Opini
“SYIAH” ABI
“SYIAH” ABI
Oleh: Dr. Muhsin Labib
Islam diperkenalkan Nabi saw sebagai satu ajaran yang utuh. Kendati begitu, Islam ternyata dipahami beragam. Islam juga memiliki pandangan utama yang tersimpul dalam dua kalimat syahadat.
Tapi dalam kembara sejarahnya, Islam seolah terbelah-belah, setidaknya dalam dua sekolah pemikiran arus utama, Sunni dan Syiah.
Faktanya, Islam Sunni tak hadir monolitik. Di dalamnya bermunculan beragam faksi keyakinan dan fikih, termasuk opini individu.
Begitu pula Syiah, yang tunggal dalam fundamentalnya secara umum namun plural dalam detailnya. Mulai dari konten gagasan, referensi sejarah, modus periwayatan, produk ijtihad, dan sebagainya.
Terlepas dari polemik soal otentisitas ajaran dari masing-masing mazhab dan faksi-faksinya, fakta memperlihatkan umat Muslim punya pemahaman dan penafsiran yang cenderung berbeda tentang Islam. Ini pada level agama (Islam).
Demikian pula pada level mazhab. Umat Muslim Sunni hidup tersebar di pelbagai daerah yang masing-masing punya kekhasan budaya, etnis, sejarah, dan beragam faktor lain yang mengonstruksi aneka kelompok Sunni yang tak seragam. Beberapanya bahkan saling berhadapan.
Di ranah teologi atau kalam, terdapat Mu’tazilah, Asy’ariyah, Almaturidiyah, Salafiyah yang dulu disebut Ahlulhadits, dan lainnya. Di ranah fikih, ada Tsauriyah, Dhahiriyah, dan empat mazhab fikih arus utama dan dominan.
Di Indonesia sendiri, mayoritas penduduknya beragama Islam bermazhab Sunni. Kendati mayoritas, mazhab Sunni tidak direpresentasi oleh satu kelompok atau submazhab.
Selain sekolah pemikiran teologi Sunni yang dianut mayoritas berupa Asy’ariyah dan mazhab fikihnya adalah Syafii, masih banyak kelompok Islam Sunni lain di negeri ini yang masing-masing hadir dan tumbuh dengan ciri dan pola yang khas.
Baca juga : Ali bin Abi Thalib Diagungkan Syiah, Sunni, dan Non-Muslim
Aneka kelompok dalam tubuh Sunni juga tidak terwadahi dalam satu organisasi. Nahdlatul Ulama (NU), misalnya, bukan satu-satunya organisasi keislaman di sini–kendati NU dapat dianggap sebagai representasi dari kombinasi teologi Asy’ariyah dan yurisprudensi Syafiiyah berciri tradisional dan bervisi kultural, dengan mengusung program dan kepentingan kelompoknya sendiri.
Ada pula organisasi Muhammadiyah yang berorientasi pada pembaharuan sosial dan pemikiran, dus mengusung isu-isu kemodernan, dengan mengusung visi dan program yang sesuai dengan kepentingannya sendiri.
Bagaimana dengan Muslim Syiah? Pun demikian. Mazhab keislaman yang di beberapa wilayah kerap dipinggirkan bahkan diintimidasi ini dianut beragam individu yang hidup di banyak kawasan.
Tentunya masing-masing kawasan tersebut memiliki kultur dan karakter domestiknya sendiri, serta terbentuk lewat proses sejarah yang khas.
Berdasarkan latarbelakang kemazhabannya, Muslim Syiah dapat dibagi dalam dua kategori. Pertama, Muslim Syiah yang lahir dari keluarga Muslim Syiah dan hidup di lingkungan sosial Syiah.
Kedua, Muslim Syiah yang semula Muslim Sunni, tak tahu masalah mazhab, atau non-Muslim yang memeluk Islam dan langsung menganut mazhab Syiah.
Mereka lazim disebut mustabshir atau mutasyayyi’, kendati kadar dan kualitas kesyiahan setiap mustabshir tak selalu sama dan lengkap dalam konteks keyakinan (akidah) dan pengamalan (fikih), terutama dalam detail prosedur taqlid yang lumayan ketat serta memerlukan perhatian ekstra dan kesiapan mental untuk mengaplikasikan secara utuh.
Syiah di Indonesia yang semula hanya tampil sebagai ajaran mistik dan kultural, perlahan-lahan mulai mengalami komunalisasi, untuk kemudian mencipta komunitas khas.
Para individu Muslim Syiah yang tergabung dalam komune tersebut adalah partisipan mazhab non Sunni yang kian terkoneksi, khususnya sejak Imam Khomeini merubuhkan monarki Pahlevi dan menginisiasi negara republik dengan konsitusi yang disarikan dari Islam mazhab Syiah dan khazanah budaya domestiknya.
Baca juga : Syiah Hakiki dalam Pandangan Sayyidah Fathimah
Sesuai faktanya, sebagian besar atau bahkan boleh jadi nyaris semua warga Indonesia yang bermazhab Syiah terkategori mustabshir.
Tentunya kadar kesyiahan sebagian warga Indonesia bersifat gradual dan variatif, bergantung pada tendensi atau kecenderungan, latar belakang pendidikan, keluarga, dan masyarakat, serta intensitas interaksi, dan sejumlah faktor lainnya.
Kedua faktor inilah (Iran serta Imam Khomeini dan istibshar) yang kerap membingungkan hingga menimbulkan kesulitan bagi pihak eksternal komunitas untuk objektif memahami karakteristik komunitas Syiah di Indonesia.
