Berita
#MaknaHaji: Masy’ar [bag 2]
Sebelumnya #MaknaHaji: Masy’ar [bag 1]
Bala tentara yang bergemuruh dan gelisah telah mengumpulkan batu kerikil dari negeri berbatu padang Masy’ar. Sekarang engkau berada di perbatasan Mina dan semua orang menunggu dalam keheningan dan merenung di padang pasir “kebangkitan kembali” ini. Tidak, Ya Allah, maksudku di padang pasir negeri Masy’ar! Tidak ada tenda, tidak ada petunjuk, tidak ada dinding, tidak ada pintu, bukan atap, bukan jalan, bukan menara-negeri Masy’ar bukanlah sebuah kota. Jangan buang waktu mencari sahabat atau kafilahmu. Di sini masing-masing sendirian. Hanya ada dua di sini, engkau dan malam.
Betapa berjejalnya manusia! Semua kafilah dan suku dihimpun bersama. Itulah saat ‘Kebangkitan’:
Pada hari ketika manusia lari dari saudaranya, dari ibu dan bapaknya, dari istri dan anak-anaknya. (QS. ‘Abasa: 34, 35 ,36)
Engkau telah melupakan dirimu sendiri, dan di sini engkau akan menemukan kembali dirimu. Selagi dalam keadaan ihram di Miqat engkau melupakan dirimu sendiri dan menyatu dengan umat manusia. Pada saat tawaf engkau dibawa oleh mereka. Setelah Sa’i engkau pun menemukan dirimu. Di Padang Arafah engkau terjun ke dalam samudra, dan kemudian, engkau Akan menemukan kembali airimu di Masy’ar
Engkau sendirian di tengah lautan manusia. Di sini engkau menemukan ‘kebenaran dirimu sendiri’, dirimu dalam keadaan tanpa tutup, tanpa warna, tanpa topeng ataupun berpoles make-up. Engkau dalam keadaan telanjang dan suci. Malam ini engkau mengadakan perbincangan pribadi dengan seorang ‘Sahabat’ (Allah). Laporkanlah dirimu dan akuilah segala dosamu. Memang sensasional untuk mengakui dan secara terang-terangan menyatakan keinginanmu. Sekaranglah saatnya untuk mengabaikan semua batasan dan memecahkan dinding. Bebaskanlah apa yang telah engkau penjarakan di dalam dirimu selama ini. Engkau berada di sini seorang diri.
Engkau berbaur dengan orang ramai sebagai seorang individu. Namun di tengah mereka pun akhirnya engkau sebagai individu lagi. Sungguh menakjubkan ‘individualitas’ yang engkau temukan dari menyelami samudra manusia dan engkau menemukan mutiara dirimu sendiri; engkau bahu-membahu dengan orang ramai namun pada saat yang sama engkau tetap sendirian. Betapa menakjubkan!.
Kesulitan di Muzdalifah mencengkram kuat bala tentara dalam pelukannya. Jutaan Muslim yang utuh dan tidak terpencar-pencar berjejalan saling bahu membahu (seakan-akan mereka merangkak saling mendekati). Namun demikian, setiap orang sendirian menghadapi langit Masy’ar yang membangkitkan semangat.
Engkau merasa kesepian di tengah kedaulatan mutlak umat manusia. Masing-masing orang tidak saling mengenal tapi tidak usah takut. Sang malam telah menyelimutimu dalam kerendahan hatinya.
Tidak akan ada orang yang akan melihat padamu atau memanggilmu dengan sebutanmu sebelumnya. Bebaskan dirimu dan tinggalkan dirimu dalam pelukan malam.Apa yang sedang aku katakan? Malam di Padang Masy’ar telah menutupi cakrawala dan tampak seperti sebuah layar langit. ‘
Dalam belantara pohon palem yang sunyi dan diterangi sinar rembulan ini, biarkanlah matamu yang mencari-cari dan hatimu yang gelisah dalam siraman kesunyiannya, dan terbang berputar-putar bagaikan seekor kupu-kupu yang sedang kasmaran. Kemudian, jauh dalam lubuk hatimu, rasakanlah kesendirian di tengah padang pasir ini di mana engkau divonis hidup. Di tengah kesunyian yang agung seperti itu, engkau dapat mendengar Allah dan suara ‘tawanan bumi yang agung’ dan pemimpin manusia yang menekuk kepalanya ke dalam sumur, merintih dan menangis pilu di tengah gurun pasir ini.
