Berita
Faktor Syiah dalam Masuk dan Tersebarnya Islam di Asia Tenggara (4)
Mengkaji Akar Diaspora Para Sayyid ke Asia Tenggara
Tampaknya untuk memahami dengan benar akar dan motivasi diaspora para sayyid ke wilayah lain, harus terlebih dahulu memperhatikan peristiwa terkait paruh kedua abad ke-1 hingga paruh kedua abad ke-4 Hijriyah. Pada masa itu ketika kekuasaan dipegang oleh para khalifah Umayah dan Bani Abbasiyah, putera-putera dan keturunan Ali dengan alasan menentang kebijakan, pandangan penguasa waktu itu atau ingin melepaskan diri dari tekanan dan ancaman, terpaksa bersikap atau melawan atau berhijrah ke wilayah lain.
pembahasan sebelumnya Faktor Syiah dalam Masuk dan Tersebarnya Islam di Asia Tenggara (3)
Hijrahnya Husein bin Ali dari Madinah menuju Kufah pada tahun 61 Hijriah, bangkitnya Muhammad Hanafi yah pada tahun 81 Hijriyah, bangkitnya Zaid pada tahun 120 Hijriyah, bangkitnya Yahya bin Zaid dan Muhammad bin Abdullah pada tahun 125 Masehi, bangkitnya Qasim al-Wasi di Yaman pada tahun 288 Hijriyah, bangkitnya Ismailiyah dan munculnya pemerintahan Fatimiyah pada tahun 276 Hijriyah di Mesir, bangkitnya kaum Alawiyyah di Kufah tahun 251 Hijriyah ( Husein bin Muhammad bin Hamzah bin Abdullah bin al- Husein bin Zainal Abidin), bangkitnya Yusuf bin Ismail al-Alawi di Mekah pada tahun 252 Hijriyah dan puluhan kebangkitan lain yang semuanya mengindikasikan ketidakpuasan kaum Alawiyah terhadap kondisi yang berlaku dan motivasi mereka untuk hijrah ke wilayah lain. [Al-Imam Al-Muhajir, Ma lahu Linasabihi wa lil Aimmati min Aslafi hi minal Fadhail wal Ma’atsir (Keutamaan Nasab Imam Muhajir dan Para Imam Pendahulunya), Muhammad Dhiya’ Shahab dan Abdullah bin Nuh, cetakan Dar Asy-Syuruq li An-Nasyr wa At-Tauzi’ wa Ath-Thiba’ah, Kerajaan Saudi Arabia, 1400 Hijriyah/1980 Masehi]
Dengan memperhatikan signifikansi peran Ahmad bin Isa Al-Muhajir dan keluarganya dalam pembahasan sayyid di Asia Tenggara, maka pada bagian ini kami menekankan argumentasi dan motivasi hijrah, juga orientasi madzhab dan pemikiran beliau dan anak keturunannya. Mungkin buku terpenting yang membahas rincian sejarah dan pemikiran Ahmad Muhajir adalah “Al-Imam Al-Muhajir, Malahu Linasabihi wa lil Aimmati min Aslafi hi minal Fadhail wal Ma’atsir”. [Karya Muhammad Dhiya’ Shahab dan Abdullah bin Nuh, Cetakan Dar Asy-Syuruq li An-Nasyr wa At-Tauzi’ wa Ath-Thiba’ah, Kerajaan Saudi Arabia, 1400 Hijriyah/1980 Masehi]
Meskipun penulisnya berorientasi kepada madzhab Ahl as-Sunnah, buku ini secara terperinci menukil bagian-bagian penting dengan bersandar kepada referensi historis terkait kehidupan Ahmad Muhajir.
Ahmad Muhajir lahir pada tahun 241 atau 261 Hijriyah di kota Basrah yang ketika itu menjadi pusat keilmuan, perdagangan dan kehadiran aliran-aliran ‘ Irfan dan tasawwuf. Motivasi utama hijrahnya ayah beliau, Isa dari Madinah ke Basrah tidak ada argumen yang pasti, tetapi menengok situasi politik Madinah pada akhir abad ke-2 dan permulaan abad ke-3 ketika para Khalifah Dinasti Abbasiyah setelah melakukan toleransi untuk beberapa saat terhadap keturunan Ali bin Abu Thalib, menunjukkan sikap kekerasan dan memberlakukan penekanan terhadap mereka dan juga ketidakstabilan kondisi di Hijaz dan beberapa bagian wilayah Irak pada masa itu turut mempengaruhi hijrah tersebut.
