Berita
Faktor Syiah dalam Masuk dan Tersebarnya Islam di Asia Tenggara (2)
Mengkaji Latar Belakang Hubungan Ekonomi dan Kultural Dunia Islam
Budaya dan peradaban penduduk Asia Tenggara dan Nusantara sama seperti belahan lain dunia dipengaruhi oleh emigrasi berbagai kaum ke wilayah ini, interaksi pemikiran, dan kultural masyarakat pribumi dengan orang-orang yang berhijrah, khususnya para saudagar internasional. Orang-orang Arab, India, Cina, dan Persia termasuk di antara beberapa kaum yang dengan hijrah ke wilayah ini dan terkadang menetap secara permanen, telah memberikan perubahan-perubahan fundamental terhadap budaya dan peradabannya yang secara umum dipengaruhi agama Brahmana dan Buddha. Pada masa ini berdiri dua kerajaan besar di Nusantara secara berurutan yaitu Sriwijaya dan Majapahit yang mana periode Majapahit merupakan masa kejayaan dan keemasan sejarah Nusantara. [1]
Pembahasan sebelumnya Faktor Syiah dalam Masuk dan Tersebarnya Islam di Asia Tenggara (1)
Tentunya, orang-orang Persia dan Arab memiliki hubungan perdagangan berabad-abad lamanya sebelum Islam dengan penduduk setempat termasuk penduduk Nusantara. Beberapa komoditi seperti cabe, cengkeh, kapur barus, dan lada;[2] secara umum rempah-rempah, sayur mayur, dan obat-obatan herbal sangat penting bagi dunia saat itu dan banyak ditemukan di Nusantara. Para pedagang memperoleh keuntungan yang berlimpah dengan melakukan transaksi jual beli barang-barang tersebut.[3] Mereka membawa rempah-rempah dari pusat-pusat perdagangan di Nusantara ke India. Kemudian dari jalan darat dikirim oleh kafi lah-kafi lah ke pasar-pasar Timur Dekat dan selanjutnya ke Eropa. Terkadang juga tanpa membawanya dari jalan darat melalui India, mereka langsung menuju bandar-bandar di Persia atau Arabia.[4]
Sir Thomas Arnold berpendapat bahwa kaum Kaum Muslim sejak tahun-tahun pertama munculnya Islam di Nusantara telah memiliki pusat-pusat perdagangan. Ia melaporkan tentang tinggalnya salah seorang kepala kabilah Arab di pesisir Barat Sumatera sebelum tahun674 Masehi/54 Hijriyah.[5]
Krachkovski, peneliti Rusia yang terkenal juga menyatakan bahwa sejak masa Sassania dan selanjutnya pada abad-abad permulaan Islam telah terjalin hubungan perdagangan kaum Muslim Persia dan Arab hingga ke bandar Kanton di Cina dan para pedagang Muslim memiliki hubungan dagang dengan wilayah-wilayah Timur Asia, di antaranya India, Cina, dan Nusantara.[6]
Romhormozi, salah seorang penulis abad ke-4 Hijriyah/10 Masehi menukil berbagai berita tentang transaksi perdagangan Kaum Muslim dengan Sumatera yang pada masa itu disebut dengan Zabaj, lalu lalangnya banyak kapal dari Bashrah, Siraf, dan Oman ke wilayah tersebut serta maraknya perekonomian di sana.8 Mas’udi, seorang pakar geografi dan sejarah abad ke-4 Hijriyah/10 Masehi, juga menyinggung lalu lintas pelaut-pelaut Persia dan Arab, terutama Siraf dan Oman ke kawasan ini dan berbicara tentang seorang raja yang menurutnya memiliki kekayaan berlimpah dan tentara banyak yang disebut dengan Maharaja (dari Maharaj, mengindikasikan hegemoni politik, dan penetrasi kultural India di wilayah ini) dan juga memberitakan tentang barang-barang dagang dan rempah-rempah yang menjadi perhatian para pedagang di Nusantara ini.