Ketika Masyar tak berdaya karena kecemerlangan malam yang agung dan misterius maka segala sesuatu pun tenang dan membisu. Tiba-tiba serbuan banjir (bala tentara Islam) merangsek masuk ke dalam lembah ini dan menenggelamkan dasarnya, bukitnya dan gunung-gunung sekitarnya. Maka Masy’ar pun senyap kembali di bawah atap langitnya.
Malam telah mendatangi Masy’ar dan di sana tidak ada cahaya; namun, ada sinar rembulan dan taburan bintang bercahaya yang menerangi gurun pasir Masy’ar. Sang malam di padang Masy’ar dan langit surganya yang indah tidaklah dikenal oleh mereka yang menjalani kehidupan kota, yang menghamburkan waktunya untuk memenuhi kebutuhan dan kerakusan duniawi. Malam-malam mereka sangat berbeda dengan di Masy’ar. Malam di Masy’ar merupakan bayangan dan imajinasi dan surga -sinaf rembulan, sejuk, jernih dan ramah dengan ‘senyuman mesra Allah’. Di tempat inilah hatimu akan menjadi saksi dari sumpah Allah: ‘Demi bulan dan sinarmya….’
Demi matahari dan cahayanya, dan bulan ketika mengiringinya dan siang ketika menampakkannya dan malam ketika menutupinya, dan langit serta penegakannya, dan bumi serta penghamparannya. (QS. asy-Syams: 1-6)
Malam di Masy’ ar tidak seperti malam-malam di daerah perkotaan yang penuh sesak dan berjejalan orang ramai di mana mereka menghembuskan udara kotor yang beracun dan bintang-bintangnya pun tampak pucat dan sakit. Malam itu adalah malam tanggal 9 Zulhijah. Pasukan besar tentara tauhid dan para pejuang kemerdekaan yang terpelajar telah berkemah di atas gunung ini. Mereka benar-benar lupa terhadap segala urusan duniawi karena begitu menatap langit Masy’ar maka mereka tenggelam dalam lamunan cinta dan khayalan. Lautan biru yang terbalik ini dipenuhi dengan bintang-bintang bertaburan yang muncul berarakan di tengah langit yang gelap, dan membuka jendela untuk menatap ke dunia lain. Sebagai satu-satunya manja alam semesta di hadapan penghuni bumi yang terkutuk, itulah rembulan yang bersinar kemilau dari puncak gunung dan menerangi lembah Masy’ar. Di sudut langit yang lain, bintang-bintang yang berseri sedang sibuk menggantungkan gemerlap “Pleiades” (nama gugusan bintang-peny.) dari langit Masy’ar untuk menerangi jalan misterius yang menuju ke keabadian. Gugus bintang yang disebut ‘Bima Sakti’ ini adalah ‘Jalan menuju Mekah’ atau ‘Jalan menuju Ali’.
Makna yang begitu agung dan penting seperti ini tersembunyi dalam bahasa dan penafsiran orang-orang buta huruf. Mereka akan ditertawakan oleh kalangan ulama yang masih berada pada fase Arafah. ‘Fakta-fakta’ yang ada dalam kisah-kisah ini lebih signifikan dan mendalam dibanding ‘sejarah’; namun, semua ‘fakta’ ini diabaikan karena ‘fakta-fakta itu tidak pernah terjadi’. Para sejarawan yang menyadari dan mencatat ‘apa yang terjadi’ tidak mengetahui bahwa ‘fakta-fakta’ ini diremehkan oleh mereka, dan mereka juga tidak sadar betapa kehidupan mereka sia-sia karena hanya mencatat kisah-kisah hampa yang menggelikan dan membenci segala kepalsuan hanya karena ‘fakta-fakta itu pernah terjadi’ dan merupakan sasaran-sasarannya.
Pandanglah langit Masy’ar! Lihatlah sorotan cahaya bintang menembus jantung malam; bintang-bintang itu adalah para malaikat langit pelindung. Seandainya iblis-iblis dan manusia sesat bermaksud secara diam-diam mengintip dari suatu sudut; dalam kegelapan, maka mereka akan dipukul jatuh oleh tembakan sinar bintang. Mengapa harus ditembak? Agar tidak ada pelaku kejahatan atau makhluk asing yang berani melanggar hak istimewanya yang suci dan agung. Mengapa? Agar tidak ada pelaku kejahatan atau makhluk asing yang mengerti dan mengetahui rahasia kebesarannya.
