14 Manusia Suci
Biografi Singkat Imam Hasan al Askari As
Abu Muhammad Hasan bin Ali as adalah Imam kesebelas bagi para pengikut Muslim Syiah dan dia adalah ayah Imam Zaman as, dia lahir di kota Madinah pada tahun 232 H. Kemasyhurannya dengan “Askari” diyakini karena dia dipaksa untuk tinggal di sebuah kota militer Samarra.
Pembatasan-pembatasan yang ketat dari pihak pemerintah pada kehidupan Imam Askari as menyebabkannya memilih perwakilan untuk berkomunikasi dengan para pengikut Syiah. Utsman bin Said adalah salah satu perwakilan khususnya, yang mana sepeninggal Imam Askari as dan masuk pada periode kegaiban kecil, dia juga akan berperan sebagai gerbang pertama atau dalam istilah lain, duta atau seorang pengacara dan wakil Imam Mahdi as.
Banyak hadis yang telah dikutip dari Imam al-Askari as tentang berbagai masalah, termasuk penafsiran Alquran, etika, fikih, urusan keimanan (teologi), doa, ziarah.
Keturunan Imam Hasan Askari as adalah sebagai berikut: Ibnu Ali bin Muhammad bin Ali bin Musa bin Ja’far. Ibunya, menurut kutipan beberapa sumber, adalah seorang budak wanita dengan sebutan “Hudaits” atau “Haditsah”. Beberapa sumber lain juga menyebutkan bahwa nama ibunya adalah “Susan”, [1] ” ‘Isfan” [2] dan “Salil” dan mereka telah memujinya dengan sebuah ungkapan bahasa Arab: کانت من العارفات الصالحات, dia adalah wanita yang arif, kompeten dan baik,. [3]
Imam Hasan Askari as lahir di bulan Rabiul Tsani, hari kesepuluh [4] atau kedelapan [5] atau keempat [6] Pada tahun 232 H. di Madinah dan menjalani kehidupannya di sana selama 28 tahun. [7] Beberapa pendapat meyakini bahwa kelahirannya terjadi di salah satu bulan pada tahun 231. [8]
Imam Askari as di hari kedelapan bulan Rabi’ al-Awwal tahun 260 H. meninggal dunia. [9] Namun, sebagian orang juga menjelaskan bahwa dia meninggal dunia pada bulan Jumadi al-Tsani di tahun yang sama. [10]
Menurut kutipan pendapat yang masyhur adalah sebenarnya Imam Hasan Askari as sama sekali tidak pernah memilih seorang wanita untuk dijadikannya sebagai istri dan generasinya hanya berlangsung melalui seorang hamba sahaya yang mana itu adalah ibu bagi Imam Zaman Af. Namun sesuai dengan kutipan Syaikh Shaduq dan Syahid Tsani ibu Imam Zaman as bukanlah seorang hamba sahaya dan memang sengaja dinikahi oleh Imam Hasan Askari as. [11]
Terdapat banyak sumber yang menyebutkan bahwa nama ibu Imam Mahdi as bervariasi. Disebutkan dalam beberapa sumber bahwa Imam Hasan Askari as banyak mempunyai pembantu-pembantu dari berbagai negara seperti Romawi, Sisilia dan Turki. [12] Dan mungkin perbedaan yang terjadi dalam penamaan ibu Imam Mahdi ini, dari satu sisi adalah karena banyaknya para budak yang ada dan yang lainnya adalah karena untuk menjaga rahasia kelahiran Imam Mahdi as.
Namun hikmah dan sebab yang ada dapat disimpulkan bahwa selain nama Narjis yang sudah dikenal sebagai nama ibu untuk Imam Zaman as untuk para pengikut Syiah, [13] nama termasyhur lainnya yang tercantum dalam beberapa sumber adalah Shaqil. [14] Susan, [15] Raihanah dan Maryam adalah nama-nama lain yang telah disebutkan. [16] Dan menurut kebanyakan sumber-sumber yang ada dalam Syiah dan Sunni, satu-satunya keturunan Imam adalah Imam Zaman as yang dinamakan dengan Muhammad. [17]
Dan karena Imam Hasan Askari as adalah ayah Imam Zaman as, [18] maka raut tokoh ini untuk para pengikut Syiah senantiasa muncul dan timbul dari kepribadian Imam Hasan Askari as. Oleh karena itu, menurut pandangan yang masyhur di kalangan Imamiyah adalah kelahiran Imam Mahdi as jatuh pada pertengahan Sya’ban 255 H. tetapi ada juga yang meyakini bahwa tahun kelahirannya adalah 256 H. atau 254 H. [19]
Adapun mengenai anak keturunan beliau, banyak pendapat yang diutarakan. Sebagian mengatakan bahwa Imam memiliki 3 anak laki-laki dan 3 anak perempuan, [20] di kalangan Imamiyah juga ada yang berpendapat mirip dengan pandangan terakhir ini; Khusaibi menambahkan bahwa selain Imam Zaman as, imam juga memiliki dua orang putri bernama Fatimah dan Dalalah. [21] dan Ibnu al-Tsalj juga menambahkan bahwa selain Imam Mahdi as, Imam juga memiliki seorang putra bernama Musa dan dua orang putri bernama Fatimah dan Aisyah, [22] namun dalam sebagian buku Ansāb, nama-nama yang disebutkan di atas tadi adalah nama-nama saudara laki-laki dan saudara perempuan Imam Hasan Askari as [23] yang ada kemungkinan terbaur dengan nama anak keturunannya. Begitu juga sebaliknya, sebagian dari ulama Sunni seperti Ibnu Jarir Thabari, Yahya bin Said dan Ibnu Hazm meyakini bahwa Imam sama sekali tidak mempunyai keturunan. [24]