Akan tetapi, apakah hubungan perdagangan ini selanjutnya menjadi pertukaran kultural dan sosial juga? Tidak diragukan lagi bahwa dalam perjalanan-perjalanan panjang dan pada masa ketika kapal-kapal melakukan perjalanan dari satu wilayah ke wilayah lain serta para awaknya menjalin hubungan dengan situasi, kondisi dan penduduk yang berbeda-beda, hal terpenting yang dapat menghubungkan mereka dengan penduduk setempat adalah kedekatan kultural, agama atau transaksi perdagangan. Oleh karena itu, yang tampak lebih banyak dalam sejarah perjalanan-perjalanan laut masa Islam adalah bahwa walaupun pada kondisi ketika tidak terdapat persamaan mencolok dari sisi kultural, agama atau politik di antara dua penduduk atau beberapa wilayah, pertukaran komoditi di antara mereka menyebabkan kedekatan dan terjalinnya hubungan. Dengan demikian, hubungan yang paling penting dan menonjol di kalangan penduduk Asia dan Lautan Hindia adalah hubungan perdagangan dan tampaknya bahwa budaya dan agama juga biasanya dari jalur ini tersebar dari satu wilayah ke wilayah lain.[Toheri, Mahmud, Safar-ho-ye Daryoi-ye Moslemin dar Aqyonus-e Hend (Perjalanan-perjalanan Laut Kaum Muslim di Samudera Hindia), Masyhad, Oston-e Qods-e Rezavi, 1380 H.S, hlm. 170]
Kemungkinan sebagian perjalanan ke wilayah-wilayah yang jauh juga dengan alasan mengambil istri dan menikah menjadi mudah. Ibnu Batutah dalam hal ini menyatakan, “Ketika kapal-kapal sampai di kepulauan Maladewa, para awak dan penumpangnya menikah dengan perempuan-perempuan di sana dan ketika berangkat kembali mereka menceraikannya karena perempuan-perempuan tersebut tidak ingin meninggalkan negeri mereka. [Ibnu Batutah, Safar Nameh (Catatan Perjalanan), terjemahan Mohammad Ali Movahhed]
Bukti-bukti mengindikasikan bahwa para saudagar Muslim tidak hanya mengadakan transaksi barang dagangan, tetapi dikehendaki atau tidak juga menjalin hubungan sosial dengan kaum pribumi, terutama penduduk pesisir yang terkadang pula membuat mereka tinggal secara permanen di sana. Orang-orang yang menempuh perjalanan panjang dan jauh harus berkemampuan fi nansial cukup, maka dengan demikian, mereka memiliki kondisi budaya yang lebih baik di hadapan kaum pribumi yang mayoritasnya adalah orang-orang fakir dan kelaparan sehingga kaum pribumi menjadi pelayan, pembantu, bahkan bersedia menikahkan puteri-puterinya kaum pribumi. Dari sisi lain, kemampuan finansial ini menjadikan kaum Muslim tidak menjadi orang-orang upahan atau melakukan perbuatan-perbuatan melanggar seperti merampok dan lain-lain dan dengan demikian, perbuatan-perbuatan amanah, dan secara otomatis budaya dan agama mereka menjadi perhatian penduduk pribumi wilayah tersebut. Sir Thomas Arnold menjelaskan proses penyebaran dan pengaruh Islam dalam masyarakat Indonesia saat itu melalui para saudagar dan pedagang sebagai berikut: Kaum Muslim menerima dan mempelajari bahasa dan banyak tradisi lokal dan pribumi serta menikah dengan perempuan di sana.
Mereka membeli budak-budak untuk menambah kepentingan dan kedudukan dan sukses berinteraksi dengan para pemimpin yang berkedudukan tinggi di antara penduduk. Dengan koordinasi dan kemampuan lebih, mereka bekerjasama dengan penduduk pribumi dan secara bertahap kekuatan mereka bertambah. Mereka juga memiliki budak dengan jumlah yang banyak dan mendirikan semacam otonomi dan kerajaan yang turun temurun (diwariskan) dalam keluarga dan famili mereka. [Arnold, hlm. 267]
Dengan demikian, dari pada mereka masuk ke wilayah ini sebagai penakluk, menjadikan pedang sebagai perantara untuk menyebarkan Islam, menganggap diri sebagai ras yang superior, merendahkan kaum pribumi, memaksakan keyakinan, mereka masuk sebagai saudagar atau pedagang yang sederhana, berusaha, dan bekerja keras dengan seluruh potensi kultural serta keagamaan mereka untuk menyebarkan keyakinan di wilayah baru. Mereka tidak menjadikan agama sebagai sebuah sarana untuk mengumpulkan kekayaan dan mendapatkan hak istimewa individual. [Arnold, hlm. 268] Adapun pertanyaan yang muncul adalah di bawah pengaruh kelompok pedagang dan muballigh Islam manakah Nusantara memeluk Islam, apakah India, orang-orang Arab, terutama Arabia atau Iran?
