Berita
#MaknaHaji: Hari Id dan Pelajaran yang Lebih Penting
Segala aktivitas telah usai dan ritus-ritus haji pun akan segera berakhir.
Di mana berakhirnya?
Di Mina.
Sungguh mengejutkan, prosesi haji ternyata tidak berakhir di Makkah. Mengapa haji berakhir di sini, bukannya di Makkah dan dekat Ka’bah? Engkau harus memahami berbagai misteri haji ini. Engkau harus benar-benar menyadari apa yang sedang engkau lakukan di tengah khalayak ramai ini. Engkau harus bisa berpikir di sini, bukan di sudut rumah pribadimu atau di saat mimpi siangmu. Ibadah haji adalah suatu totalitas yang mendorong kebersamaan. Di sinilah tempat untuk berjumpa dengan Allah SWT, Ibrahim as, Muhammad saw, dan dengan manusia.
Sebuah pertemuan yang heterogen diadakan oleh manusia dan berbagai macam ras, kebangsaan, bahasa, dan sistem. Namun, kelompok manusia ini homogen dalam budaya, keyakinan, tujuan, dan cinta. Tidak ada orang-orang pilihan, golongan eksekutif atau golongan istimewa. Mereka berasal dari segala macam latar belakang etnis dengann tingkat-tingkat sosial-ekonomi yang berbeda.
Memenuhi syarat untuk menunaikan ibadah haji berarti mampu untuk pergi dan melakukan ritus-ritus haji yang telah kita bahas sejauh ini; memenuhi syarat ini tidak berarti harus kaya (seperti yang disalahmengertikan). Haji bukanlah pajak atas kekayaan, melainkan suatu kewajiban persis sebagaimana salat. Memenuhi syarat untuk menunaikan ibadah haji berarti mampu dan cukup bijak untuk memahami apa yang sedang engkau lakukan persis seperti kewajiban lainnya. Dengan berbagai persoalan khusus yang sama-sama dihadapi, para delegasi sejati dari berbagai bangsa berkumpul di sini.
Pelajaran yang lebih penting
Peristiwa Imam Husain meninggalkan Makkah menuju Karbala dan terbunuh di sana sebelum menyelesaikan ibadah hajinya, merupakan pelajaran yang lebih penting dibandingkan syahadatnya.
Ibadah Haji adalah suatu kewajiban yang diperjuangkan oleh para leluhurnya. Darah pun tertumpah untuk menghidupkan tradisi ini. Imam Husain as tidak menuntaskan ritus-ritus haji dan memutuskan untuk meninggalkan Makkah dan menjadi seorang Syahid.
Ia tidak menyelesaikan ibadah hajinya untuk memberi pelajaran kepada para pelaku haji, yang salat dan meyakini tradisi Ibrahim as, bahwa jika tidak ada imamah (kepemimpinan) dan tidak ada pemimpin yang sejati, jika tidak ada tujuan, jika “Husain” tidak ada di sana sementara “Yazid” ada di sana, maka melakukan tawaf mengelilingi rumah Allah adalah sama dengan melakukan tawaf mengelilingi rumah berhala. Orang-orang yang melanjutkan tawafnya sementara Imam Husain as. pergi ke Karbala tidaklah lebih baik dari mereka yang bertawaf mengelilingi istana hijau Muawiyah.
Apakah bedanya haji, sebagai sunah Ibrahim as sang pembasmi berhala, dilakukan di rumah Tuhan atau di ‘rumah manusia’? Apa yang terjadi pada haji tahun ini? Pusaran arus manusia yang sedang sibuk bertawaf. Wajah mereka menunjukkan penuh kekhusyukan dan hati mereka pun terbakar api cinta. Semua orang sedang memenuhi undangan Allah. Kecintaan terhadap agama, keagungan Islam, rasa takut kepada Tuhan dan azab hari kiamat serta hasrat untuk beribadah menjadi pendorong umat yang terpilih untuk bertawaf mengelilingi Ka’bah.
