Akidah
Kemaksuman dan Ilmu Imam [bag 1]
Kemaksuman Seorang Imam
Setelah dapat dibuktikan bahwa sebenarnya masalah imamah terfokus pada pengangkatan Ilahi yang telah Allah anugerahkan kepada Ali bin Abi Thalib as dan sebelas keturunannya, kita pun dapat menetapkan kemaksuman mereka melalui ayat ini, Sesungguhnya janji Kami tidak akan meliputi orang-orang yang zalim (QS. al-Baqarah: 142).
Ayat ini secara tegas menafikan kedudukan anugerah Ilahi (imamah) itu bagi orang-orang yang telah tersentuh noda maksiat dan dosa, sekecil apa pun dosa itu.
Baca pembahasan sebelumnya: Penunjukan Imam oleh Rasulullah Saw [bag 2]
Selain ayat ini, kita pun dapat menetapkan kemaksuman mereka dengan ayat “Ulil Amri” di yang pelajaran sebelumnya. Di dalam ayat itu, Allah Swt mewajibkan ketaatan kaum muslim kepada mereka secara mutlak dan menggandengkannya dengan ketaatan kepada Rasul-Nya. Artinya, ketaatan kepada mereka itu tidak akan bertentangan dengan ketaatan kepada Allah Swt. Jadi, dapat ditarik sebuah kesimpulan, bahwa perintah menaati mereka secara mutlak berarti Allah Swt telah menjamin kemaksuman mereka, dan mereka itu adalah orang-orang yang sungguh memiliki kemaksuman.
Ayat lain yang dapat dijadikan sebagai argumen atas kemaksuman para Imam Ahlulbait as adalah ayat Tathir, Sesungguhnya, Allah berkehendak menghilangkan kenistaan dari kalian, wahai Ahlulbait Nabi dan menyucikan kalian dengan sesuci-sucinya (QS. al-Ahzab: 33).
Penjelasannya, kehendak Allah dalam ayat ini bukan berupa iradah tasyri’iyah (kehendak tinta Ilahi), karena iradah tasyri’iyah ihwal menyucikan hamba-hamba-Nya bersifat dan berlaku secara umum, artinya tidak khusus hanya kepada orang-orang tertentu saja. Sedangkan kehendak Allah dalam ayat ini khusus untuk Ahlulbait Nabi saw. Dengan demikian, kehendak Allah dalam ayat ini tidak lain adalah iradah takwiniyah (kehendak cipta Ilahi) yang tidak mungkin akan mengalami perubahan, sebagaimana firman-Nya, Sesunggunya “amr” Allah apabila Dia menghendaki sesuatu, Dia berkata, “jadilah ” maka terjadilah (QS. Yasin: 82).
Penyucian secara mutlak dan pembersihan segala bentuk kotoran, kenistaan dan keburukan adalah kemaksuman. Kita telah mengetahui, bahwa tidak ada satu pun dari mazhab-mazhab Islam yang mengklaim adanya kemaksuman bagi seorang pun yang silsilah keturunannya bersambung kepada Nabi saw selain mazhab Syiah Imamiyah. Penganut Syiah meyakini bahwa Sayidah Fatimah Zahra as, putri Rasul saw dan 12 Imam dari keturunannya menyandang sifat maksum.
Perlu kami tekankan di sini, bahwa terdapat lebih dari 70 hadis yang kebanyakan diriwayatkan oleh ulama Ahlusunnah, yang menunjukkan bahwa “Ayat Tathir” tersebut diturunkan kepada lima manusia agung, yaitu Rasulullah saw, Imam Ali as, Fathimah as, Hasan as dan Husain as.
Syekh Shaduq menukil sebuah riwayat dari Amirul Mukminin Ali as:
Rasulullah saw bersabda, “Wahai Ali! Sesungguhnya ayat tathir ini diturunkan untukmu dan kepada kedua putramu dan para Imam dari putra-putramu.”
