Akhlak
Imam Khomeini: Telaah Hadis Riya (Bag. 1)
Yazid Ibnu Khalifah meriwayatkan dari Imam Shadiq as bahwa Imam berkata, “Riya dalam segala bentuknya adalah syirik. Sesungguhnya orang yang berbuat sesuatu demi manusia balasannya ada pada manusia dan orang yang berbuat demi Allah balasannya ada pada Allah.”
Riya adalah tindakan menambahkan atau menonjolkan amal-amal saleh, sifat-sifat terpuji, atau akidah yang benar demi memperoleh kekaguman dalam hati orang banyak serta dikenal di antara mereka sebagai orang baik, mustaqim (orang yang lurus), jujur, dan taat tanpa niat untuk Allah yang sejati. Hal ini dapat berlangsung dalam beberapa tahap.
Tahap pertama adalah riya dalam keimanan yang terdiri atas dua derajat
Pada derajat pertama, seorang manusia memamerkan akidah yang benar dan mempertontonkan makrifat Ilahi dengan tujuan untuk mengesankan dirinya sebagai orang yang taat di mata manusia dan memperoleh penghargaan dari mereka. Manusia seperti itu ingin memamerkan kepercayaannya kepada Allah dan kekuasaannya dengan berkata bahwa ia tidak mempercayai adanya wujud lain selain Allah. Ia juga mencoba menunjukkan bahwa dirinya adalah mukmin yang teguh dengan menyatakan bahwa ia hanya bergantung pada Allah atau orang itu dengan perbuatan dan ucapannya menampilkan dirinya sebagai pengikut setia agama. Semua ini jenis riya yang paling umum terjadi. Sebagai contoh, ketika sedang ada pembicaraan tentang tawakal dan kerelaan pada qadha Allah, ia mengangguk-anggukkan kepalanya untuk mengesankan kepada orang bahwa ia berada dalam golongan orang-orang seperti itu.
Riya derajat kedua tampak pada orang-orang yang membersihkan dirinya dari pelbagai akidah batil demi memperoleh kedudukan dan penghargaan dari masyarakat. Terkadang mereka menunjukkannya secara eksplisit dan terkadang pula secara tersembunyi dan implisit.
Tahap kedua adalah riya dalam perbuatan yang juga terdiri atas dua derajat; pertama memperlihatkan sikap-sikap baik dan watak-watak luhur; dan kedua membersihkan diri dari sikap-sikap dan watak-watak buruk serta berujar bahwa dirinya telah terbebas dari seluruh sifat buruk itu untuk tujuan-tujuan yang sama dengan di atas
Tahap ketiga adalah riya dalam ibadah yang dianggap para ahli fikih (fuqaha) sebagai riya yang paling jelas, yang juga terdiri dari dua aspek; pertama ditandai penampilan terang-terangan dalam melakukan salat dan perbuatan baik di hadapan orang lain dengan maksud menunjukkan sifat-sifat baik dan kebiasaan-kebiasaan yang patut dipuji, atau dengan menunjukkan dirinya sebagai orang yang benar-benar mengikuti perintah-perintah agama dan sikap-sikap rasional untuk menarik hati masyarakat kepada dirinya. Semua perbuatan yang dilakukan dengan motif menyenangkan orang lain sebagaimana dibahas dalam buku fikih termasuk dalam riya atau pamer; kedua meninggalkan perbuatan haram atau makruh dengan motif riya.
Tahap Pertama Keimanan
Ingatlah, riya dalam akidah itu yang terburuk dari seluruh jenis riya, siksanya paling keras akibat buruknya paling berat, dan kegelapan yang ditimbulkannya juga paling besar. Orang yang melakukan dosa ini, jika tidak benar-benar mempercayai perkara yang ditambahkannya, dianggap sebagai munafik yang akan tinggal selamanya di neraka, tertutup secara abadi dan disiksa dengan hukuman paling keras. Namun, jika ia mempercayainya, namun memamerkannya untuk menarik hati orang dan memperoleh kehormatan, perilaku ini akan meredupkan cahaya keimanannya dan memunculkan kegelapan akut dalam hatinya. Dalam hal ini, ia telah melakukan syirik tersembunyi lantaran makrifat Ilahi dan akidah lurus yang seharusnya hanya ditujukan kepada Allah justru disekutukan dengan selainnya dan menjadikan iblis dapat mengintervensi hati manusia yang semestinya berpusat kepada Allah semata.
Pada ulasan selanjutnya, kita akan menyebutkan bahwa keimanan merupakan tindakan hati, bukan sekadar pengetahuan akal. Dalam hadis di atas dikatakan bahwa setiap bentuk riya adalah musyrik. Namun sifat buruk, perangai gelap, dan watak hina ini pada akhirnya akan menyebabkan hati seseorang menjadi tempat khusus bagi selain Allah dan kegelapan; watak hina ini akan mengantarkan pemiliknya meninggal dunia sebagai orang yang tak beriman kepada Allah.
Keimanan pura-pura yang dimiliki seseorang tidak lebih baik dari bentuk tanpa substansi, tubuh tanpa jiwa, dan kulit tanpa isi, dan ini sama sekali tidak dapat diterima Allah. Realitas ini dikukuhkan oleh seuntai hadis dalam kitab al-Kafi yang diriwayatkan Ali ibn Muslim.
Perawi hadis ini berkata bahwa ia mendengar Imam Shadiq as berkata bahwa Allah Swt berfirman, “Akulah sebaik-baik sekutu, siapa saja yang mempersekutukan-Ku dengan selain-Ku maka perbuatannya tidak akan Aku terima. Aku hanya menerima perbuatan yang tulus ikhlas untuk-Ku.”
Dengan demikian, jelas sudah, jika tindakan hati tidak dilakukan dengan keikhlasan, maka tindakan itu tidak akan diperhatikan Allah dan tak akan diterima-Nya melainkan akan diserahkan pada sekutu selain-Nya–yaitu, orang yang dituju perbuatan-perbuatan riya tersebut. Dengan demikian, perbuatan hati yang dilakukan demi manusia lain dan bukan demi Allah, akan melewati batas syirik dan memasuki wilayah kekafiran atau pembangkangan pada kebenaran. Bahkan dapat dikatakan, orang yang melakukan perbuatan itu akan diperlakukan sebagai munafik.
Sebagaimana tingkat syirik di atas disebut sebagai tersembunyi (khaft), demikian pula kemunafikannya serba tersembunyi. Akibatnya, ia mula-mula menganggap dirinya sebagai mukmin, padahal nyatanya sejak awal ia seorang musyrik dan berakhir sebagai munafik. Pada saatnya kelak, ia akan merasakan siksa yang disediakan bagi kaum munafik. Celakalah orang yang berakhir dengan nifaq atau kemunafikan.
Bersambung…….
Imam Khomeini, “40 Hadis: Hadis-hadis Mistik dan Akhlak: Hadis Riya”