Berita
#MaknaHaji: Tawaf
Pembahasan sebelumnya #MaknaHaji: Ka’bah
Bagaikan sungai yang bergemuruh mengitari sebuah batu, Ka’bah dikelilingi oleh lautan manusia yang sangat bergairah. Ka’bah laksana matahari yang berada di tengah sedangkan manusia laksana bintang-gemintang yang berjalan di orbitnya dalam sistem tata surya. Karena posisinya di tengah maka manusia bergerak mengelilinginya dalam bentuk lingkaran. Ka’bah melambangkan ketidakberubahan dan keabadian Allah. Lingkaran yang bergerak menunjukkan aktivitas dan transisi yang berkesinambungan dari makhluk-Nya.
Ketidakberubahan + gerakan + disiplin = Tawaf
Itulah persamaan dari dunia secara keseluruhan. Tawaf merupakan contoh dari sebuah sistem yang berdasarkan pada gagasan tentang monoteisme (tauhid) yang meliputi orientasi sebuah partikel (manusia). Allah adalah pusat eksistensi; Dia adalah fokus dari dunia yang sementara ini. Sebaliknya, engkau adalah partikel bergerak yang mengubah posisimu dari yang sekarang ke yang seharusnya. Namun dari segala posisi dan di setiap saat senantiasalah engkau mempertahankan jarak yang konstan dengan “Ka’bah” atau dengan Allah! jarak tersebut tergantung pada jalan yang telah engkau pilih dalam sistem ini.
Engkau jangan menyentuh Ka’bah juga jangan berhenti di sana. Setiap orang bergerak mengelilingi Ka’bah secara bersamaan dan gerakannya bagaikan satu unit atau satu kelompok manusia. Dalam kelompok tersebut tidak ada identifikasi individual yang membedakan laki-laki dan perempuan, ataupun kulit hitam dan kulit putih!. Gerakan ini merupakan proses transformasi seorang manusia menjadi totalitas umat manusia. Semua ‘Aku’ bersatu menjadi “Kita’ yang mewujudkan “umat” dengan tujuan mendekati Allah.
Jalan Allah adalah jalan umat manusia. Dengan kata lain, untuk mendekati Allah engkau harus lebih dulu mendekati manusia. Bagaimana caranya? Untuk mencapai kesalehan engkau harus benar-benar terlibat dalam berbagai problem manusia, jangan seperti seorang rahib yang mengisolasi diri di dalam biara tapi aktiflah terjun ke “lapangan” melakukan kedermawanan, ketaatan, dan mengorbankan kepentingan diri sendiri, menderita dalam tahanan dan pengasingan, menahan rasa sakit siksaan dan menghadapi berbagai macam bahaya. Beginilah caranya engkau bersama umat manusia sebagai arena untuk engkau dapat mendekati Allah. Nabi Muhammad saw bersabda: “Setiap agama mempunyai jalan hidup kebiaraannya sendiri, dan dalam Islam maka jalan hidup itu adalah “Jihad”.
Pada saat tawaf engkau tidak boleh memasuki Ka’bah ataupun berhenti di mana pun di sekitarnya. Engkau harus masuk dan lenyap dalam gelombang manusia. Engkau harus terjun ke dalam arus manusia yang bergemuruh yang sedang bertawaf. Beginilah caranya engkau menjadi seorang haji. Inilah undangan kolektif kepada siapa saja yang ingin datang ke rumah ini. Apa yang dapat dilihat? Sang Ka’bah tak bergeming di tengah, sementara arus manusia yang bergemuruh dan serba putih bergerak mengelilinginya. Setiap orang mengenakan pakaian dengan warna dan pola yang sama. Tidak ada perbedaan ataupun penonjolan pribadi dan yang ditunjukkan adalah totalitas serta universalitas sejati.
Di luar Ka’bah, setiap orang mempunyai jalan dan haknya sendiri. “Totalitas” hanyalah sebuah konsep teoretis belaka. “Kemanusiaan” hanya sekadar sebuah gagasan, konsep yang logis dan teoretis. Jauh dari Ka’bah umat dikenali lewat nama, kewarganegaraan atau ras mereka, tapi di Ka’bah semua ciri ini digantikan dengan konsep totalitas dan universalitas yang menjadi identitas mereka. Oleh karena itu, yang sedang melakukan tawaf adalah ‘ummah’ yang mewakili ‘umat manusia’.
Jika engkau masih dalam keadaan egois (hanya memperhatikan diri sendiri), maka engkau sama sekali bukan bagian dari lingkaran tawaf. Engkau akan seperti seorang pengunjung yang berdiri di tepi sungai, tidak di dalamnya. Mereka yang terlepas dari dirinya sendiri adalah manusia yang hidup dan bergerak secara bersamaan. Mereka yang tidak terpisah dari dirinya sendiri adalah manusia yang stagnan dan mati. Mereka bagaikan partikel-partikel yang bertebaran tidak karuan di udara orbit sistemiknya. Selain itu, di Ka’bah engkau diajarkan untuk membuktikan dirimu sendiri, menunjukkan eksistensimu dan menjadi abadi. Engkau harus menolak sikap egois yang suka mementingkan diri sendiri.
Dengan bersikap dermawan, baik hati kepada orang lain, dan mengabdi kepada ummah, engkau akan menemukan jati diri dan realitasmu. Ketika engkau menyerahkan hidupmu di jalan Allah, maka dengan darahmu yang hangat engkau akan mendekati syuhada, dan disebut sebagai syahid. Syahadat itu ada, hidup, nyata dan dapat dilihat. Seorang syahid adalah saksi dan pengunjung yang abadi; ia menunjukkan suatu “kehidupan yang kekal”.
Jangan engkau mengira bahwa orang-orang yang gugur di jalan Allah itu mati! Tidak, sesungguhnya mereka hidup di sisi Allah dan mendapat rezeki. (QS. Ali Imran: 169)
Karena jalan Allah adalah jalan umat manusia maka hendaklah jalan tersebut ditempuh secara bersama-sama, tidak secara individual. Tapi bagaimana dengan salat-salat yang dilaksanakan secara individual? Salat-salat tersebut dikerjakan dalam rangka melatihmu untuk melakukan ketaatan, menunjukkan kedermawanan yang maksimal, menolak sikap mementingkan diri sendiri, dan berkorban demi orang lain.
Tujuan akhirnya adalah menjadi manusia yang ideal. Manusia adalah wakil Allah. Wakil dan kepercayaan-Nya (Adam) akan ada sepanjang dikehendaki Allah, Seseorang akan hidup abadi jika ia mati sebagai seorang “manusia” karena seseorang (individu) bisa binasa, sementara “manusia” abadi. Setetes air yang bahkan bagian dari sebuah sungai atau tidak mengalir ke laut adalah bagaikan embun. Ia hanya bertahan semalam dan akan lenyap begitu senyuman pagi sinar mentari merekah. Wahai manusia, terjunlah ke dalam sungai dan mengalir, mencapai laut dan menjadi abadi! Wahai embun, mengapa engkau menanti di tepi sungai yang mengingatkanmu akan keselarasan penciptaan? maju dan bersatulah dengan ummah. Tapi sebelum bergabung engkau harus sepenuhnya sadar akan apa yang sedang engkau lakukan dan mengapa engkau lakukan. Engkau harus mengakuinya demi Allah, tidak demi dirimu sendiri dan demi fakta-fakta, tidak demi politik. Di sini setiap perbuatan memiliki makna penting. Gerakan abadi ini diarahkan oleh disiplin yang akur, dan merefleksikan organisasi dunia.
Ali Syariati