakan atau mendesakkan kepada pemerintah daerah untuk melakukan tindakan pelanggaran konstitusi.
Karena itu harapan kita satu-satunya adalah Pemerintah Pusat. Bapak Jokowi dan Bapak Jusuf Kalla di dalam statemennya di masa-masa kampanye, dan reputasi perjalanan karir politik mereka di pemerintahan semestinya, Pemerintah Pusat di bawah kepemimpinan Jokowi dan JK itu harus menunjukkan kemauan politiknya untuk menyelesaikan kasus Sampang dan segera mengembalikan para pengungsi ke kampung halaman mereka.
Karena ketika urusan ini diserahkan hanya kepada pemerintah daerah Jawa Timur, dan pemerintah kabupaten Sampang, percayalah selamanya para pengungsi ini tidak akan kembali ke kampung halamannya dan ketika itu dibiarkan maka itu sama dengan pelanggaran besar terhadap konstitusi negara, pengingkaran terhadap hak-hak sipil warga negara dan tentu kita akan menagih janji Jokowi dan JK apakah betul di masa pemerintahannya lima tahun yang akan datang Jokowi betul-betul bisa menunjukkan bahwa dia adalah pemimpin bangsa ini untuk seluruh rakyatnya dan akan memenuhi hak-hak sipil setiap warga negara dan akan mampu mengembalikan pengungsi ke kampung halamannya.
Karena itu kita berharap, dan kita ingin meminta dengan sangat kepada Presiden RI Jokowi, dan Wakil Presiden Jusuf Kalla, untuk mengambil tindakan yang semestinya. Karena kalau Jokowi sekarang ini mau blusukan ke berbagai tempat bencana alam, semestinya dia lihat bahwa peristiwa dua setengah tahun yang lalu itu di kabupaten Sampang bukan saja sebatas bencana alam, tapi itu jauh dari sekadar bencana alam adalah bencana besar kemanusiaan.
Ini adalah bencana kemanusiaan, dan karenanya semestinya Presiden memberikan perhatian lebih dari sekadar bencana alam. Bencana kemanusiaan karena ada pembunuhan, ada diskriminasi, ada intimidasi, ada pembully-an secara sistematis antar manusia yang satu terhadap manusia yang lain, yang hak-hak konstitusinya dilindungi oleh negara. Terlebih lagi agama yang diakui oleh negara yang kita cintai ini.
Karena itu kita mendesak, mudah-mudahan Bapak Jokowi dengan blusukannya ke pelbagai tempat bencana alam juga kita desak agar beliau segera mengunjungi para pengungsi di Rusunawa Sidoarjo dan dengan itu mereka memerintahkan Gubernur, dan memerintahkan Bupati, dia memerintahkan Kapolri, untuk memulangkan dan menjaga keamanan, memberikan perlindungan keamanan, kepada Muslim Syiah kembali ke kampung halamannya dan memerintahkan Kementerian Agama untuk memberikan pendidikan politik, hukum dan agama kepada kelompok intoleran, karena apabila kelompok ini dibiarkan, ini tidak saja akan mengancam Muslim Syiah tapi akan mengancam siapa saja anak negeri ini yang berbeda paham dengan kelompok intoleran yang mengusir Muslim Syiah dari kampung halamannya itu.
Yang pertama, Ahlulbait Indonesia telah melakukan dua pendekatan sekaligus. Pendekatan pertama adalah pendekatan-pendekatan kultural, Ahlulbait Indonesia telah melakukan upaya-upaya yang cukup sistematis berkomunikasi dengan para ulama, dengan para tokoh masyarakat dan mereka yang terkait dengan kasus itu secara langsung.
Dalam pertemuan Ahlulbait Indonesia dengan tokoh-tokoh agama di Jawa Timur, khususnya di Sampang atau Madura secara keseluruhan dan pemimpin-pemimpin organisasi Islam seperti NU dan Muhammadiyah, kami mendapatkan kesimpulan bahwa sebenarnya pada tingkat ulama urusan Sunnah dan Syiah sudah selesai. Urusan Sunnah dan Syiah sudah tidak ada masalah dan mereka semua sepakat bahwa semestinya Muslim Syiah sudah bisa dikembalikan ke kampung halamannya oleh pemerintah.
Yang kedua kelompok yang selama ini dianggap melakukan upaya provokasi, terhadap masyarakat awam semestinya ditertibkan atau diberikan pendidikan politik kewarganegaraan, tentang amanat Undang-Undang Dasar 1945 dan seterusnya, terhadap mereka. Menyadarkan mereka bahwa mereka telah melanggar konstitusi, lebih dari sekadar itu, mereka juga melanggar amanah dan perintah agama suci Islam yang mengajarkan cinta damai, perlindungan, penghormatan terhadap keyakinan setiap orang di dalam keberagamaan.
Itu yang kita lakukan pertama dan itu kita lakukan sepanjang tahun atau sejak kasus pengusiran Muslim Syiah dari kampung halamannya, tidak ada lagi tersisa ulama, tokoh masyarakat yang ada di Jawa Timur, dan Madura secara keseluruhan khususnya Sampang yang tidak kami lakukan silaturahmi dengan mereka.