Di antara wajah-wajah itu tampaklah para sahabat Nabi saw, beberar Muslim awal, para pahlawan perang jihad, para penakluk negeri-negeri kafir, mereka yang menghancurkan rumah berhala di muka bumi, mereka yang hidup dalam bimbingan Alquran dan mengikuti sunah Nabi saw, serta para pemimpin spiritual. Semuanya meninggalkan segala urusan dunawi mereka. Dengan penuh kecintaan kepada Allah SWT mereka menyaksikan surga yang menari-nari di depan mata mereka, para bidadari yang terpesona dengan wajah-wajah mereka yang saleh dan para malaikat yang memanggil-manggil mereka dari langit. Sementara Jibril as menghamparkan sayap-sayapnya di bawah kaki mereka, mereka khusyuk melakukan tawaf.
Siapakah orang yang dengan sebegitu bulat tekadnya dan bergejolak amarahnya meninggalkan arus tawaf kaum Muslim yang begitu padat dan meninggalkan kota yang suci, aman dan penuh cinta ini? Sesudah semua kaum muslim menghadap ke arah Ka’bah, hendak kemanakah dia? Mengapa ia tidak berbalik untuk menyaksikan lingkaran arus manusia yang sedang bertawaf mengelilingi rumah Ibrahim as untuk menghadapi tantangan Namrud dan berlari-lari di antara Shafa dan Marwa yang menunjukkan kesia-siaan usaha yang telah mereka lakukan. Dari Arafah, yang merupakan tempat permulaan sejarah atau fase pertama dari kunjungan Adam as dan Hawa di bumi, mereka dibawa ke Masy’ar dalam kegelapan. Di negeri kesadaran ini, di mana tidak ada lagi hamba-hamba kebodohan, mereka disuruh tidur sepanjang malam dan menjelang fajar mereka bergerak laksana sekawanan hewan menuju negeri Mina. Ketiga kejahatan Trinitas berada di sana. Seakan bercanda dengan lbrahim as dan memperdayai Allah SWT, mereka melempar beberapa butir kerikil ke wajah-wajah tiga tuhan palsu yang telah mereka sembah sepanjang hidup mereka. Mereka membunuh domba sebagai simbol dari nasib mereka yang malang.
Mereka bagaikan hewan dan tiga tuhan palsu yang memanfaatkan daging, kulit, susu, dan bulunya memperoleh kekuasaan dan menghiasi meja mereka. Orang-orang miskin ini selalu dikorbankan atas permintaan tuhan-tuhan palsu ini. Darah mereka mengalir dan ditampung di dalam kendi-kendi istana hijau, Masjid Dzirar, dan persemakmuran Karun. Akhirnya, untuk menunjukkan kepatuhan mereka kepada tuhan-tuhan ini mereka harus mencukur kepala mereka. Para penindas telah memperalat kebodohan untuk mencapai tujuannya. Mereka adalah kaum konservatif yang tangannya berlumuran darah fakta-fakta. Jika manusia-manusia ini tidak ada pada setiap generasi dan zaman maka ada alasan untuk syahid. Kejahatan menyembunyikan diri di balik topeng-topeng kesucian dan kesalehan. Itulah para pelaku ibadah haji yang dibisiki oleh berhala-berhala dan mengorbankan Ismail di hadapan Namrud dengan tangan mereka sendiri.
Kemudian mereka merayakan hari ‘pengorbanan manusia’ atau ‘pengorbanan Ismail di zamannya, mereka membalikkan badan ke arah Ka’bah dan menghadap kiblat kehidupan. Mereka yang menyedihkan, seraya berkata kepada diri mereka sendiri: “persetan dengan dunia ini, mari kita bekerja untuk mendapatkan surga akhirat.” Karena merasa gembira dengan nikmatnya kehidupan setelah mati, mereka tertidur lelap di atas debu hangat dari lantai dapur dan menikmati sisa-sisa santapan di atas meja sang perampok yang menjadi tuannya.
Ali Syari’ati