Terkait sumber dan asal penyebaran Islam dan faktor-faktornya di Nusantara, dikemukakan berbagai teori. Sebagian karena melihat penduduk Nusantara dan pesisir Malabar di Selatan India bermadzhab Syafi ’i meyakini bahwa Islam masuk ke wilayah ini melalui para pedagang dan saudagar India.14 Sebagian lain juga berkeyakinan bahwa Islam masuk ke Pulau Jawa, Sumatera, pesisir, dan kepulauan Nusantara lainnya termasuk Pesisir Malaka kemudian seluruh wilayah sekitarnya dari Arabia dan wilayah Arab yang lain. Sebagian juga karena melihat keberadaan orang-orang Syiah di wilayah ini dan adanya bahasa dan istilah-istilah Persia berkeyakinan bahwa Iran dan para saudagar Iran menjadi sumber asal dan faktor penyebaran Islam di kalangan penduduk pribumi. [15 Toheri, Mahmud, hlm. 493 dan Smith, hlm. 42] Nur Ahmad Qadiri, salah seorang penulis Pakistan meyakini bahwa peninggalan-peninggalan, bangunan-bangunan, dokumen-dokumen dan bukti-bukti historis mengindikasikan adanya berbagai persamaan antara Islam India (Shindu), Makran dan Indonesia. Berdasarkan hal ini, diameyakini Islam masuk ke Asia Tenggara sejak abad pertama Hijriyah melalui Shindu. [Mozandaroni, hlm. 59-60]
Tentunya dengan menerima satu teori di atas, tidak berarti menolak pandangan yang lainnya. Tidak diragukan bahwa Islam membuka jalannya di kalangan penduduk Nusantara dan wilayah lain Asia Tenggara melalui berbagai jalan yang berbeda. Realita-realita historis, di antaranya hubungan perdagangan ratusan bahkan ribuan tahun antara Nusantara dan pesisir Teluk Persia serta wilayah-wilayah lain Arab dan Iran, adanya nama-nama Arab dan Persia, berbagai laporan para pakar geografi pada abad-abad pertama Islam, semuanya menunjukkan pengaruh kaum Muslim Arab dan Persia. Dari sisi lain, nama-nama dan istilah-istilah India, dominasi ratusan tahun kaum imigran India di Nusantara dan hubungan permanen India dan Nusantara sepanjang sejarah, semuanya mengindikasikan pertukaran dan interaksi kultural, politik, dan ekonomi. Tentu saja, Islam di Nusantara selama berabad-abad dipengaruhi tradisi dan budaya tua wilayah tersebut, kemudian menemukan bentuk khususnya.
Oleh karena itu, hari ini terdapat beberapa perbedaan antara Islam di wilayah dunia Islam ini dengan kawasan lain, termasuk Iran, dan wilayah-wilayah Arab lainnya. Adapun sejak kapan Islam masuk ke Asia Tenggara, terutama kepulauan dan pesisir Nusantara, referensinya sangat sedikit sekali, dan simpang siur. Para pakar geografi Muslim abad-abad pertama Islam tidak memaparkan sedikitpun laporan tentang hal ini dan hanya menyebutkan sebagian keanehan, hasil tanam, gunung berapi, dan julukan penguasa setempat “Mehraj” yang sebenarnya menunjuk kepada julukan ‘Maharaja’ dan penguasa India Indonesia.