Yang kedua, pendekatan struktural. Ahlulbait Indonesia telah melakukan pertemuan atau pembicaraan secara intensif dengan seluruh unsur pemerintah dari daerah hingga pusat sampai ke tingkat bertemu dengan Presiden ketika itu Susilo Bambang Yudhoyono, dalam dua kali pertemuan bersama dengan pengungsi, juga berjumpa denga Ketua MPR, berjumpa dengan Ketua DPR RI, berjumpa dengan sejumlah menteri-menteri terkait, mengadakan Focus Group Discussion (FGD) dengan kementerian terkait, baik Kementerian Hukum dan HAM dan Kementrian Agama RI, di dalam rangka mencari solusi dan jalan terbaik yang harus diambil oleh pemerintah untuk memulangkan pengungsi Muslim Syiah Sampang ini.
Tapi saya tidak ingin mengatakan bahwa seluruh upaya itu gagal. Yang belum dilakukan oleh pemerintah dari seluruh skema pembicaraan mulai dari Bupati, Gubernur sampai kepada Presiden sampai kepada Ketua MPR, DPR dan seluruh komisi-komisi yang kita temui termasuk fraksi-fraksi partai-partai yang ada di DPR, semua berkesimpulan sama: bahwa pengungsi harus pulang. Problemnya hanya satu, political will Pemerintah Pusat untuk memulangkannya, dan inilah yang akan kita dorongkan kepada pemerintahan Jokowi-JK. Berbeda dengan SBY, mereka harus punya kemauan politik untuk memulangkan warga Muslim Syiah ke kampung halamannya.
Selama keputusan itu tidak diambil oleh Pemerintah Pusat, dalam hal ini Presiden, maka selama itu pula, wacana tentang pemulangan, wacana tentang perlindungan hak-hak asasi manusia, wacana tentang perlindungan hak-hak sipil warganegara, wacana tentang kebebasan beragama, toleransi, dan seterusnya. Bila itu hanya dibicarakan di atas meja, dapat dikatakan bahwa telah terjadi pembohongan publik di dalam implementasinya.
Karena itu kita berharap, Pemerintah Pusat, mudah-mudahan Jokowi mau menerima, bersedia menerima kunjungan pengurus ABI, Ahlulbait Indonesia bersama dengan para pengungsi dan mendesak beliau atau bahkan mendesak Jokowi agar bisa mengunjungi pengungsian dan mengantar pulang para pengungsi melalui koordinasi Kementerian Dalam Negeri, Kementrian Agama, Kepolisian Negara RI, Gubernur Jawa Timur, dan Bupati Sampang. Kalau itu dilakukan, saya percaya akan cepat selesai. Apalagi JK punya sembonyan, “Lebih cepat, lebih baik.”
Saya kira kita mau tantang JK, apakah betul dalam menyelesaikan kasus-kasus yang sudah menahun yang ditinggalkan oleh pemerintah sebelumnya bisa lebih cepat ditangani oleh JK dan niscaya hasilnya akan lebih baik?
Para pengungsi selama dua tahun lebih di tempat pengungsian baik itu ketika mereka berada di Gedung Olahraga (GOR) Sampang, maupun setelah berada di Rusunawa Sidoarjo, para pengungsi ini melakukan upaya-upaya menjalin hubungan kekerabatan, yang dalam tradisi Madura itu ada yang disebut dengan “Metorok.”
Metorok itu kira-kira berusaha untuk mendapatkan jaminan atau penjamin dari tokoh masyarakat untuk memulangkan mereka, itu yang pertama. Dan sudah ada beberapa tokoh masyarakat, tokoh agama yang telah menyatakan kesediaannya untuk memediasi dan memberikan jaminan atas kepulangan warga Muslim Syiah.
Yang kedua para pengungsi ini sebenarnya secara reguler sudah berusaha pulang ke kampung halaman, secara reguler ada di antara mereka yang pulang bermalam dua hari tiga hari bertemu dengan keluarganya di sana, disambut baik oleh sahabat-sahabatnya yang lama bahkan sebagian dari mereka yang dulu pernah menyerang mereka itu sudah menerima mereka, sudah bisa duduk merokok bersama, sudah duduk berkumpul bersama sebagai satu keluarga, satu kampung dan seterusnya. Artinya, di tingkat akar rumput sebenarnya sudah tidak ada masalah.
Problemnya adalah masyarakat yang awam ini selalu rentan diprovokasi oleh tokoh-tokoh intoleran yang ada di TKP, inilah yang membuat upaya rekonsiliasi, reintegrasi pengungsi ini dengan warga selalu terhambat karena adanya provokasi yang dilakukan oleh orang-orang yang tidak bertanggung jawab. Di tengah masyarakat awam yang rentan atas provokasi apalagi yang melakukan provokasi itu berlabel Kyai, berlabel ulama, dan masyarakat Madura sebagai masyarakat yang relijius, yang menghormati ulama biasanya kalau pernyataan itu datang dari orang yang dianggap ulama itu berpengaruh di dalam sikap keberagamaannya.
Sayangnya bahwa provokasi yang dilakukan oleh sekelompok orang yang mengatasnamakan agama itu justru melakukan tindakan makar, terhadap agama Islam yang damai, yang santun, yang tasamuh, yang menghargai perbedaan, yang toleran dan seterusnya. Inilah masalah yang tersisa sebenarnya, yaitu adanya kelompok intoleran yang mengaku berbuat atas nama agama dan di tengah masyarakat awam yang rentan akan provokasi, dua hal ini semestinya mudah diterapi oleh pemerintah, kalau saja pemerintah memang punya kemauan politik. Lagi-lagi kuncinya ada pada Pemerintah Pusat yaitu Bapak Presiden Republik Indonesia Jokowi dan JK sebagai Wakil Presiden beliau. (Lutfi/Yudhi)