Berita
Dibilang Syiah, Siapa Takut?
Oleh Umar Shahab
Salah satu teori yang coba dibangun beberapa kalangan untuk menjatuhkan lawan atau pesaing di negeri ini ialah, “Tuding lawan atau pesaing Anda sebagai Syiah. Jika orang mulai percaya bahwa dia adalah Syiah maka itu adalah awal kejatuhannya.”
Kendati teori ini masih sangat mentah dan dengan mudah dapat dibantah, tetapi paling tidak telah membuat banyak pihak takut berbicara tentang Syiah dan atau berhubungan dengan orang-orang Syiah. Pada saat Munas MUI di Surabaya tahun 2015 lalu misalnya, banyak ulama anggota MUI yang sesungguhnya tidak sejalan dengan agenda anti-Syiah yang dipaksakan sebagian pimpinan Munas MUI Surabaya, tetapi karena khawatir dicap Syiah atau paling tidak pro-Syiah merekapun lebih memilih diam dan atau malah “setuju” dengan rekomendasi Munas MUI 2015 yang anti-Syiah.
Demikian juga saat berlangsungnya Muktamar ke-33 NU di Jombang, Jawa Timur 1-5 Agustus 2015 lalu, isu Syiah digunakan sebagian muktamirin dan calon-calon ketua yang bersaing untuk mejatuhkan kompetitor dan menggalang dukungan untuk dirinya. Bahkan kubu Said Aqil Siraj, Ketua PBNU yang dikenal sangat dekat dengan orang-orang Syiah dan terang-terangan memasang badan untuk membela Syiah perlu melakukan klarifikasi bahwa KH Aqil Siraj adalah orang NU tulen dan tidak ada tanda-tanda Syiah padanya, seperti yang ditandaskan KH Akhmad Said Asrori, ketua Tim Pemenangan Aqil Siraj, (Tempo, 1 Agustus 2015).
Emang ada apa dengan Syiah, kok sampai segitunya? Bahkan dengan alasan membendung faham Syiah sekelompok tokoh telah membentuk perkumpulan dan atau bahkan ormas khusus dengan agenda utama propaganda anti-Syiah dan program-program kerja kontra Syiah? MUI yang seharusnya menjadi rumah besar umat Islam Indonesia malah ikut-ikutan terpengaruh dengan membiarkan anggotanya, (MUI Jatim) mengeluarkan fatwa kesesatan Syiah dan membiarkan beberapa anggota pengurus MUI Pusat menulis dan mencetak ratusan ribu bahkan mungkin jutaan buku anti-Syiah dengan mengatasnamakan MUI tanpa melalui prosedur resmi MUI.
Sekali lagi, emang ada apa dengan Syiah, padahal isu Sunni-Syiah bukan masalah kemarin sore? Ia sudah ada bahkan sejak masa pertumbuhan awal Islam, sebagai akibat perselisihan mengenai siapa yang paling berhak atas kursi kekhalifahan pasca berakhirnya priode kenabian sepeninggal Nabi Muhammad saw. Mereka yang meyakini bahwa Ali lebih berhak atas kursi kekhalifahan karena Nabi telah menunjuknya sebagai Imam sesudahnya, itulah yang disebut Syiah, pengikut (Ali). Sedang yang menganggap bahwa Nabi tidak menunjuk siapapun, tapi menyerahkannya kepada pilihan kaum Muslimin disebut Sunni.
Pada masa awal itu perbedaan Sunni-Syiah terbatas pada masalah kecenderungan politik di atas, belum melebar ke persoalan-persoalan teologis apalagi fikih. Perbedaan teologis dan kemudian fikih baru mulai setelah umat Islam berakulturasi dengan umat dan budaya luar yang sedikit demi sediit mempengaruhi cara pandang umat Islam terhadap berbagai persoalan. Kaum Syiah yang merujuk kepada Keluarga Nabi (Ahlulbait), setelah Alquran dan Sunnah, menjadikan penjelasan-penjelasan Ahlulbait sebagai sumber utama dalam memahami agama, sedangkan kaum Sunni merujuk kepada Sahabat-sahabat Nabi dan memilih di antara pandangan-pandangan yang berbeda di antara para Sahabat yang di kemudian hari berhasil dirumuskan oleh al-Imam Abu Hasan al-Asyari dalam apa yang dinamakan sebagai I’tiqad Ahlussunnah wal Jamaah dalam bidang teologi dan oleh empat imam utama, Malik, Abu Hanifah, Syafii dan Ahmad Ibn Hanbal dalam bidang fikih.
