Berita
Iman Mutlak dan Iman Relatif (Bagian 2)
Di sinilah kita perlu menampilkan sejumlah asumsi untuk menghubungkan antara yang mutlak dan yang relatif
Asumsi Pertama: Ajarannya biasa, Rasulnya biasa.
Rasul adalah manusia biasa seperti umumnya manusia yang bisa melakukan kesalahan dan tidak mengetahui banyak hal. Ia adalah produk lingkungannya dengan segala pengaruh dan faktor yang melingkupinya. Berdasarkan asumsi ini, karena agama yang dianutnya tidak bisa dipastikan benar, maka ia layak ditanggalkan. Ini juga bisa dimaklumi bila melihat konteks dasar penerimaannya.
Asumsi ini tidak perlu dibahas lebih lanjut, karena secara tidak langsung telah menyatakan diri sebagai penolak agama dan sistem mediasi atau kerasulan.
Kesimpulan Pertama dari asumsi ini, penyampai wahyu Tuhan dan pengawal agama adalah manusia biasa. Karena biasa (salah dan lupa), maka ajarannya biasa (bisa salah dan lupa). Karena ajarannya biasa, maka ajaran Tuhan yang benar tidak bisa disampaikan. Karena tidak bisa disampaikan kepada manusia, maka tidak ada agama yang bisa diterima.
Kesimpulan Kedua dari asumsi ini, Rasul adalah manusia biasa. Karena wahyu dipahami sebagai informasi yang tunduk pada ruang dan waktu serta variabel-variabel lokal dan temporal, dan karena penerima wahyu diperlakukan sebagaimana lazimnya manusia yang tidak luput dari kesalahan, asumsi ini menentang sakralitas dan mengkampanyekan desakralisasi agama. Tidak hanya itu, asumsi ini berusaha memperkenalkan wacana dekonstruksi teks agama yang dipandang tidak relevan atau kehilangan kontekstualitasnya karena teks agama (narasi suci) saat diwahyukan dipengaruhi oleh faktor-faktor iklim, etnis, karakteristik dan sebagainya.
Karena agama yang dianutnya “biasa”, ia pun merasa perlu menyempurnakan, bongkar pasang dan merevisinya. Asumsi yang sejak semula menganggap pewarta wahyu sebagai manusia biasa yang berbuat salah dan lupa pun, menerima Islam sebagai “agama biasa”.
Pembawa agama dan penyampai wahyu Tuhan itu manusia biasa, yang berbuat salah dan kadang lupa. Karena itu, sebagian ajarannya tidak bisa mutlak diterima dan diterapkan, bahkan perlu dikoreksi dan diganti dengan pandangan-pandangan lain yang dinilai lebih logis dan relevan menurutnya.
Asumsi Kedua: Ajarannya luar biasa, Rasulnya biasa.
Penyampai wahyu Tuhan adalah manusia biasa, yang berbuat salah dan kadang lupa, namun dengan tetap menganggap ajarannya benar dan luar biasa.
Meski menganggap Rasul sebagai manusia “biasa”, asumsi ini meyakini ajaran yang dibawanya sebagai luar biasa (mutlak benar). Tanpa menyadari adanya paradoks dan kontradiksi, penganut asumsi ini malah menganggap apa yang diyakininya adalah representasi seratus persen ajaran Rasul. Penganut asumsi ini bahkan menganggap generasi masyarakat yang hidup di zaman Rasul sebagai generasi terbaik sepanjang sejarah umat manusia. Melalui merekalah, ajaran Rasul dipercaya aman dari segala manipulasi.
Betapapun kenyataan menegaskan tidak semua hukum terjelaskan dalam teks Alquran dan riwayat-riwayat Rasul, karena sejak berakhirnya masa pewahyuan dan pengawalan agama dengan wafatnya Rasul, penganut asumsi yang getol memasang atribut “salafi” ini tetap bersikukuh menganggap semua persoalan manusia baik individual maupun sosial telah dijelaskan hukumnya dalam teks Alquran dan Sunnah.(1)
Kontradikisi demikian memang tidak menjadi beban psikologis dan tidak membuat penganut asumsi ini risih secara intelektual. Mengapa? Sejak semula, tampaknya penganut asumsi ini, terutama para pemukanya, menyadari akan adanya “celah” invaliditas asumsi ini. Karenanya, kelompok ini mengantisipasinya dengan menutup rapat celah kritisisme dengan mengharamkan logika dan meniru penegasan para pemuka Kristen yang menganggap iman sebagai kontra akal dan logika.
Akibat dari pilihan asumsi ini, pandangan, sikap dan cara menghadapi tema-tema mutakhir, teristimewa fenomena modernitas, sikap mereka benar-benar menggelikan sekaligus menyeramkan. Karena kecanduan “visualisasi”, mereka menyatakan perang terhadap segala sesuatu yang bersifat esoterik, mistik, abstrak dan, tentu saja semua yang beraroma tasawuf. Siapa pun yang menyimpan apresiasi terhadap tasawuf, apalagi menjadi member ordo atau tarekat akan dibungkus oleh kelompok “kacamata kuda” ini dalam karung “sesat” dan “bidah”.