Gerakan utama yang penting dalam sejarah Islam di Asia Tenggara adalah hijrahnya Ahmad Muhajir dari Basrah ke Hadhramaut. Pemberontakan dan hegemoni Zanj dan Qaramitah atas Basrah yang ketika itu menjadi bandar (pelabuhan) utama perdagangan luar negeri bagi Khalifah Abbasiyah, memaksa beliau yang juga seorang pedagang dan alim terkenal kota Basrah meninggalkan Basrah bersama keluarganya pada tahun 317 Hijriyah, yaitu pada masa khalifah Abbaiah al-Muqtadir Billah untuk menuju ke Madinah dan Mekah terlebih dahulu, kemudian ke Hadhramaut Yaman dan tinggal di wilayah Hasisah yang terletak di antara Tarim dan Seiwun. Mas’udi dan Tabari juga pernah menyingung peristiwa ini.
Ahmad Muhajir juga merupakan seorang figur alim agama yang menjadi perhatian dan dicintai penduduk wilayah ini dan hingga akhir hayatnya menetap di Hadhramaut. Beliau meninggal pada tahun 345 Hijriyah atau 924 Masehi. Isa bin Muhammad bin Ali al-‘ Uraidhi memiliki empat putera bernama Zaid, Yahya, Ahmad al-Muhajir, al-Husein, dan al-Hasan. Salah satu putera Isa yang bernama al-Hasan berhijrah ke Iran dan keturunannya tersebar di Isfahan, Syiraz dan Qum. Ahmad Muhajir sendiri memiliki empat putera bernama Ali, al-Husein, Abdullah, dan Muhammad. Ali berhijrah ke Ramlah, Al-Husein ke Nisyabur, Iran, Abdullah menetap di Hadhramaut bersama sang ayah dan Muhammad menetap di Basrah.
Keturunan Ahmad Muhajir yang hijrah ke wilayah lain seperti India, Afrika, dan Asia Tenggara berasal dari Abdullah. Ia memiliki tiga putera bernama Ismail, Jadid, dan Alwi yang keturunan Alawiyin Asia Tenggara berasal darinya. Tampaknya alasan dan motivasi utama hijrahnya anak cucu Ahmad Muhajir ke wilayah lain adalah tabligh atau dakwah dan berdagang, alasannya adalah sambutan penduduk Hadhramaut dan kedudukan mereka di wilayah itu tidak ada paksaan bagi mereka untuk memalingkan tujuan ke wilayah lainnya.
Hal yang masih samar dalam sejarah adalah menjawab secara tepat waktu hijrahnya keturunan Ahmad Muhajir ke Asia Tenggara. Berbagai dokumen yang ada mengindikasikan hal tersebut berhubungan dengan permulaan abad ke-9 Hijriah dan setelahnya, yaitu pada masa ketika Islam tersebar luas di sebagian besar wilayah Jawa dan Sumatera melalui para sayyid, di antaranya adalah Wali Songo yang sebagian besar adalah sayyid, tetapi Alwi bin Abdullah bin Ahmad al-Muhajir berhubungan dengan permulaan abad ke-4 Hijriah. Mungkin kesamaran historis ini dapat dijawab demikian bahwa kehadiran awal keturunan Alwi di Asia Tenggara pada mulanya tidak permanen, mereka datang dan pergi ke wilayah ini hanya singgah dan sementara dalam perjalanan aktivitas perdagangan mereka dan pemilihan wilayah ini sebagai tempat tinggal terjadi pada masa-masa setelahnya.
Hal lain bahwa tujuan awal dan utama mereka adalah anak benua India dan sebagaimana sebagian referensi dan dokumen historis yang akan kita singgung pada bagian setelah ini menyatakan bahwa para sayyid setelah tinggal di Iran dan India dalam lanjutan perjalanan dan target perdagangan serta dakwah mereka, menuju Cina, dan Nusantara Melayu. Dengan berlalunya waktu mereka menetap di sana. Perpindahan ini berlangsung selama bertahun-tahun. Jelaslah bahwa peran para wali sayyid sebagai dai atau muballigh pertama Islam, terutama di Jawa adalah pasti dan tujuh orang dari Wali Songo adalah sayyid. Walaupun masuknya Islam ke pulau Sumatera agak sedikit berbeda dengan Jawa karena alasan dominasi pengaruh India, akan tetapi dalam banyak referensi terkait pengenalan sejarah masuk dan berkembangnya Islam di Nusantara Melayu, di antaranya Malaka, Sumatera, Jawa, Brunei, dan Filipina, nama-nama Arab sayyid termasuk dalam daftar utama para dai dan muballigh Islam di wilayah tersebut.