Meski Sunni dan Syiah berbeda dalam pandangan politik, teologi, dan fikih, tetapi perbedaan di antara keduanya lebih bersifat interpretatif, penafsiran, ketimbang substansial. Masalah prinsip-prinsip keimanan atau yang lazim disebut di kalangan Sunni dengan istilah Rukun Iman misalnya, (ternyata) keduanya tidak saling menafikan yang lain. Bahkan masing-masing menerima dan mengakui prinsip yang lain. Keenam Rukun Iman Sunni, yaitu iman kepada Allah, malaikat, rasul-rasul, hari akhir dan qadha-qadar diterima secara bulat oleh kalangan Syiah. Demikian pula kelima prinsip keimanan (ushul al-iman), Syiah, yaitu tauhid, keadilan Ilahi, kenabian, imamah dan hari akhir dibenarkan oleh kalangan Sunni. Perbedaan keduanya hanya terletak pada perumusan prinsip dan penafsiran atas prinsip-prinsip yang dirumuskan.
Kalangan Sunni merumuskan prinsip-prinsip keimanan atas enam rukun di atas berdasarkan pada sebuah riwayat di antara beberapa riwayat yang menjelaskan tentang keimanan, sedangkan Syiah merumuskannya berdasarkan kesimpulan atas pokok-pokok persoalan keimanan dalam Islam. Dalam menafsirkan prinsip-prinsip yang dirumuskan, kalangan Sunni lebih menyandarkan pada argumen tekstual (naqli), sementara Syiah lebih berpijak pada argumen rasional. Hasilnya memang beda, tapi tidak sampai pada tingkat menyesatkan apalagi mengkafirkan masing-masing. Mereka, sebagaimana yang ditegaskan Resolusi (Risalah) Amman, yang ditandatangani oleh lebih dari 500 ulama Muslim yang mewakili Muslimin sedunia, adalah sama-sama Islam dan memiliki keyakinan dasar yang sama.
Jika pada masalah keyakinan (ushul) saja tidak ada persoalan berarti antara Sunni dan Syiah, maka lebih-lebih dalam masalah fikih atau furu’ karena sesuai karakternya, kajian fikih cenderung melahirkan perbebedaan. Itu sebabnya produk kajian fikih disebut khilafiyah. Tapi sekeras-kerasnya perbedaan dalam fikih, ulama fikih tidak pernah menyesatkan pandangan fikih yang berbeda dengannya. Bahkan dikutip dari hampir semua tokoh fikih, seperti Imam Syafii, bahwa: “pendapat (fikih)ku aku yakini benar, tapi tetap mengandung kekeliruan.” Prinsip ini juga berlaku antara fikih Sunni dan Syiah. Keduanya memang berbeda dalam banyak hal, akan tetapi menariknya, banyak analis yang percaya bahwa perbedaan antara sesama fikih Sunni, misalnya antara fikih Hanafi dan Syafii lebih besar daripada perbedaan fikih Syafiiy dan Ja’fari (Syiah).
Perbedaan yang tidak prinsipil ini, antara Sunni dan Syiah, telah ditegaskan oleh tokoh-tokoh kedua kelompok sepanjang sejarah bahkan, seperti yang telah disinggung di atas, tokoh-tokoh kedua mazhab telah membuat kesepakatan bersejarah pada tahun 2005 di Amman, Jordania, dengan bersama-sama menandatangani resolusi yang populer dengan nama Resolusi atau Risalah Amman yang mengakui hak dan kebenaran mazhab-mazhab utama Islam, baik dari kalangan Sunni maupun Syiah. Mazhab-mazhab utama itu adalah Hanafi, Maliki, Syafii dan Hambali dari kalangan Sunni, Ja’fari dan Zaidi dari kalangan Syiah plus Ibadhi dan Zhahiri.
Sebelumnya, pada tahun 1959, Syekh al-Azhar, yang merupakan representasi tertinggi komunitas Sunni dunia, yaitu Mahmud Syaltut, telah mengeluarkan fatwa bersejarah yang mengakui kebenaran mazhab Syiah Ja’fari atau Syiah Imamiyyah Itsna-Asyariyah dan Zaidiyah dan bahwa siapa pun boleh menganut keduanya sebagaimana halnya mazhab-mazhab Sunni yang lain.
