Berita
Fase Kehidupan Imam Ali bin Abi Thalib as dari Lahir hingga Syahid
Dari Lahir hingga Remaja
Pada Jumat, 13 Rajab, 30 tahun Gajah, Imam Ali as lahir dalam Kabah, Mekah. Ayah Imam Ali as, Abu Thalib, adalah figur yang sangat dermawan dan menjunjung tinggi keadilan. Paman dan pelindung Rasulullah saw itu juga merupakan salah seorang pembesar Quraisy yang sangat dihormati seluruh suku Arab. Ibunya bernama Fathimah binti Asad.
Saudara-saudara beliau antara lain, Thalib, Aqil dan Ja’far. Adapun saudari-saudari beliau di antaranya, Hindun atau Ummu Hani, Jamanah, Ritha atau Ummu Thalib, dan Asma. Para sejarahwan mengatakan bahwa pernikahan Abu Thalib dengan Fathimah binti Asad adalah pernikahan pertama antara laki-laki dan perempuan dari bani Hasyim. Karena itu, Imam Ali as menjadi orang pertama yang memiliki darah Hasyimi, baik dari pihak ayah maupun ibu. [Mushahib, Dairah al-Ma’arfi Parsi, jil. 2, hal. 176]
Ketika Imam Ali as berusia enam tahun, Nabi Muhammad saw membawa Ali as ke rumahnya. Setelah Bi’tsah Nabi (13 tahun sebelum hijrah), Ali menjadi lelaki pertama dan Khadijah perempuan pertama yang beriman kepada Nabi saw. Ali yang saat itu berusia 10 tahun, bersama Nabi Muhammad saw melakukan salat secara sembunyi-sembunyi di gunung-gunung sekitar Mekah.
Nabi saw mulai melakukan dakwah secara terang-terangan pada tahun ketiga Bi’tsah, yang dikenal dengan ‘peristiwa dakwah pada keluarga terdekat’ (Indzar Asyirah) atau ‘peristiwa Yaum al-Dar’. Saat itu, Ali as kontan mendukung Nabi saw dan beliau pun mengapresiasinya dengan sebutan ‘saudara, washi, dan pengganti dirinya’.
Hijrah
Tiga tahun sebelum hijrah, saat usianya menginjak 19 tahun, Ali as kehilangan ayahnya, Abu Thalib. Setelah Abu Thalib wafat, kondisi kaum muslimin semakin sulit dan Nabi saw berencana hijrah ke Madinah. Pada malam hijrah, Ali as yang mengetahui konspirasi kaum musyrikin untuk membunuh Nabi saw, tidur di peraduan beliau. Saat itu, Ali as berusia 23 tahun. Kejadian ini dikenal dengan Lailatul Mabit. [Syahidi, Daneshnameh Imam Ali as, jld. 8, hlm. 14]
Beberapa hari setelah kejadian itu dan setelah menunaikan hutang budinya kepada Nabi saw, Imam Ali as bersama rombongan yang di antaranya terdapat Sayyidah Fathimah as dan Fathimah binti Asad (ibu Imam Ali), bertolak ke Madinah. [Ma’adikhah, Tarikh Islam, hlm. 155-158; Mushahib]
Paska Hijrah
Pada tahun ke-2 H, meletuslah Perang Badar antara kaum muslimin melawan kaum musyrikin. Dalam perang ini, sejumlah besar pasukan musuh, termasuk beberapa orang pembesar Qurasiy, terbunuh di tangan Ali as.
Paska Perang Badar, Imam Ali as yang telah berusia 25 tahun, menikah dengan Sayyidah Fathimah as.
Pada tahun ke-3 H, untuk membalas kekalahan di perang Badar, kaum musyrikin menyulut Perang Uhud melawan kaum muslimin. Imam Ali as termasuk di antara mereka yang tidak meninggalkan medan perang dan gigih melindungi jiwa Nabi saw.
Pada tahun ini pula, putra sulungnya, Imam Hasan Mujtaba as, lahir.
Pada tahun ke-4 H, saat Imam Ali berusia 27 tahun, ibunya, Fathimah binti Asad, meninggal dunia.
Imam Husain as, putra kedua dari pasangan Imam Ali as dan Sayyidah Fatimah as, lahir pada tahun ini pula.
Pada tahun ke-5 H, terjadilah perang Khandaq. Berkat ketangkasan Ali as dalam membunuh Amr bin Abdi Wudd, berakhirlah perang Khandaq.
Sayyidah Zainab as, anak ketiga dari pasangan Imam Ali as dan Sayyidah Fathimah as lahir di tahun ini.
Pada tahun ke-6 H, terjalinlah perjanjian Hudaibiyah antara Nabi saw dengan petinggi Quraisy. Juru tulis surat perjanjian ini adalah Imam Ali as. Ummu Kultsum as, anak keempat Imam Ali as, lahir pada tahun ini. Di bulan Syakban pada tahun yang sama, Nabi saw memilih Imam Ali as sebagai panglima sariyah Fadak untuk memerangi kaum Yahudi.
Pada tahun ke-7 H, pecah perang Khaibar. Dalam perang ini, Imam Ali as termasuk pemegang bendera pasukan. Berkat panduan beliau, pasukan Islam berhasil menaklukkan Khaibar.
Pada tahun ke-8 H, Imam Ali as yang kala itu berusia 31 tahun, bertindak sebagai pemegang panji pasukan Nabi saw saat terjadi penaklukan Mekah. Beliau lalu membantu Nabi saw menghancurkan patung-patung dalam Kabah.
