Berita
Imam Khomeini Berjuang dengan Cinta
“Siapa yang bersama Allah, maka Allah pasti akan bersamanya,” tutur Direktur Islamic Cultural Center (ICC) Jakarta, Dr. Hakimelahi (Syekh Hakim) mengutip pesan Imam Khomeini. Hal itu disampaikannya dalam momen haul (hari wafat) Imam Khomeini yang diperingati di ICC, Sabtu malam (2/6).
Lebih lanjut Syekh Hakim menjelaskan, Imam Khomeini telah mengembalikan posisi agama dari sudut-sudut yang termarjinalkan menjadi sesuatu yang dibumikan di tengah masyarakat.
Apa yang dibawa dan diperjuangkan oleh Imam Khomeini dibangun berdasarkan prinsip ajaran Islam. Doktrin agama yang dibawa oleh Imam Khomeini adalah doktrin agama yang bertumpu pada prinsip kemuliaan manusia, keadilan manusia, serta hubungan manusia dengan Allah swt.
Pada saat yang sama, agama dan ajaran agama yang dibawa oleh Imam Khomeini bukanlah ajaran agama seperti wahabiyah yang saat ini menghasilkan kekerasan seperti yang dilakukan oleh ISIS.
Hubungan manusia kepada Tuhannya sejak abad pertengahan telah diputuskan atau dijauhkan. Maka yang telah dipersembahkan oleh Imam Khomeini pada masyarakat dunia di abad 20 ini adalah sesuatu yang sangat besar.
Dalam perjuangannya Imam Khomeini menekankan agar kita tidak takut kepada siapapun kecuali kepada Allah dan tidak melakukan sesuatu apapun kecuali karena Allah. Apa yang dilakukan Imam Khomeini bukanlah karena keinginan hawa nafsunya, bukan pula karena keinginan-keinginan lainnya, tapi tiada lain karena mengharap keridhaan Allah swt. Perjuangan Imam Khomeini dilandaskan pada ‘peleburan’ dirinya kepada Allah swt.
“Imam Khomeini lah salah satu yang mewakili pribadi selain dari para Rasul dan para Imam yang selalu namanya hidup dalam pembicaraan dan tindakan orang-orang beriman sampai hari ini,” sambung Ir. Sayuti Asyatri yang juga mengisi acara haul Imam Khomeini di ICC.
Selaras dengan Syekh Hakim, menurutnya, kekuatan-kekuatan perjuangan yang penting adalah ‘peleburan’ diri kepada Allah swt. Kalimat itu sederhana. Kata ‘melebur’ kepada Allah sangat sederhana. Tapi kalimat sederhana itu tidak gampang untuk dicapai. Jutaan buku dikarang, ditulis, diperdebatkan, dianalisa, dipilih, dibahas, hanya untuk mencapai tingkatan itu. Dan itulah yang menjadi kekuatan pada zamannya Imam Khomeini; kemudian diwariskan, diteruskan sampai sekarang oleh kepemimpinan spiritual Ayatollah Ali Khamenei dengan sejumlah ulama.
Lebih lanjut Sayuti Asyatri menjelaskan, musuh-musuh kemanusiaan, musuh musuh Iran, apa pun kekuatannya, mereka tidak bisa berbuat apa-apa. Hanya ‘bertawaf’ mengelilingi Iran (tanpa bisa menyerang). Mengelilingi kekuatan-kekuatan yang dijaga oleh orang-orang yang ‘meleburkan’ dirinya bersama Allah swt.
Perang yang terjadi di Suriah sudah berlangsung lama, tapi orang lupa menganalisa dari mana kekuatan Bashar al-Assad? Bashar kuat karena dia menghormati orang suci yang ada di Damaskus yaitu Sayyidah Zainab. Untuk Sayyidah Zainab, kata Hizbullah, apapun akan kita lakukan. Kekuatan pecinta Sayyidah Zainab dari seluruh dunia akan datang. Mereka tidak akan mengizinkan Sayyidah Zainab disakiti. Itu lah kekuatan cinta. Hasil dari ‘peleburan’ diri bersama Allah swt.
Ayatullah Sayyid Muhammad Husein Thabathaba’i ketika membahas apa itu Syiah, panjang ceritanya. Terakhir ada satu kata, Syiah adalah cinta. Dari mana cinta? Karunia Allah swt. Bismillahirrahmanirrahim, adalah ungkapan dari cinta.
Tidak ada orang menasihati dengan istilah cintailah ibumu karena anak tetangga itu juga mencintai ibunya. Cinta kepada ibu bukan lahir dari perintah karena ada anak orang lain mencintai ibunya, tapi karena dia dilahirkan dengan cinta; dilahirkan denga fitrah cinta kepada orangtuanya.
Orang membela Indonesia, membela rakyat tertindas, asalnya dari mana? Bukan karena ideologi-idiologi itu, itu hanya nama yang ditempelkan. Tapi Allah telah menciptakan dalam diri orang-orang yang beriman yang mengenal Allah, yang merasakan penderitaan (dan membatu orang menderita) itu adalah kebutuhan dari cinta.
Pejuang sejati mencintai orang tertindas karena dalam dirinya ada tangisan. Ada kerinduan untuk kebangkitan.
“Kekuatan cinta inilah yang menghidupkan gerakan yang dipelopori Ayatullah Khomeini dengan metodologi khusus,” terang Sayuti Asyatri di acara haul Imam Khomeini ke-28 ini.
Sayyid Ayatollah Ruhollah Khomeini (Imam Khomeini) lahir di Provinsi Markazi, 24 September 1902. Beliau meninggal di Tehran, Iran pada tanggal 3 Juni 1989 di usia 86 tahun.
Perlawanan Imam Khomeini terhadap kekuatan negara arogan, pemerintahan zalim, dan pembelaannya terhadap kaum tertindas dunia, khususnya terhadap bangsa Palestina, tidak akan terlupakan sepanjang sejarah. (ZM)