Dan engkau, yang ‘bahu-membahu dengan orang lain’ dan hilang di tengah keramaian, bagaimanapun juga engkau berada sendirian bersama Allah. Wahai ‘tentara yang mencinta’, ‘penyembah malam Masy’ar’, ‘singa dari medan tempur Mina’ dan ‘anggota pasukan jihad’ yang menunggu dalam fase kesadaran untuk bertempur melawan setan di hari berikutnya, apa yang engkau bawa? kenakan kain kafanmu dan genggam bebatuan (senjata) di tanganmu, hanya itu!.
Letakkan senjatamu di bawah kepala dan bercakaplah dengan Allah pada malam ini. Hanya Dia dan dirimu yang ada disertai senjata dan keimananmu. Tinggalkanlah ‘dunia yang kotor’ ini dan abaikanlah ‘batas-batas’-mu! Terbanglah di angkasa langit ini, masuklah melalui celah-celah bintang dan naiklah ke atap penciptaan. Jika engkau adalah pengikut Muhammad saw yang baik, lakukan apa yang dia perbuat. ‘Biarkan hatimu diterangi oleh cinta!’.
Bunuhlah segala kelemahan, rasa takut, rasa benci dan kepentingan yang engkau miliki dalam kehidupanmu. Bersiaplah menyongsong hari esok dengan mempersiapkan diri malam ini juga!. Wahai ‘makhluk bebas’, ‘tentara cinta’ dan setan-setan tengah menunggu di depan Mina. Latihlah dirimu malam ini karena esok akan ada pertempuran yang serius. Di negeri kesadaran ini, isilah tanganmu dengan senjata dan isilah hatimu dengan cinta.
Boleh kau tanya dirimu sendiri -Apa yang harus aku lihat atau aku kerjakan di tempat ini? Jawabnya adalah: tidak ada apa pun yang harus engkau lihat dan engkau kerjakan. Engkau bebas untuk masuk ke dalam samudra manusia ini. Engkau boleh menghabiskan malam sesukamu; bahkan engkau pun boleh tidur. Tapi berharap dan berkelakuanlah seolah-olah engkau sedang berada di Masy’ar di mana tidak ada apa pun untuk dilihat. Hendaklah Keagungan berada dalam pandanganmu, bukan berada dalam apa-apa yang engkau pandang. Tidak ada kewajiban apa pun di sini.
Yang harus engkau kerjakan adalah sangat sederhana: melakukan perenungan!
Sungguh menakjubkan! ratusan ribu manusia tanpa nama yang tidak memiliki identifikasi apa pun duduk-duduk di atas tanah sambil menatap ke langit Masy’ar yang bertaburan bintang. Rasa dahagamu akan terpuaskan dengan guyuran ilham yang tercurah dari langit. Di tengah orang banyak ini engkau dapat mendengarkan keheningan. Di tengah suasana kudus ini tidak ada sesuatu pun yang dapat memikat perhatianmu, sekalipun.pikiran tentang Allah, karena Allah ada di mana-mana. Engkau dapat mencium keharuman-Nya sebagaimana engkau dapat mencium wangi bunga mawar. Engkau dapat merasakan kehadiran-Nya dalam telinga, mata, hati dan jauh dalam tulang-tulangmu. Apa yang sedang dikatakan? Engkau dapat merasakan-Nya di kulitmu sebagai sentuhan lembut dan cinta!.
Habiskan malam di Masy’ar dengan merenung sehingga engkau dapat menemukan dirimu sendiri. Dalam kegelapan malam, cobalah menemukan senjatamu dan bersiap-siaplah untuk hari berikutnya. Pemandangan yang sungguh indah!, pasukan baru saja tiba dari Arafah dan bergegas mendaki gunung-gunung untuk mengumpulkan senjata. Inilah pasukan tauhid dan pangkat yang mereka sandang disesuaikan dengan kedekatan hubungannya dengan Allah, bukan dengan sesama prajurit. Status yang dimiliki diperoleh berdasarkan sifat dan watak dirinya, diri hari ini, diri hari kemarin dan diri pada waktu tertentu-tidak berdasarkan nama atau individu-individu pilihan. Yang terakhir, Ibrahim adalah sang komandan pasukan tauhid ini.