Perang Tabuk meletus pada tahun ke-9 H. Nabi saw untuk pertama kalinya mengangkat Imam Ali as sebagai pengganti dan penjaga keluarganya di Madinah. Perang ini menjadi satu-satunya perang di mana Imam Ali as tidak ikut serta di dalamnya. Namun setelah kelompok munafikin menyebarkan berbagai isu, Imam Ali as bergabung dengan pasukan dan memberitahu Nabi saw apa yang terjadi di Madinah. Menanggapi itu, Nabi saw bersabda, “Apakah engkau tidak senang jika kedudukanmu di sisiku laksana kedudukan Harun di sisi Musa as?” Sabda Nabi ini dikenal dengan Hadis Manzilah.
Pada 24 Dzulhijjah tahun ke-9 H, Nabi saw bersama Imam Ali as, Sayyidah Fatimah as, Imam Hasan as, dan Imam Husain as mengadakan mubahalah dengan kaum Nasrani Najran.
Pada tahun ke-10 H, sepulang haji wada (haji perpisahan), di wilayah Ghadir Khum, Nabi saw mengangkat Imam Ali as sebagai pengganti dan washinya. Sejarah pun mencatatnya sebagai peristiwa Ghadir. Saat itu, Imam Ali as berusia 33 tahun.
Paska Wafat Nabi saw
Menurut keyakinan mazhab Ahlulbait, Imam Ali as menjadi imam paska wafatnya Nabi saw. Saat itu, Imam Ali as berusia 34 tahun.
Pada tahun ke-11 H, Sayyidah Fathimah menemui syahadah setelah beberapa bulan menderita sakit.
Ma’adikhah dengan bersandar pada penukilan Ibnu Atsir menuturkan bahwa pada periode kekhalifahan kedua, tahun ke-16 H, Imam Ali as mengusulkan hijrah Nabi saw ke Madinah dijadikan sebagai permulaan kalender Islam. Khalifah kedua pun menyetujuinya.
Pada tahun ke-25 H, Khalifah Utsman mengeluarkan perintah pengumpulan dan pembukuan al-Quran. Suyuthi menukil sebuah riwayat dari Imam Ali as bahwa pembukuan dan pengumpulan al-Quran dilakukan atas musyawarahnya.
Pada tahun ke-26 H, lahirlah Abbas bin Ali as, anak laki-laki kelima Imam Ali as.
Periode Pemerintahan
Pada bulan Dzulhijjah 35 H, paska terbunuhnya Utsman, Imam Ali as menjadi khalifah di usia 58 tahun.
Pada tahun ke-36 H, Thalhah bin Ubaidillah dan Zubair bin Awwam memutus tali baiatnya kepada Imam Ali as dan di Mekah, mereka bergabung dengan Aisyah. Kemudian, mereka bergerak menuju Basrah. Dengan demikian, terjadilah perang Jamal (sebagai perang pertama Imam Ali as dan perang saudara pertama di antara kaum muslimin).
Pada bulan Rajab tahun ke-36 H, beliau memasuki kota Kufah serta menjadikannya sebagai pusat kekhilafahnnya. Pada tahun yang sama, Imam Ali as meminta Muawiyah berbaiat. Namun, Muawiyah menolak. Kemudian, Imam Ali as memerintahkan supaya Muawiyah diturunkan dari kursi pemerintahan Syam.
Pada bulan Syawal 36 H, Imam Ali as mengerahkan pasukan ke Syam. Terjadilah Perang Shiffin karena pertempuran itu terjadi di suatu daerah bernama Shiffin, akhir tahun 36 H dan permulaan tahun 37 H. Disaat pasukan Imam Ali as hendak mencapai kemenangan, bala tentara Muawiyah dengan tipudaya Amr bin Ash, menancapkan al-Quran di ujung tombak guna menjadi hakim di antara mereka. Imam Ali as dengan terpaksa dan dalam tekanan para pemberontak dari pasukannya sendiri, terpaksa menerima hakamiyat (arbitrase).
Setelah itu, sekelompok orang dari pendukung Imam Ali as (yang kemudian terkenal dengan sebutan Khawarij -red.) menentang keputusan tersebut seraya menganggapnya sebagai kemurtadan dan keraguan dalam konteks keimanan. Di antara mereka yang menjadi pentolan Khawarij menilai kafir penerimaan hakamiyat sehingga mereka berpisah dari pasukan Imam as dan pergi ke Harura sebagai ganti Kufah.
Imam Ali as berulang kali mengajak Khawarij agar bergabung kembali dengannya dan menjamin keamanan mereka. Namun, setelah penyerahan diri Khawarij tak kunjung terjadi, beliau mengerahkan 14 ribu prajurit untuk melawan mereka. Imam Ali as menekankan kepada pasukannya agar tidak memulai peperangan. Akhirnya, pihak Khawarij di Nahrawan memulai lebih dulu peperangan. Dengan dimulainya perang, dengan cepat seluruh Khawarij terbunuh dan terluka. Khawarij yang terluka berjumlah 400 orang. Mereka dikembalikan kepada keluarga masing-masing.
Sebaliknya, dari pasukan Imam Ali as hanya kurang dari 10 orang yang terbunuh. Dari keseluruhan Khawarij di Nahwaran, kurang dari 10 orang berhasil melarikan diri. Salah satunya adalah Abdurrahman bin Muljam al-Muradi, pembunuh Imam Ali as.
Ibnu Muljam di waktu sahur, 19 Ramadhan 40 H, melukai Imam Ali as dengan sabetan pedang di Masjid Kufah. Dua hari kemudian, tepat pada 21 Ramadhan 40 H, Imam Ali as gugur sebagai syahid di usia 63 tahun. (wikishia)