Karena hampir selain mereka, dianggap terinfeksi virus bidah, sesat dan syirik, harga darah kelompok lain di mata kelompok ini tidak terlalu mahal. Kelompok ini dengan bekal agama “biasa” melakukan segala aksi pemusnahan, pembunuhan dan paling ramah, penyesatan, hanya dengan satu alasan amar makruf dan nahi munkar, yang lagi-lagi ditafsirkan secara “biasa”. Karenanya, pengafiran sesama muslim pun menjadi kebiasaan. Ini semua karena “biasa”.
Asumsi Ketiga: Ajarannya biasa, Rasulnya luar biasa.
Asumsi ini tidak berkaitan sama sekali dengan sistem mediasi Tuhan, namun karena menjadikan keyakinan kepada person Rasul sebagai salah satu fundamen iman, yang disebut rukun iman, maka mereka tetap meyakini keluarbiasaan Rasul sebagai person. Penganut asumsi ini tidak menolak teks-teks riwayat yang bertentangan dengan prinsip mediasi atau Nubuwwah. Akibatnya, penghormatan dan pemujaan serta kecintaan penganut asumsi ini kepada Rasul bersifat personal, bukan sistemik. Namun demikian, dibanding dengan penganut asumsi pertama dan kedua, penganut asumsi ini bisa dianggap yang terbaik. Penganut asumsi ini bahkan melestarikan penghormatan kepada figur Rasul dalam tradisi-tradisi yang sangat menyejukkan.
Asumsi Keempat: Ajarannya luar biasa, Rasulnya luar biasa.
Pembawa dan penyampai wahyu bukanlah manusia biasa, tetapi manusia luar biasa karena manusia yang menerima wahyu berbeda dengan manusia yang tidak menerima wahyu. Apabila penerima wahyu adalah manusia luar biasa, maka:
- Ajaran Tuhan yang diterimanya luar biasa.
- Ajaran yang disampaikannya mesti diterima dan diterapkan karena disampaikan oleh manusia yang tidak salah dan tidak lupa (luar biasa).(2)
Meskipun manusia biasa tidak akan mampu mencapai tingkat keluarbiasaan, namun kita dituntut untuk meneladani Rasul dan semaksimal mungkin menghindari diri dari perbuatan-perbuatan nista. Dari sinilah muncul instilah Insan Kamil dalam dunia tasawuf untuk menunjukkan capaian tertinggi spiritual manusia. Asumsi keempat inilah yang dijadikan pegangan di kalangan muslim Syiah.
Kesucian
Keselamatan spiritual adalah konsekuensi niscaya keimanan. Keimanan yang prima dapat dikategorikan sebagai pengetahuan hakiki, yang dalam epistemologi Islam disebut “pengetahuan hu-dhuri” dan dalam tradisi Islam disebut wahyu. Untuk menggapai keselamatan spiritual bagi manusia, Allah telah menciptakan dalam jiwa penghalang sangat tangguh yang dapat menghindarkannya dari keterlibatan dalam perbuatan-perbuatan buruk dan berbahaya. Contohnya banyak sekali, sebut saja pengetahuan kita akan kabel listrik yang menyala bila disentuh tanpa pengaman oleh siapa pun akan menimbulkan, paling sedikit getaran. Dalam surah Al-Takâtsur, ayat 5-6, Allah melukiskan pengetahuan tajam sejumlah orang, Seandainya kalian mengetahui dengan pengetahuan yakin, niscaya kalian akan melihat neraka. (3) Tujuan fundamental dari pengutusan para Rasul adalah memandu umat manusia untuk mengenal realitas dan tugasugas yang ditentukan oleh Allah Swt. Seandainya para duta Allah itu ajaran Tuhan, bahkan melanggarnya, maka ucapannya tidak akan -tidak konsekuen pada ajarandidengar oleh orang lain. Sebagai konsekuensinya, tujuan di balik penciptaan manusia tidak akan pernah tercapai .
Karena itulah, Kemahabijaksanaan dan Kemahalembutan Allah Swt meniscayakan bahwa para Rasul suci (terpelihara) dari dosa, bahkan tidak melakukan sesuatu yang tidak baik karena lalai atau lupa, agar masyarakat juga tidak menjadikan lalai dan lupa sebagai alasan untuk menjustifikasi perbuatan dosa dan maksiat.Iman universal tentang Tuhan yang Mutlak dan koneksitas Mutlak dan Relatif (Kerasulan) adalah dua prinsip iman universal yang menjadi titik temu para pengiman keesaan Tuhan dan prinsip kerasulan. Karena para Rasul diwajibkan (diberi tugas) menyampaikan isi wahyu dan risalah kepada umat manusia, serta memandu mereka untuk menempuh jalan yang lurus, dan bertugas untuk membersih-kan jiwa masyarakat, mendidik, dan membenahi mereka, serta meng-antarkan mereka melewati tahap-tahap kesempurnaan maksimal, maka tentu para Rasul terlebih dahulu telah mencapai tingkat tertinggi dari kesempurnaan dan jiwa mereka telah tercerahkan. Itulah kesucian profetik.(4)
Penjelasan Sistematika Asumsi Keempat
Keyakinan akan adanya agama sebagai aturan Tuhan, meniscayakan keyakinan akan adanya kewenangan Tuhan yang dimandatkan kepada orang-orang terpilih untuk membawa dan memberlakukan agama Tuhan tersebut. Prinsip otoritas diyakini sebagai konsep tentang mekanisme hubungan baik antara seorang mukmin, Allah dan pemegang otoritas ilahi, maupun antara seorang mukmin dan masyarakat.