Krachkovski meyakini, kaum Kaum Muslim mempertahankan beberapa sistem yang sudah berlaku sejak masa Sassania di pinggiran selatan Irak dan pesisir Teluk Persia. Ia menambahkan, kolonial Arab, dan Persia di Bandar Kanton sedemikian tangguh sehingga pada tahun 169 Hijriyah/758 Masehi mampu menduduki kota; kemudian meninggalkannya melalui jalan laut. Ia juga percaya, bahkan sebelum masa itu kapal-kapal kaum Kaum Muslim juga telah melakukan perdagangan dengan Cina. Romhormozi yang menulis karyanya pada abad ke-4 Hijriyah/10 Masehi menyatakan keberadaan kaum Muslim pribumi dan non-pribumi di Zabaj (Sumatera) dan bahkan seseorang di antara mereka bernama Juhud Kutah, berasal dari Oman hadir di pertemuan raja Sumatera. [Romhormozi, hlm. 124-125]
Laporan ini menunjukkan penyebaran Islam oleh para pelayar Muslim dan pengaruh mereka di wilayah tersebut sedemikian rupa sehingga ikut hadir pula di pertemuan-pertemuan khusus raja. Meskipun demikian, agama Islam hingga beberapa lama hanya menyebar di bandar-bandar dan pesisir-pesisir yang penduduknya memiliki hubungan dengan kaum Kaum Muslim dan kemajuannya di dalam wilayah ini berjalan lambat karena Islam di sana berhadapan dengan perlawanan orang-orang Hindu dan para penyembah patung. Wajar bila kawasan pertama yang penduduknya menerima Islam adalah kawasan pesisir dan tempat lalu-lalang atau persinggahan para pedagang Muslim, baik untuk sementara waktu atau terkadang permanen. Sebagaimana Marcopolo, ketika dalam perjalanan dan persinggahan beberapa bulannya di sebagian pulau Indonesia melihat seluruh penduduk berbagai pulau menyembah berhala dan hanya menyaksikan wilayah Perlak, dekat Selat Malaka di utara pulau Sumatera berpenduduk Muslim yang menurut pendapatnya mereka menerima Islam melalui para pedagang Muslim. [20 Marcopolo, hlm. 186-187]
Batu nisan yang merupakan bukti historis paling valid dan terpercaya terkait penyebaran Islam di wilayah-wilayah ini mengindikasikan penyebaran Islam pada masa pra-Marcopolo. Batu- batu nisan yang paling kuno terkait tahun 475 Hijriyah/1082 Masehi di Jawa Timur. [Doyeratul Maoref-e Bozorg-e Eslami (Ensiklopedia Besar Islam), di belakang kata Andonezi/Indonesia]. Secara bertahap ketika para pemimpin dan pembesar wilayah-wilayah yang terletak di sepanjang Selat Malaka memilih Islam, maka penduduk umum juga mengikuti mereka. Walaupun demikian, penduduk kepulauan ini tidak memutus hubungan dengan orang-orang terdahulu. Realitanya, masjid-masjid Islam dibangun dengan bentuk arsitek Hindu-Jawa dan kuburan-kuburan kaum Muslim memiliki tanda-tanda Hindu. [Smith, hlm. 43] Setelah wilayah-wilayah pesisir, secara bertahap Islam masuk ke wilayah dan kepulauan lain dan mempengaruhi mereka dengan ajaran-ajaran baru.
Pada dasarnya, proses penerimaan Islam penduduk kepulauan ini juga sama seperti wilayah lain di dunia yang marak keislamannya merupakan sebuah gerakan yang lambat dan perlahan. Akan tetapi, berbeda dengan mayoritas wilayah dunia Islam, penerimaan Islam lebih dahulu dari pendirian pemerintahan Islam. Sementara di wilayah lain, terlebih Timur Tengah, pertama-tama wilayah-wilayah tersebut dikuasai oleh kaum Muslim terlebih dahulu, kerajaan Islam memiliki hegemoni, pengaruh, dan setelah itu Islam menyebar di bawah bendera kerajaan Islami dengan sarana-sarana seperti perang dan jihad. Dengan demikian, sepanjang abad ke-7 dan 8 Hijriyah/13 dan 14 Masehi, Islam sedemikian rupa berpengaruh di kepulauan ini sehingga pemerintahan Islam pertama berdiri di wilayah ini pula. Hal ini menyebabkan aktivitas-aktivitas dakwah atau tabligh kaum Muslim dilakukan secara terang-terangan, perselisihan besar antara kerajaan Islam, dan Majapahit terjadi yang berakhir dengan runtuhnya Majapahit. Runtuhnya Majapahit semakin mempercepat pengaruh dan penyebaran Islam di kepulauan Nusantara. Sisa-sisa kerajaan Majapahit yang termasuk dalam kelas istimewa Hindu, bersama dengan para pemimpinnya mengambil suaka ke pulau Bali. Kerajaan Islam yang terkenal adalah kerajaan Pasai yang didirikan pada akhir abad ke-7 Hijriyah/13 Masehi di pesisir timur Sumatera dan menjadi pusat aktivitas para pedagang dan saudagar Arab dan Persia. [Doyeratul Maoref-e Bozorg-e Eslami, di belakang kata Andonezi (Indonesia)]