Setiap pihak yang gagal berpikir objektif akan cenderung mengedepankan prasangka stereotip dengan, misalnya menuduh komunitas Syiah tak punya komitmen kebangsaan dan kenegaraan Indonesia.
Sampai-sampai muncul tuduhan bahwa komunitas Muslim Syiah di sini, sebagaimana para pengusung khilafah, bernafsu mendirikan sistem pemerintahan ala Iran (padahal, sistem pemerintahan di Iran sepenuhnya khas sejarah rakyat Iran selepas peristiwa revolusi di bawah kepemimpinan Imam Khomeini).
Katakanlah keinginan itu memang ada di tengah komunitas Muslim Syiah. Namun, kalau pun memang ada, maka itu bukanlah keinginan arus utama.
Keinginan itu bahkan dipandang menyempal dan telah terbukti tidak kredibel secara intelektual, moral, maupun legal. Tentunya pula pendapat/perilaku individu atau fenomena partikular semacam itu tidaklah mewakili keseluruhan komunitas Syiah di Indonesia.
Sebagaimana komunitas keagamaan lainnya, komunitas Muslim Syiah di Indonesia juga merupakan gabungan dari sejumlah individu warga negara Indonesia. Mereka berasal dari latar suku, daerah, lingkungan sosial, dan taraf pendidikan yang beragam.
Dengan semua kebhinnekaan itu, rata-rata mereka cenderung memiliki kesadaran sebagai Muslim yang menganut mazhab Ahlulbait (Syiah) sekaligus bagian integral dari keluarga besar bernama Indonesia.
Baca juga : Toleransi Muslim Syiah
Mazhab Ahlulbait terlalu besar untuk diwakili oleh satu individu, bahkan oleh sebuah organisasi kemasyarakatan (ormas) sekalipun. Apalagi jika mengingat fakta bahwa suatu ormas terlahir dari beberapa anasir dalam suatu komunitas sehingga meniscayakan ormas itu selamanya hanya sebagai bagian, bukan pengganti, dari komunitas tersebut.
Lebih jauh, fungsi ormas bagi komunitas adalah menyeragamkan program dan tujuan bersama yang disepakati, bukan meyeragamkan fakta keragaman sosial dan intelektual dalam komunitas.
Seiring bergulirnya waktu, komunitas Muslim Syiah di Indonesia menghadapi serangkaian tantangan internal maupun eksternal.
Sebagai proyeksi dan antisipasi terhadap semua itu, beberapa individu Syiah lalu berinisiatif untuk membentuk organisasi berskala nasional.
Inilah salah satu ikhtiar hingga koridor konstitusional bagi komunitas Muslim Syiah untuk ikut berkontribusi dalam proses kehidupan berbangsa dan bernegara. Inilah pula salah satu alasan dibentuknya ormas Ahlulbait Indonesia (ABI).
Sebagai ormas, ABI hanya boleh mewadahi individu-individu penganut mazhab keislaman Syiah berwarga negara Indonesia.
Semua individu Syiah yang tergabung di dalamnya akan didaftar secara formal sebagai anggota, baik berupa pengurus, kader, maupun anggota biasa (dengan segala hak dan kewajiban institusional masing-masing).
Dengan catatan, ABI lagi-lagi bukan representasi tunggal dari mazhab keislaman Syiah, juga bukan representasi seluruh Muslim bermazhab Syiah.
Baca juga : Sunni CIA dan Syiah MI6 Bekerja Memecah-belah Umat Islam
Dengan berdirinya ABI, diharapkan para insan Syiah yang tergabung di dalamnya menjadi kompak, dalam arti tidak berujar, bersikap, dan berbuat sesuka hati.
Sebab, boleh jadi sesuatu itu dipandang penting, legal, dan layak ditanggapi secara lisan, sikap, maupun tindak, namun tidak maslahat atau bahkan berpotensi mudarat dalam jangka dekat maupun panjang, bagi kehidupan bersama, baik sebagai komunitas, terlebih sebagai keluarga besar Republik Indonesia.
Nah, kekompakan yang diikhtiarkan ABI dalam kehidupan organisasinya akan mendorong para anggotanya untuk lebih memilih menghindar dari memberi tanggapan tersebut. Atau setidaknya menanti dan menaati arahan pimpinan.
ABI juga didirikan untuk menyatukan potensi dan aktualusasinya dalam kerja-kerja kolektif dan programatik. Karenanya, diperlukan edukasi yang bersifat sistematis demi menyelaraskan paradigma yang diusung para anggotanya.
Paradigma dimaksud tertuang dalam lima prinsip: kemanusiaan, keislaman, kesyiahan, kewargaan, dan ke-ABI-an.
Kesyiahan merupakan salah satu prinsip sekaligus identitas religius seluruh elemen ABI yang bersifat universal dan luas, yang tentunya mengandung ragam perbedaan partikularnya.
Karena itu, perlu kiranya diupayakan klarifikasi hingga standarisasi pemahaman sesuai konteks kewargaan (kehidupan sebagai bangsa dan warga negara Indonesia) serta keorganisasian alias ke-ABI-an.
Semua itu diharapkan menjadi bekal moral dan intelektual bagi seluruh komponen ormas ABI dalam berkiprah di tengah masyarakat.
Dengan demikian, setidaknya Muslim Syiah dalam ABI (se-idealnya Muslim Syiah di seluruh Indonesia), dapat menjadi para kader agama dan negara yang punya peran dan manfaat sosial yang konstruktif dan kreatif bagi kelangsungan dan kemajuan ibu pertiwi yang kita cintai bersama.
Salam Indonesia!
Baca juga : Syiah-Sunni di Bawah Panji Imam Husain