Asumsi keempat membagi kesucian (keluarbiasaan) dalam tiga dimensi sebagai berikut:
Pertama: Kesucian saat berdakwah. Hampir semua teolog meyakini kesucian Rasul saat menyampaikan risalah. Kesucian dalam konteks ini berdimensi dua; kesucian dari dusta, dan kesucian dari kesalahan karena lupa saat menerima wahyu. Seandainya ia dimungkinkan keliru saat menerima wahyu, maka gagallah proyek Risalah. (5)
Kedua: Kesucian saat melaksanakan syariah dan keseharian. (6)
Kesucian ini mutlak disandang oleh pembawa risalah Ilahi. Hukum probabilitas menyatakan bahwa jika seseorang lupa di suatu saat, maka akan selalu ada kemungkinan lupa di saat lain. Ketika seorang Rasul melaksanakan salat dan lupa jumlah rakaat salat, maka tentu saja kemungkinan besar beliau dapat mengalami kesalahan dan kekeliruan dalam syariah lain di saat lain.
Ketiga: Kesucian dari sifat-sifat tidak simpatik. Seandainya Rasul menyandang sifat-sifat tidak simpatik, maka ajarannya tidak dapat diterima. Jika tidak diterima, maka tujuan di balik penciptaan manusia tidak tercapai. (7)
Berdasarkan asumsi keempat, wahyu suci dan mutlak meniscayakan keabadian yang mutlak pula. Karena itu, penerima wahyu mutlak adalah suci. Karena wahyu itu suci dan diterima oleh yang suci, maka ia mesti terjaga dalam kesucian. Bila wahyu yang suci itu diserahkan untuk dijaga dan dikawal oleh yang tidak suci, maka ia suci sekaligus tidak suci. Penjelasannya, ia suci karena diterima oleh yang suci dan sekaligus tidak suci karena dikawal oleh yang tidak suci. Ini adalah kontradiksi karena mempertemukan yang suci dan tidak suci pada satu tempat. Konsekuensinya, ketidaksucian di akhir meruntuhkan kesucian dan kemutlakan pada sumber pertama, yaitu pemberi wahyu dan penerimanya.
Konsekuensi kebalikannya, apabila diyakini tidak ada pengawal yang suci, maka runtuhlah semua bangunan kesucian dan musnahlah kemestian menerima agama. Oleh karena itu, pewaris risalah para nabi haruslah suci sebagaimana sucinya para nabi. (Dikutip dari Buku “Syiah Menurut Syiah” Tim Penulis Ahlulbait Indonesia)
Catatan Kaki
- Anehnya penganut asumsi ini meski menolak pandangan apa pun yang tidak ada dalam teks Alquran dan Sunnah, mengekspansi makna sunnah mencakup sunnah tabi’ dan tabi’ tabi’in hingga ulama yang diterimanya yang disebut sebagai salaf.
- Asumsi inilah yang diyakini oleh Syiah.
- Sayyid Muhammad Husein Al-Thabathaba’i, Al-Mîzân fî Tafsîr Al-Qur’ân, juz 11, h. 163, cet. 1, Muassasah Al-A’lami, Beirut, Lebanon, 1997 M (1417 H).
- M. Taqi Misbah Yazdi, Durûs fî Al-’Aqîdah Al-Islâmiyyah, juz 2, h. 240, cet. 8, Dar Al-Rasul Al-Akram, Beirut, Lebanon, 2008 M (1429 H).
- Ja’far Subhani, Muhâdharât fî Al-Ilâhiyyât, h. 411-412, Muassasah Al-Nasyr Al-Islami, Qom.
- Hanya kalangan Imamiyah yang memestikan kesucian demikian. Sedangkan para teolog lainnya membolehkan (memungkinkan) Nabi lalai dalam hal-hal biasa, seperti lupa jumlah rakaat saat sedang salat, atau bahkan tidak melunasi hutang sesuai perjanjian, dan sebagainya. Ja’far Subhani, Muhâdharât fî Al-Ilâhiyyât, juz 2, h. 189-190, Muassasah Al-Nasyr Al-Islami, Qom.
- Ja’far Subhani, Muhâdharât fî Al-Ilâhiyyât, h. 416, Muassasah Al-Nasyr Al-Islami., Qom.