Berita
#MaknaHaji: Dialog antara Bapak dan Anak
Di Mina, di sebuah sudut yang sepi, Ibrahim berbicara kepada anaknya. Sang ayah yang rambut dan janggutnya sudah memutih sudah menjalani hidupnya selama seabad, sementara Ismail baru saja tumbuh dewasa. Langit semenanjung Arabia, oh tidak, langit dunia pun tidak sanggup menyaksikan pemandangan seperti itu antara bapak dan anaknya tercinta. Sebelumnya tak pernah sejarah mencatat suatu dialog seperti itu antara seorang bapak dengan seorang anak. Tak seorang pun pernah memikirkan percakapan yang sangat bersahabat namun menakutkan ini. Pada awalnya Ibrahim tidak sanggup membuka mulutnya untuk menyampaikan perintah Tuhan kepada anaknya.
“Anakku! aku berada di sini untuk mengorbankanmu dengan tanganku sendiri.” Namun akhirnya ia memasrahkan dirinya kepada Allah lalu berkata, “Ismail anakku, aku telah bermimpi dan dalam mimpi itu aku menyembelihmu”!. Ia mengucapkan kata-kata ini dengan begitu cepat sehingga ia sendiri tidak dapat mendengarnya. Kemudian ia membisu lagi. Dengan perasaan takut dan wajah memucat, ia tidak kuasa menatap mati Ismail. Ismail menyadari apa yang sedang berkecamuk dalam hati bapaknya dan ia mencoba menenangkannya dengan berkata, “Bapakku, patuhilah dan jangan ragu-ragu untuk memenuhi perintah Tuhan Yang Mahakuasa. Engkau juga akan mendapati diriku sebagai orang yang patuh dan dengan pertolongan Allah aku dapat menanggungnya”.
Ibrahim secara total berserah diri kepada Allah dan semakin takut. la mengambil keputusan, lalu berdiri mengambil pisau dan mengasahnya dengan sebilah batu hingga tajam. Sanggupkah ia melakukan ini kepada sang anak yang begitu dicintainya? Ismail, sang pemberani yang menerima kehendak Allah, tampak begitu santai dan tenang seolah-olah tidak terjadi apa-apa.
Ibrahim, sang pecinta Allah yang sejati, terlebih dulu menghancurkan perasaan suka mementingkan diri sendirinya dan menyandarkan diri hanya kepada Allah semata. Kemudian ia membawa korban yang masih muda itu ke tempat pengorbanan, menyuruhnya berbaring di atas tanah, memegang kakinya, menggenggam rambutnya dan mendongakkan kepalanya ke belakang agar dapat melihat urat lehernya. Dengan menyebut nama Allah ia menempelkan pisau ke leher Ismail dan berusaha memotongnya secepat mungkin. Orang tua itu berusaha menyelesaikannya dalam seketika. Tapi, oh pisaunya! pisau itu tidak sanggup melukainya! “pisau itu menyakitiku, aku merasa tersiksa”, berang Ismail. Dengan marah Ibrahim melemparkan pisau itu sambil meraung bagaikan seekor harimau luka. Dengan penuh rasa takut ia bertanya, “Apakah aku bukan bapaknya?” Cepat-cepat ia mengambil pisau itu dan mencoba lagi. Ismail tetap bersikap tenang dan bahkan tidak bergeming sedikit pun.
Sebelum Ibrahim menyentuhnya lagi, tiba-tiba seekor domba datang membawa pesan, “Wahai Ibrahim, Tuhan tidak menghendaki engkau mengorbankan Ismail. Domba ini dikirimkan kepadamu sebagai tebusannya. Engkau harus melaksanakan perintah ini! Tuhan Mahabesar!”