Mengkaji Orientasi Pemikiran dan Madzhab Para Sayyid
Saat ini hampir empat juta sayyid tinggal di negara-negara Asia Tenggara yang pada umumnya bermadzhab Syafi’i dan sebagian atau minoritas juga mengikuti madzhab Syiah. Menjawab pertanyaan bahwa apakah Ahmad bin Isa al-Muhajir dan tiga generasi keturunannya serta kelompok Arab Hadhramaut pertama dan para sayyid Syafi ’i atau Syiah, perlu penelitian dan kajian lebih banyak. Dalam hal ini terdapat beberapa hipotesa dan pandangan yang berbeda-beda:
- Sebagian meyakini bahwa madzhab Imam Ahmad Muhajir sama seperti madzhab ayah dan kakeknya, Imam Ja’far Shadiq yaitu Imamiyah. Kelompok ini dalam argumentasinya mempercayai bahwa Ahmad Muhajir dan keturunannya sama seperti ayah-ayahnya mengikuti madzhab kakek mereka, Ali al-‘ Uraidhi yang mengikuti madzhab sang ayah yaitu Ja’far Shadiq, saudaranya yaitu Musa Kadhim anak-anak saudaranya yaitu Ali bin Musa ar-Ridha dan Muhammad Jawad. Sejarah tidak memaparkan indikasi perpindahan madzhab mereka.
- Alasan lain Ahmad Muhajir dan ayahnya, Isa bermadzhab Imamiyah adalah keduanya termasuk ahli hadist Syiah dan dalam referensi-referensi hadist Imamiyah banyak hadist diriwayatkan dari mereka dengan menukil dari para ImamSyiah.40
- Pendapat lain meyakini bahwa mereka mengikuti Imam Syafi ’i dalam fiqh semata, dari sisi akidah dan teologi adalah Syiah.
- Pandangan lain dengan bersandar kepada maraknya madzhab Syafi ’i di Hadhramaut, wilayah India, Afrika, kepulauan Melayu, dan Indonesia, yaitu wilayah-wilayah yang ditinggali oleh para sayyid Hadhramaut atau mereka berperan memperkenalkan dan menyebarkan Islam di sana, berkeyakinan bahwa madzhab para sayyid Hadhramaut yang menjadi asal usul masuknya Islam di wilayah itu, juga bermadzhab Syafi ’i.41
Tampaknya untuk menjawab dan memberikan justifikasi logis dari pertanyaan-pertanyaan ini dapat dijawab bahwa pertama, perubahan madzhab pada orang-orang Arab sayyid Hadhramaut terkait dengan generasi berikutnya dan hal ini secara umum terjadi mulai abad ke-4 Hijriah dan setelahnya.
Kedua, bahwa klasifikasi madzhab pada waktu itu, berbeda dengan masa kita saat ini, tidak terlalu serius, karena meskipun munculnya madzhab-madzhab fiqh berkaitan dengan penghujung abad ke-2 dan paruh pertama abad ke-3 Hijryah, tetapi perlu waktu berabad-abad lamanya baru terbentuk batasan-batasan yang jelas di antara madzhab-madzhab Islam dan muncul klasifikasi yang ada saat ini antara madzhab-madzhab Syiah dan Sunni.
Berdasarkan sejarah, pada permulaan munculnya maktab-maktab fiqh tidak terdapat batasan dan perbedaan yang serius di antara mereka. Sebagaimana para imam dan pendiri madzhab fiqh saling berinteraksi dan bertukar pikiran, kaum Kaum Muslim pun mengikuti para imam madzhab sebagai ahli fiqh yang kompeten pada masanya, bukan sebagai rujukan teologi dan akidah. Oleh karena itu, sebagaimana Imam Syafi ’i dan Imam Hanbali sebagai pembela Ahl al-Bayt Nabi Muhammad sehingga menjadi luapan kemurkaan dan siksaan para penguasa waktu itu, para sayyid pun mengikuti para fuqaha (ahli-ahli hukum Islam) besar ini yang masih terhitung sebagai murid kakek mereka adalah Ja’far as-Shadiq.
Mungkin dapat juga disampaikan anggapan lain bahwa hal yang disampaikan orang-orang Arab sayyid kepada masyarakat wilayah ini pada mulanya adalah prinsip Islam dengan orientasi keSufian, tanpa melihat madzhab dan aliran fiqh tertentu, sementara terbentuknya identitas madzhab Islam di wilayah ini dalam bentuk madzhab Syafi’i terjadi pada tahap berikutnya, bukan pada masa permulaan muncul dan penyebaran Islam di wilayah ini.
Bersambung….
Dikutip dari artikel Ali Rabbani dalam buku Sejarah dan Budaya Syiah di Asia Tenggara.