Aku berkata, Wahai Rasulullah, Berapa orangkah jumlah imam setelahmu?
Rasul saw menjawab, Para Imam itu adalah engkau sendiri, wahai Ali, kemudian setelah itu kedua putramu Hasan dan Husain. Setelah Husain adalah putranya Ali. Setelah Ali adalah putranya Muhammad. Setelah Muhammad adalah putranya Jafar. Setelah Jafar adalah putranya Musa. Setelah Musa adalah putranya Ali. Setelah Ali adalah putranya Muhammad. Setelah Muhammad adalah putranya Ali. Setelah Ali adalah putranya Hasan. Setelah Hasan adalah putranya al-Hujjah. Demikianlah aku dapatkan nama-nama mereka tertulis di kaki Arsy. Ketika itu aku bertanya kepada Allah tentang nama-nama tersebut. Allah berfirman, “Wahai Muhammad! Mereka adalah para Imam setelahmu, mereka itu suci dan terjaga dari segala dosa, kesalahan dan kealpaan. Sedang musuh-musuh mereka adalah orang-orang yang terkutuk.”
Demikian pula hadis “Tsaqalaain” (Dua Pusaka Berharga). Dalam hadis ini, Rasul saw menggandengkan Ahlulbaitnya dengan Alquran. Beliau sangat menekankan, bahwa keduanya itu tidak akan berpisah selama-lamanya. Hadis ini merupakan argumen yang jelas atas kemaksuman mereka. Karena apabila mereka melakukan maksiat, walau sekecil apa pun dan sekalipun karena kelupaan, berarti mereka itu secara praktis telah berpisah dari Alquran.
Dengan kata lain, tidak terpisahnya mereka sekejap mata pun dari Alquran menunjukkan bahwa segala perkataan, perbuatan, tingkah laku dan apa saja yang keluar dari mereka itu sejalan dengan Alquran, sesuai dengan kehendak Allah Swt, dan berarti mereka tidak pernah berbuat dosa dan alpa. Inilah yang dimaksud dari kemaksuman mereka.
Ilmu Imam
Tidak diragukan lagi bahwa Ahlulbait as telah menimba ilmu dari Nabi saw jauh lebih luas dan mendalam dibandingkan para sahabat mana pun dan siapa pun. Sebagaimana Nabi saw telah bersabda, janganlah kalian mengajari mereka, karena mereka itu jauh lebih pandai daripada kalian.”
Terutama Amirul Mukminin Ali bin Abi Thalib as, yang tumbuh dan besar dalam asuhan Rasul saw sejak masa kecilnya dan senantiasa menyertai beliau sampai akhir hayatnya.
Ali as adalah orang yang paling dekat dengan Nabi saw dan senantiasa menimba berbagai ilmu dari beliau, hingga dia menyandang gelar “Bab ilmu al-Nabi” (gerbang ilmu Nabi). Sehubungan dengan itu, Rasul saw bersabda, “Aku adalah kota ilmu dan Ali adalah pintunya.” [Rujuk ke Mustadrak al-Hakim, jil 3, hal 226]
Hadis ini telah diakui kesahihannya, baik oleh ulama Ahlusunnah maupun Syi’ah. Bahkan seorang ulama Ahlusunnah telah menulis sebuah buku yang berjudul “Fath al-Malik al-‘Aliy bi Sihhati Hadits Madinah al Ilmi ‘Aliy. Buku tersebut ditulis pada tahun 1354 H dan dicetak di Mesir.