Tuhan Yang Mahakuasa memberikan pelajaran kepada kita bahwa mulai dari saat ini dan seterusnya tidak boleh ada lagi korban manusia demi Tuhan. Dalam agama Ibrahim yang dikorbankan adalah domba, bukan manusia. Pelajaran luhur lainnya adalah bahwa Tuhan yang disembah Ibrahim, berbeda dengan tuhan-tuhan (berhala) lainnya, bukan Tuhan yang haus darah; Tuhan-tuhan lain itu merasakan lapar dan ingin makan daging. Pelajaran yang paling bermakna adalah bahwa Tuhan tidak ingin Ismail dikorbankan, tapi ingin Ibrahim mengorbankan Ismail dan Ibrahim melaksanakannya dengan berani. Ismail diberi kehormatan dengan terpilih sebagai korban dan ia tetap bersabar. Namun kemudian, ternyata tidak perlu membunuhnya. Tuhan Yang Mahakuasa tidak membutuhkan apa-apa, tapi kitalah sebagai manusia yang mempunyai berbagai macam kebutuhan.
Inilah kehendak Tuhan Yang Mahakuasa, yang paling pengasih dan penyayang kepada manusia. Tuhan telah memuliakan dan mengangkat Ibrahim sampai pada taraf kesiapan untuk mengorbankan Ismail yang ternyata tidak benar-benar membunuhnya. Tuhan juga memuliakan Ismail dengan menjadi korban-Nya, namun ternyata ia sama sekali tidak terluka.
Ini adalah agama Ibrahim (Islam) dan bukan kisah tentang tuhan-tuhan yang haus darah, tentang kaum masokhis (kaum yang suka melalaikan kekerasan guna mendapatkan kepuasan seksual) ataupun tentang kaum yang suka menyiksa manusia. Ini adalah kisah tentang kesempurnaan manusia dan keterbebasannya dari sifat suka mementingkan diri sendiri dan hasrat-hasrat hewani. Ini adalah kenaikan manusia menuju spirit dan cinta yang luhur, menuju suatu kehendak yang kuat yang melepaskannya dari segala sesuatu yang menghalangi penunaian kewajibannya sebagai manusia yang sadar. Kenaikan yang menjadikannya siap untuk mengorbankan dirinya sendiri seperti Ismail, untuk menjadi seorang martir dan akhirnyam -sesuatu yang tidak terdapat dalam kamus- “menjadi seperti Ibrahim”. Kisah berakhir dengan korban seekor domba. Inilah yang dikehendaki oleh Tuhan Yang Mahakuasa di babak akhir dari tragedi manusia yang paling besar. Mengorbankan seekor domba untuk memberi makan segelintir orang yang lapar.
Sebagaimana Ibrahim, engkau harus memilih dan membawa Ismailmu ke Mina. Siapakah Ismailmu itu? yang harus tahu adalah engkau, tidak perlu orang lain tahu. Mungkin saja Ismailmu itu adalah istrimu, pekerjaanmu, bakatmu, nafsu seksmu, kekuasaanmu, pangkatmu, jabatanmu dan sebagainya. Aku tidak tahu yang mana, tapi pastilah hal-hal yang sangat engkau cintai sebagaimana Ismail yang sangat dicintai Ibrahim. Beberapa tanda dari Ismailmu adalah hal-hal yang merampas kebebasanmu dan mencegahmu dari melaksanakan kewajiban, setiap kesenangan yang membuat engkau terlena, setiap sesuatu yang menyebabkanmu tidak mendengar dan mengetahui kebenaran, setiap sesuatu yang membuatmu mencari-cari sesuatu untuk menolak tanggung jawab, dan setiap orang yang membantumu karena mengharapkan balasan darimu di masa akan datang. Engkau harus mencari dan menemukannya dalam kehidupanmu. Jika engkau akan menghampiri Allah Yang Mahakuasa, engkau harus mengorbankan Ismailmu di Mina.
Jangan engkau sendiri yang memilih tebusan, biarkanlah Allah SWT yang menentukan dan memberikannya kepadamu sebagai hadiah. Beginilah caranya Dia menerima domba sebagai korban darimu. Mempersembahkan seekor domba sebagai ganti Ismail adalah sebuah “pengorbanan”, tapi mengorbankan seekor domba hanya demi pengorbanan semata adalah “pembunuhan yang kejam”.
Ali Syariati