Di pegunungan dan dalam kegelapan malam, kumpulkan senjatamu secara kolektif dan camkan dalam hati bahwa masing-masing orang bertanggung jawab atas dirinya sendiri. Fase selanjutnya adalah Mina (medan tempur) yang berlangsung pada hari berikutnya, hari pengorbanan (waktu jihad). Senjatamu harus dikumpulkan selama gelapnya malam sedangkan di siang hari engkau harus bertempur. Lautan manusia ini tampak laksana serangan badai yang sedang gelisah. Mereka sedang berpikir dan bersiap-siap menghadapi perang. Ribuan hantu misterius, semua saudara perempuan dan laki-laki dan semua prajurit membentuk lautan manusia ini. Mereka semua saling mengenal, namun demikian engkau tidak dapat mengidentifikasi saudaramu karena mereka semuanya sama. Dalam kegelapan Masy’ar, setiap orang sedang giat membungkuk-bungkuk mencari tanah berbatu untuk menemukan batu-batu kerikil (jamarah) yang akan dilontarkan di medan tempur Mina (ram‘i) .
Jamurah adalah batu kerikil yang jenisnya khusus, jadi hendaklah engkau teliti dalam memilihnya! Keadaannya memang gelap sehingga batu-batu kerikil sulit ditemukan. Ukurlah batu kerikil yang telah kau temukan lalu ambillah yang ukurannya tepat!. Engkau harus mengikuti anjuran pada saat memilih batu kerikil -disiplin, bersatu, tetap bersama-sama dan merasa benar-benar bertanggung jawab, ini persoalan yang serius. Batu-batu kerikil ini akan digunakan sebagai senjata untuk membunuh musuhmu. Pilihlah batu-batu kerikil yang halus, licin, bulat, dan lebih kecil dari biji kacang tapi lebih besar dari biji pistachio (semacam buah kenari). Batu kerikil itu melambangkan apa? Ia melambangkan peluru!. Semuanya sudah beres dan telah dievaluasi secara cermat. Setiap prajurit dalam pasukan Ibrahim harus menembakkan tujuh peluru kepada musuh-musuh di Mina. Peluru tersebut harus ditembakkan ke kepala, tubuh dan jantung musuh. Hanya peluru yang mengenai musuh yang akan dihitung; jika engkau belum ahli, siapkanlah lebih banyak peluru untuk menggantikan peluru yang tidak kena sasaran.
Bagaimanapun juga, engkau harus mempunyai cukup kerikil untuk di garisdepan. Jika engkau menembak kurang dari jumlah yang dianjurkan maka engkau tidak dianggap sebagai prajurit dan hajimu pun tidak diterima. Ikutilah peraturan ketika engkau berada dalam pasukan ini. Ingatlah engkau harus tinggal di Mina selama tiga hari (tanggal 10, 11, 12 Zulhijah). Pastikan pelurumu tidak terbuang percuma karena hanya tembakan yang mengenai musuh saja yang dihitung. Ini adalah operasi militer. Fakta-fakta dan aksi-aksi sama pentingnya dengan. hasil-hasil yang objektif. Yang menjadi latarnya adalah medan perang, bukan biara! Perintah-perintah yang harus ditaati cukup sederhana, tepat guna, pasti, tegas, tidak membutuhkan penafsiran teologis maupun filosofis. Aksi-aksimu tidak berkaitan dengan salat, syafaat, perkabungan dan doa, dan setiap aksi memiliki konsekuensi-konsekuensinya.
Tunjukanlah ketaatan mutlak yang ditandai dengan tidak adanya pembatahan, pada peristiwa ini tida sesuatu pun dan tidak seorangpun dapat digantikan, tidak ada maaf bagi siapa pun. Jangan lupa bahwa di atas gunung-gunung ini tidak seorang pun berkuasa. Bahkan kalau Ibrahim as atau Muhammad saw membidik dengan jumlah ‘peluru’ kurang dari yang dianjurkan maka hajinya tidak akan diterima. Apa artinya bagimu? Jika engkau membuat kesalahan, engkau akan dihukum. Tidak ada tempat untuk ‘rasionalisasi’ atau pun suap-menyuap dalam situasi ini.
