Ikuti Kami Di Medsos

Opini

Setelah Rusia Dikenai Sanksi Olahraga, Masih Adakah yang Percaya Kebohongan Besar Ini?!

Setelah Rusia Dikenai Sanksi Olahraga, Masih Adakah yang Percaya Kebohongan Besar Ini?!

Setelah Rusia Dikenai Sanksi Olahraga, Masih Adakah yang Percaya Kebohongan Besar Ini?!

Oleh: Habib Zahir bin Yahya (Ketua Umum DPP Ahlulbait Indonesia)

FIFA dan UEFA belum lama ini mengambil langkah yang sepenuhnya bersifat politis. Dalam sebuah pernyataan, mereka sama-sama memutuskan untuk melarang tim nasional dan seluruh klub sepakbola Rusia berpartisipasi dalam semua ajang kompetisi hingga pemberitahuan lebih lanjut. Kedua lembaga federasi sepakbola ini menggunakan dalih “solidaritas dan dukungan untuk Ukraina”, sambil berharap agar sepakbola sekali lagi akan menjadi penyebab persatuan dan perdamaian antar negara.

Akibat keputusan FIFA dan UEFA itu, tim nasional dan klub-klub sepakbola Rusia tak dapat ikut berpartisipasi dalam Piala Dunia Qatar 2022. Moskow juga tidak dapat ikut serta dalam pertandingan playoff kualifikasi Piala Dunia 2022 melawan Polandia.

Ternyata, semua itu hanyalah awal dari sebuah cerita yang lebih panjang. Menyusul keputusan FIFA dan UEFA, Komite Olimpiade Internasional meminta federasi-federasi olahraga dunia untuk memindahkan kompetisinya dari Moskow ke tempat lain.

Federasi Judo Dunia juga tidak mau ketinggalan. Lembaga itu bereaksi dengan mendukung Ukraina dan menangguhkan posisi Vladimir Putin sebagai presiden kehormatan federasi tersebut.

Baca juga : FIFA Menerapkan Standar Ganda, Indonesia Gagal Sebagai Tuan Rumah U-20, Sukses Sebagai Pelopor Kemerdekaan

Kumpulan perilaku ini menunjukkan bahwa seluruh federasi olah raga dunia yang kerap menyuarakan slogan “politik terpisah dari olahraga”, hingga kerap mendenda dan melarang klub dan pemain yang terlibat dalam “aksi politis”, masih berada di bawah pengaruh kekuatan politik dunia. Itulah kenapa FIFA menyangsi dan melarang Rusia ikut partisipasi dalam Piala Dunia Qatar 2022. Anehnya, FIFA sama sekali tidak melarang Amerika Serikat yang mengagresi Afghanistan pada 2001, ikut berpartisipasi dalam Piala Dunia Korea-Jepang 2002. Begitu pula saat Amerika Serikat menginvasi Irak pada 2003, Komite Olimpiade Internasional tetap membolehkannya ikut Olimpiade Athena 2004.

Federasi Judo Dunia yang menangguhkan posisi Vladimir Putin sebagai presiden kehormatan federasi ini adalah lembaga yang sama yang mengeluarkan judoka Aljazair, Fathi Norin, dari Olimpiade Tokyo 2022 akibat menolak melawan atlet rezim zionis. Tak hanya itu, Fathi dan pelatihnya bahkan dilarang ikut ajang judo Federasi Judo Internasional (IJF) selama 10 tahun!

Dari sudut pandang organisasi-organisasi ini, politik terpisah dari olahraga selama kepentingan politik mereka tidak terganggu. Sanksi olahraga dikenakan terhadap Rusia karena negara ini telah menyerang Ukraina, salah satu sekutu Amerika Serikat dan Eropa.

Bukan rahasia lagi jika olahraga pada dasarnya memang terkait dengan politik. Berbagai temuan penelitian di bidang ini menyebutkan bahwa olahraga dapat memainkan peran strategis dalam meningkatkan dan memperbaiki citra suatu bangsa; memperkuat persahabatan, meningkatkan perdamaian, promosi perdagangan dan pariwisata, serta yang paling penting, meningkatkan hubungan internasional demi persahabatan antar bangsa. Meski demikian, berbagai sanksi olahraga atas Rusia akhir-akhir ini menunjukkan standar ganda Barat juga berlaku dalam bidang ini.

Baca juga : Pemenang Piala Dunia Qatar 2022 adalah Palestina!

Memang, Amerika Serikat dan Eropa tidak dapat diharapkan untuk tidak bersikap mendua dalam politik. Tapi, bagaimana dengan mereka yang tertipu oleh cawe-cawe politik dan media ini? Masih adakah pejabat di negeri ini yang mempercayai kebohongan besar “politik terpisah dari olahraga”, apalagi sampai menggunakannya sebagai dalih untuk meyakinkan rakyat Indonesia soal kebolehan tim nasional sepak bola U-20 rezim kolonial “Israel” datang ke Indonesia untuk ikut perhelatan sepak bola dunia pada tahun mendatang?

Pastinya, para pengambil kebijakan di negeri ini mengalami kesulitan ketika berhadapan dengan hanya dua opsi. Pertama, tetap menjadi tuan rumah Piala Dunia sepak bola U-20 2023 dengan semua proyeksi keuntungan ekonomi, perdagangan, pariwisata, dan politiknya. Konsekuensinya, Indonesia harus menerima kedatangan timnas rezim penjajah zionis dengan tangan terbuka. Atau, kedua, melewatkan peluang besar tersebut dengan menolak kedatangan timnas rezim kolonial zionis yang belum pernah diakui keabsahannya oleh Indonesia, setidaknya secara diplomatik.

Pilihan antara bersikap idealis atau pragmatis memang seringkali mematikan. Pandangan dan sikap idealis cenderung memastikan nilai dan kebenaran itu bersifat abadi dan tidak dapat berubah. Apa yang berubah dan dipandang buruk pada beberapa tempat atau situasi tapi dipandang baik pada beberapa tempat atau situasi lain, bukanlah nilai, melainkan penilaian manusia tentangnya. Sementara pragmatisme politik mengukur benar dan salahnya sebuah sikap berdasarkan pada hasil dan manfaat yang diperoleh darinya, kendati itu terkadang bertentangan dengan doktrin dan ideologi yang selama ini disuarakan.

Oleh sebab itu, kemampuan dalam merebut kesempatan menjadi tuan rumah event bergensi sepakbola dunia yang menjanjikan banyak manfaat bagi Indonesia dan, pada saat yang sama, mempertahankan nilai kebaikan yang diamanatkan Konstitusi Republik Indonesia (berupa menolak semua bentuk penjajahan) dan menghormati rasa keadilan masyarakat dengan tidak mengizinkan kesebelasan rezim penjajah “Israel” masuk ke Indonesia untuk ikut serta dalam ajang Piala Dunia U-20 adalah ujjan besar bagi para pemangku kebijakan negeri ini. Dus, menjadi neraca yang akan menimbang, bukan saja integritas, tapi juga tingkat kecerdasan dan skil diplomasi para penentu dan pelaku kebijakan di negeri tercinta Indonesia.

Salam cerdas.

Baca juga : Mengapa Amerika Jengkel?

Continue Reading
Click to comment

Leave a Reply

Your email address will not be published. Required fields are marked *