Kerajaan yang di antara rajanya yang terkenal bernama Muhammad Iskandar Syah ini berusaha melepaskan diri dari hegemoni kerajaan-kerajaan Hindu dan Buddha yang tangguh dengan cara menjalin hubungan dengan kerajaan Cina yang dengan demikian, mereka tetap menjaga independensinya. Referensi-referensi terdahulu terkait sebab orientasi penduduk kepulauan ini terhadap Islam tidak disebutkan argumen yang kuat. Dikatakan bahwa kerusakan akhlak dan pada saat yang sama terjadi di kalangan pemuka agama, terutama Buddha Jawa, maka masyarakat tidak lagi mempercayai mereka dan terbukalah pintu untuk perubahan agama penduduk yang menarik mereka kepada Islam. [Mozandaroni, hlm. 72]
Langkah pertama dan terpenting dalam pengaruh dan penyebaran Islam di wilayah Jawa juga telah dilakukan oleh para pedagang atau saudagar. Putera raja Pajajaran (bagian barat pulau Jawa) memilih profesi sebagai pedagang. Ketika memimpin sebuah rombongan dagang ke India, ia berkenalan dengan para pedagang Muslim dan memeluk Islam yang kemudian mengganti nama dengan Haji Pura. Setelah kembali ke negerinya, dengan bantuan para pedagang Muslim ia mengarahkan saudara dan anggota lain kerajaan kepada Islam. [Arnold, hlm. 276-277] Tentunya, selain aktivitas para pedagang dan saudagar, ulama atau Sufi juga ikut andil dalam penyebaran dan dakwah Islam di wilayah-wilayah ini, wilayah Timur Asia dan anak benua yang tidak dapat kita sebutkan dalam artikel ini.
Ketika Ibnu Batutah, pelancong Muslim terkenal menginjakkan kaki di pulau Jawa, Sumatera, pulau selatan lain, dan Asia Tenggara pada abad ke-8/14 Masehi, sebagian penduduk wilayah-wilayah tersebut telah memeluk Islam. Ketika berkunjung ke Sumatera pada tahun 746 Hijriyah/1345 Masehi, ia mendeskripsikan kerajaan-
kerajaan Islam wilayah ini memiliki daerah yang luas dan kekuasaan yang besar. Di sana, ia bertemu dengan beberapa orang Muslim Iran, di antaranya Behrouz, wakil panglima angkatan laut, Qadhi Amir Sayyid Syirazi, dan Tajuddin Isfahani yang merupakan ulama di wilayah tersebut. [Ibnu Batutah, hlm. 721]
Keberadaan mereka ini memiliki peran besar dalam dakwah dan penyebaran Islam di wilayah tersebut. Pada masa itu, Malik Zahir yang memegang tampuk kekuasaan wilayah di sana. Ibnu Batutah terkait hal ini mengatakan: Raja Jawa, Malik az-Zahir, termasuk raja yang baik, mulia dan pengikut madzhab Syafi ’i. Ia pecinta ulama dan fuqaha’ sehingga mereka selalu datang ke sisinya untuk membaca Alquran dan berdiskusi ilmiah. Malik az-Zahir melakukan beberapa peperangan melawan orang-orang kafi r. Ia seorang yang selalu merendah dan selalu menghadiri shalat Jumat dengan berjalan kaki. Penduduk Jawa juga bermadzhab Syafi ’i, berjiwa mujahid yang selalu mengikuti jihad dengan sepenuh hati dan menetapkan hudud bagi kaum kafi r sehingga rela dan menerima untuk membayar jizyah demi mendapatkan kedamaian. [Ibnu Batutah, hlm. 721]
Sebuah batu nisan bertuliskan tahun 833 Hijriyah/1419 Masehi terkait dengan Malik Ibrahim Kasyani dengan baik mengekspresikan peran para pedagang atau saudagar dan proses penyebaran dan pengaruh Islam di kepulauan Nusantara (Melayu). Isi dari prasasti batu nisan ini mengindikasikan bahwa ia adalah seorang pedagang kaya yang kemungkinan memperoleh kekayaannya melalui cara berdagang rempah-rempah. [Vlekke, hlm. 125] Ia bersama beberapa orang seagamanya pada paruh kedua abad ke-14 Masehi berlabuh di pesisir timur Jawa dan menetap di dekat kota Gresik yang berdekatan dengan pulau Madura. Dikatakan bahwa ia salah satu keturunan Imam Ali Zainal Abidin dan sepupu Raja Chermen (sebuah negara Sabrang), salah satu raja Jawa. Usahanya untuk menyebarkan Islam berakhir pada terbentuknya komunitas (masyarakat) kecil Muslim di Jawa. Ia juga membangun sebuah masjid di tempat tersebut dan bersama Raja Chermen mencurahkan segala usaha dalam penyebaran Islam. Akan tetapi, usaha mereka untuk meyakinkan Raja Majapahit supaya menerima Islam tidak membuahkan hasil. [Arnold, hlm. 277.]