Bahkan baru-baru ini, Senin 22 Februari 2016, sebagaimana dikutip portal resmi Kementerian Agama Republik Indonesia (kemenag.go.id), Grand Syekh al-Azhar, Dr. Ahmad Muhammad Ath-Thayyeb, pada kunjungannya ke MUI di hadapan anggota MUI yang beberapa di antara pengurusnya menyimpan “dendam” terhadap Syiah dan oleh karena itu terus-menerus memaksakan keluarnya fatwa kesesatan Syiah, menegaskan bahwa Sunni dan Syiah bersaudara dan bahwa tidak ada masalah pinsip (dalam ajaran Syiah) yang (dapat) menyebabkan kaum Syiah keluar dari Islam. Bahkan, tambahnya, banyak ajaran Syiah yang dekat dengan pemahaman Sunni dan bahwa perbedaan antara Sunni dan Syiah hanya pada masalah imamah. “Syiah mengatakan imamah bagian dari ushuluddin, kita mengatakan sebagai masalah furu’,” terangnya.
Jika demikian adanya, kenapa tetap saja ada pihak-pihak tertentu yang tidak peduli dengan nilai-nilai dan kebenaran sehingga terus memaksakan pandangan dan sikap antipatinya terhadap Syiah, bahkan dengan cara-cara yang keji dan tidak bertanggungjawab, seperti memfitnah Syiah meyakini bahwa Ali lebih mulia dari Nabi Muhammad saw dan bahwa yang seharusnya menjadi nabi adalah Ali bukan Muhammad saw tetapi karena Jibril salah alamat maka terpilihlah Muhammad saw sebagai nabi. Mereka juga memfitnah Syiah meyakini dan memiliki Alquran yang berbeda dengan golongan Islam lainnya, Syiah hajinya ke Karbala bukan ke Mekkah, Syiah melegalkan perzinahan dengan menghalalkan nikah mut’ah, bahkan bagi seorang perempuan bersuami sekalipun dan sebagainya; jika sedemikian ngototnya orang-orang ini memaksakan persepsi mereka yang keliru terhadap Syiah padahal Syiah jauh dari apa yang ditudingkan itu, maka pantas dong kita bertanya-tanya apa motif di balik semua itu?
Ada beberapa kemungkinan. Pertama, ketidaktahuan atau kesalahpahaman. Kedua, kebodohan. Ketiga, iri hati atau dengki. Keempat, sakit hati. Kelima, fanatisme, dan keenam, kepentingan; bisa politik, ekonomi maupun golongan. Ketidaktahuan, kesalahpahaman dan kebodohan sering kita jumpai pada masyarakat awam. Tapi bagaimana dengan para ulama? Adalah sangat ironi jika kita anggap bahwa para ulama pun boleh jadi tidak banyak yang mengerti tentang Syiah. Walau sangat logis bahwa ada ulama yang tidak tahu tentang Syiah karena Syiah di Indonesia masih masuk kategori barang baru, tapi seorang yang tidak mengerti harusnya tidak memberikan penilaian karena, sebagaimana yang diingatkan Alquran, penilaian tanpa dasar itu masuk kategori dosa (QS. al-Hujurat: 12) dan akan dituntut di hari kiamat kelak (QS. al-Isra: 36).
Apapun motifnya, yang pasti motif-motif di atas tidak dapat dibenarkan. Lalu, apa gak ada masalah pada Syiah?
Tentu. Sekelompok orang Syiah, seperti Yasir Habib dan kawan-kawannya yang tinggal di London, Inggris, kerap dengan sengaja memamerkan perilaku kebencian terhadap figur-figur Sunni yang sangat dihormati seperti melaknat Syaikhain, Abubakar dan Umar dan bahkan melaknat Aisyah, isteri Rasulullah, yang dengan nash Alquran dinyatakan sebagai Ummul-Mu’minin.
Tetapi apakah logis menimpakan kesalahan kepada semua penganut Syiah dan menuding mereka macam-macam hanya karena perbuatan sekelompok kecil manusia sakit yang bahkan terusir dari komunitasnya sendiri yang tidak sepakat dengan perilaku menyimpang yang ditunjukkannya? Sungguh suatu perbuatan nista.
Hal yang sama juga berlaku terhadap komunitas Sunni. Sangat tidak dapat dibenarkan menggeneralisir semua penganut Sunni atas perbuatan-perbuatan keji yang dilakukan sekelompok penganut Sunni seperti kaum takfiri karena mereka tidak mewakili mayoritas dan mainstream Sunni.
Nah, jika sudah terang-benderang masalah Syiah ini dan bagaimana pandangan ulama-ulama Sunni yang moderat terhadap Syiah, tetapi masih juga dituding macam-macam, maka tidak ada kata lain yang dapat kita ucapkan kecuali, seperti yang ditegaskan Imam Syafii,”Dibilang Syiah, siapa takut?” (Umar Shahab/Yudhi)