Dalam sebuah riwayat, Amirul Mukminin Ali bin Abi Thalib as berkata, “Sesungguhnya, Rasulullah telah mengajariku seribu pintu ilmu, dan setiap pintu dari ilmu tersebut terbuka bagiku seribu pintu ilmu lainnya, maka aku memiliki sejuta pintu ilmu, sehingga aku mengetahui segala apa yang telah terjadi dan segala apa yang akan terjadi sampai Hari Kiamat. Dan aku pun mengetahui ‘ilmu balaya’ (tentang kematian seseorang), “ilmu balaya’ (tentang terjadinya bencana) dan fashlu al-khithab’ (tentang mengadili dan memberikan keputusan). [Rujuk ke Yanabi’ alMawaddah, hal.88; Ushul al-Kafi, jil 1 hal.296]
Meski begitu, ilmu Ahlulbait as tidak terbatas hanya pada apa yang mereka dengar dari Rasulullah saw, baik secara langsung atau pun melalui perantara. Mereka juga memiliki potensi untuk mendapatkan ilmu dari Allah Swt dengan cara-cara lainnya, bukan hanya dengan cara-cara yang biasa dan wajar. Cara lain itu adalah ilham atau tahdits, [Ushul al-Kafi, kitab al-Hajj, hal.264, hadis ke-270] sebagaimana ilham yang diterima oleh Khidir as dan Dzul Qarnain as, [Lihat QS. al-Kahfi: 65-98. Ushul al-Kafi,jil 1, hal. 268] juga Sayidah Maryam as dan Ibunda Nabi Musa as. [Lihat QS. Ali Imran: 42. Maryam: 17-21. Thaha; 38; al-Qashash: 7] Bahkan terkadang Alquran menggunakan istilah wahyu untuk sebagian ilham tersebut, tetapi maksudnya tentu bukanlah wahyu kenabian.
Dengan cara inilah sebagian para Imam as telah mencapai kedudukan imamah sejak masa kecil. Oleh karena itu, mereka dapat mengetahui berbagai masalah, tanpa proses belajar dan bimbingan dari orang lain. Kenyataan ini dapat kita temukan dan kita buktikan di dalam riwayat-riwayat yang tidak sedikit jumlahnya, yang datang dari para Imam suci as itu sendiri. Dengan mengkaji riwayat-riwayat tersebut, akan dapat dibuktikan kemaksuman mereka.
Sebelum menunjukkan riwayat-riwayat tersebut, kami akan memberikan isyarat dari ayat-ayat Alquran yang menjelaskan seseorang atau beberapa orang yang memiliki ilmu kitab. Allah Swt berfirman, Katakanlah, wahai Muhammad, “Cukuplah hanya Allah dan seseorang yang memiliki “ilmu kitab” sebagai saksi antara aku dan antara kalian.”
Pertama, ayat tersebut menjelaskan bahwa Rasul saw berada dalam hak dan kebenaran melalui kesaksian Allah Swt dan seorang imam maksum, yaitu Ali bin Abi Thalib as.
Kedua, menjelaskan bahwa kesaksian seseorang yang digandengkan dengan kesaksian Allah Swt, ditambah pula dengan ilmu kitab yang dimilikinya, tidak diragukan lagi bahwa orang tersebut (Ali as) telah mencapai derajat tinggi di sisi Allah Swt.
Dalam ayat lainnya, telah disinggung pula bahwa Imam Ali as sebagai saksi yang mengiringi Rasul saw. Allah Swt berfirman, Bukankah dia (Muhammad saw) berada dalam “bayinah” dari sisi Tuhannya dan diiringi oleh seorang “syahid ” (saksi, yaitu Imam Ali as) dari kerabatnya (QS. Hud: 17).
Kata “minhu” (darinya) dalam ayat ini menunjukkan bahwa saksi tersebut adalah berasal dari kalangan keluarga dan Ahlulbait Nabi saw sendiri. Sehubungan dengan ini, telah dinukil riwayat yang jumlahnya tak terbilang, baik melalui jalur Syiah atau pun jalur Ahlusunnah. Riwayat-riwayat tersebut menjelaskan bahwa saksi tersebut tidak lain adalah Ali bin Abi Thalib as.
Dikutip dari buku Ayatullah Taqi Misbah Yazdi, Merancang Piramida Keyakinan