Laporan referensi-referensi Cina dan lokal juga mengindikasikan kontinuitas penyebaran dan pengaruh Islam secara bertahap dari wilayah pesisir ke kawasan pusat dan penjuru yang jauh. Dengan demikian, wilayah Perlak (sebuah bandar yang berada di timur Sumatera, barat laut Indonesia), Pasai (sebuah kawasan yang terletak di pesisir utara Aceh di Sumatera) di utara Sumatera pada akhir abad ke-13, Malaka pada permulaan abad ke-15 dan Maluku (di timur Indonesia) pada permulaan abad ke-16 telah memeluk Islam.
Pemimpin Makasar (pulau yang terletak di tenggara Indonesia) menerima Islam pada permulaan abad ke-17. Akan tetapi, penyebaran cepat Islam di Indonesia terjadi pada abad ke-16 meskipun orang-orang Portugis mempersulit dan memaksakan agama Kristen, dari sisi lain juga karena pengaruh persaingan para pedagang Muslim dengan orang-orang Portugis. Wilayah kerajaan Islam terpenting pada masa tersebut adalah Demak di Jawa Tengah, Aceh di Sumatera Utara, dan Brunei di utara kepulauan Borneo (Kalimantan).
Bersambung….
Dikutip dari artikelnya Ali Rabbani dalam buku Sejarah dan Budaya Syiah di Asia Tenggara
Catatan Kaki
- Vahid Mozandaroni, Sarzamin-e Hezoron Jazireh (Negeri Ribuan Pulau), Tehran, Perpustakaan Dehkhodo 1345 H.S, hlm. 43-45; Smith Datus, Sarzamin va Mardom Andunezi (Negeri dan Penduduk Indonesia), terjemahan Parviz Dariusy, Tehran, Agen Terjemahan dan Penerbitan Buku, 1350, hlm. 36-37.
- Ibnu Majid, Shihabuddin Ahmad, KitabAl-Fawaid Fi Ushuli ‘Ilm Al-Bahri Wa Al-Qawaid, terjemahan Ahmad Iqtidari dan Ommid Iqtidari, Tehran, Anjoman-e Osor va Mafokher-e Farhanggi (Yayasan Peninggalan Kultural), 1372 H.S, hlm. 420, juga Hudud Al-‘Alam Min Al-Masyriq Ila Al-Maghrib, atas usaha Manuchehr Sotudeh, Tehran, Perpustakaan Tahuri, 1362, hlm. 20.
- Marcopolo, Safar Nameh (Catatan Perjalanan), terjemahan Sayed Mansur Sajjadi dan Anjeladi Javani Dumanu, Tehran, Goyesy, 1363, hlm. 184-185; Mostaufi , Hamdullah, Nazhat Al-Qulub, Tehran, Dunia Buku, 1362 H.S, hlm. 230. 5 Smith, Datus, ibid, hlm. 43.
- Arnold, Torikh-e Gostaresy-e Eslam (Sejarah Penyebaran Islam), terjemahan Dr. Abul Fazl Ezzati, Tehran, Universitas Tehran, 1358 H.S, hlm. 266.
- Krachkovski, Ignati IUlianovich, Tarikh-e Nevesyteh-ha-ye Joghrafeyiy dar Jahan-e Eslam (Sejarah Tulisan-tulisan Geografis di Dunia Islam), terjemahan Abul Qosem Ponideh, Tehran, Markez-eEntesyarat-e Elmi va Farhanggi (Pusat Penerbitan Ilmiah dan Kultural), 1379 H.S, hlm. 111.
- Romhormozi, Bozorg bin Syahriyor, Ajaeb-e Hend (Keajaiban-keajaiban India), terjemahan Mohammad Malik Zodeh, Tehran, Bonyod-e Farhang-ge Iron (Yayasan Budaya Iran), 1348 H.S,