Pada hari pertama, engkau menyerang sekali dan jumlah peluru yang ditembakkan setiap kali adalah 7 butir. Total 49 ‘peluru’ ditembakkan selama hari-hari ini. Pada hari keempat, engkan bebas mau pergi atau diam di Mina. Jika engkau tinggal, engkau harus bertempur dan melakukan serangan seperti hari kedua atau ketiga. Dalam hal ini, engkau harus memiliki ‘pelum’ paling sedikit 70 butir. Karena Mina adalah front pertempuran maka hendaknya jangan ada yang beristirahat di sana. Jika engkau tinggal konsekuensinya engkau harus bertempur.
Usai mengumpulkan senjata, suasana militer pun mendadak berubah menjadi suasana spiritual. Tidak ada diskusi tentang senjata, pertempuran, disiplin dan ketaatan mutlak. Malahan yang ada adalah percakapan tentang perdamaian, cinta dan kenaikan roh ke langit. Auman singa-singa yang gelisah beralih menjadi rintihan kesakitan. ‘Suara desingan peluru’ digantikan oleh keheningan sehingga engkau pun dapat mendengar suara orang berbisik, menaiki langit dan berbicara dengan Allah di tengah malam.
Sungguh pemandangan yang elok! Malam Masy’ar menjadi saksi pertama akan teriakan dan kegelisahan pasukan yang menakutkan yang merencanakan sebuah konspirasi besar untuk menghadapi hari berikutnya. Lantas apa? Nampaklah laut yang bersih dan tak berombak disinari cahaya rembulan dan taburan bintang yang membayangkan surga di atas bumi. Inilah negeri para malaikat keindahan dan kasih sayang. Semua orang merasa sangat keheranan dan membisu, seakan ada seekor burung yang hinggap di pundaknya. Bahkan engkau dapat mendengarkan suara ‘tetes air mata’ dari mereka yang menangis pilu. Tidak ada suara yang berani memecah keheningan Masy’ar kecuali degup jantung para pe,cinta.
Masy’ar adalah daerah perkemahan pasukan dunia di mana setiap prajurit adalah juga komandan. Mereka tidak hanya minum, menikmati hiburan, dan menikmati persiapan untuk menghadapi pertempuran hari berikutnya, tapi juga telah lebih dulu merayakan perang yang dimenangkan pada saat malam Ied. Semua orang terpikat dengan cinta, kerendahan hati dan keheningan. Mereka menghadapi masa depan dan merasakan keresahan serta kegairahan untuk terjun ke front keabadian, memuaskan dahaga mereka dengan siraman ilham, menyucikan diri melalui ibadat dan memperkuat spirit dengan doa. Untuk apa semua ini? Agar dalam pertempuran esok hari (sebagaiman Ya’kub resah sampai mati ketika ia terpisah dari Yusuf) mereka bisa memperoleh kehormatan sebagai sahabat dari tangan Sang Komandan Besar yakni Allah.
Sungguh aneh! sambil menunggu hari perjuangan yang scmakin dekat, para prajurit di Masy’ar mengisi tangan mereka dengan senjata dan menyibukkan bibir mereka dengan doa-doa. Angin pagi yang bertiup sepoi-sepoi telah memulai suatu gerakan misterius di dalam kemah ketika suara azan yang harmonis terdengar dari setiap penjuru dan dengan bebas menebarkan gemanya ke mana-mana. Seakan-akan gema itu mencapai cakrawala yang jauh. Ratusan ribu sosok sedang membungkuk dan bersujud dalam ambiguitas sang fajar. Alunan suara azan merambah negeri tauhid ini dengan begitu syahdunya sampai-sampai tidak ada yang dapat mengusik keagungannya. Saat salat Subuh telah tiba. Salat Subuh ini tidak berbeda dengan yang selalu engkau lakukan di tempat lain, namun kali ini yang berbeda adalah suasananya. Keheningan telah menyelimuti Masy’ar seakan-akan semua orang tertidur lelap. Sang malam telah berlalu melewati gunung-gunung, melewati mereka yang tidur di Masy’ar dan lenyap di celah-celah Mina. Dan sekarang sang mentari sedang terbit.
Ali Syariati