Syaikh Mufid meyakini bahwa Hasan bin Ali (Imam Hasan Askari) sepeninggal ayahnya Imam Hadi as, karena memiliki keutamaan-keutamaan yang lazim dan keunggulan-keunggulan yang lebih dari pada yang lain dalam mengontrol dan mengatur urusan kepemimpinan, begitu pula karena adanya riwayat dari Imam Hadi as sebagai Imam kesepuluh Syiah. [25] Dalam sebuah riwayat dari Imam Hadi as yang dinukil oleh Ali bin Umar Noufeli berkata:
- “Saya pernah bersama Imam Hadi as di halaman teras rumahnya tiba-tiba anaknya Muhammad –Abu Ja’far- lewat di hadapan kami. Kemudian aku berkata: jiwaku menjadi tebusanmu wahai Imam! Apakah dia ini adalah imam kami setelahmu? Dia menjawab: Imam kalian setelahku adalah Hasan as”. [26]
Sebenarnya hanya segelintir orang saja yang berdatangan meyakini keimamahan Muhammad bin Ali (yang meninggal di saat ayahnya Imam Hadi as masih hidup) dan begitu pula orang-orang yang meyakini bahwa Ja’far bin Ali adalah imam, jumlah mereka bisa dihitung dengan jari. Kebanyakan para sahabat dan penolong Imam Hadi as meyakini keimamahan Imam Hasan Askari as dan berkorban deminya. Masudi meyakini bahwa kebanyakan kalangan Syiah duabelas imam adalah para pengikut Imam Hasan Askari as dan putranya yang mana di dalam sejarah mereka ini terkenal dengan kelompok Qath’iyah. [27]
Kehidupan di Samarra
Ketika Imam Hasan Askari berumur satu tahun, beliau dibawa ke kota Samarra bersama ayahnya pada tahun 233 H/ 847 M dan dia memulai kehidupannya di sana. [28]
Selama bertahun-tahun dari kehidupan Imam di Samarra, selain beberapa kali dipenjara, kelihatannya kehidupan dia sama seperti warga biasa, walaupun, perilakunya berada di bawah pengawasan Dinasti Abbasiyah. Berdasarkan bukti-bukti sejarah dapat diakui bahwa Imam Askari as sebagaimana para imam Syiah yang lain, jika dibebaskan beliau akan memilih untuk hidup di Madinah ketimbang Samarra. Oleh karena itu, selama beliau tinggal di Samarra, hal itu dianggap sebagai bentuk penahanan dari pihak para khalifah Abbasiyah. Hal yang khusus ini disebabkan adanya jaringan yang tersusun dan terdiri dari para pengikut Syiah yang memang sudah terbentuk cukup lama dan dalam pandangan para khalifah hal ini memiliki kepentingan yang begitu besar sehingga dapat mengkhawatirkan dan menjadi penyebab ketakutannya.
Oleh karena itu, Imam dimohon untuk selalu hadir dan senantiasa menetap di Samarra supaya selalu berada dalam pengawasan Dinasti Abbasiyah; sebagaimana pernyataan yang dikatakan oleh salah satu pelayan Imam as, menurut penukilannya Imam setiap hari Senin dan Kamis harus selalu hadir di Dar al-Khilafah secara terpaksa. (dalam sebagian naskah disebut dengan Dar al-‘Amah yang mana kemungkinan besar itu adalah Dar al Khilafah). [29]
Walaupun terlihat secara lahiriah adalah sebuah penghormatan untuk Imam, namun sebenarnya hal itu adalah sebuah pengawasan yang dilakukan oleh pihak pemerintahan saat itu.
Para pengikut Syiah menghadapi kesulitan untuk menemui Imam; dimana ketika Khalifah pergi untuk melihat gubernur Basrah dan Imam juga dibawa bersama dengannya, para sahabat Imam di sepanjang jalan bersiap-siap untuk melihatnya. [30] Dari hikayat ini dapat dipahami dengan baik bahwa dalam kehidupan Imam, setidaknya ada waktu untuk melihatnya, walaupun tidak secara langsung.
Ismail bin Muhammad berkata: Aku duduk menghalangi jalan Imam untuk meminta bantuan uang dan ketika dia melewati jalan aku langsung meminta bantuan uang kepadanya. [31]
Perawi yang lain menukil bahwa di suatu hari telah dijanjikan bahwa Imam akan datang ke Dar al-Khilafah, kami berkumpul di sebuah pengepungan menunggu kedatangannya. Dalam situasi tersebut kami menerima sebuah catatan darinya yang kandungannya adalah sebagai berikut: Jangan ada seorangpun dari kalian yang memberikan salam atau isyarat ke arahku; karena kalian tidak akan berada dalam keamanan. [32] Riwayat ini dengan jelas menunjukkan bahwa seberapa kuat tangan kaki khalifah mengawasi tindakan dan hubungan Imam dengan para pengikutnya dan kemudian mengontrol mereka. Tentunya Imam juga dalam banyak kesempatan mempunyai waktu-waktu tertentu untuk saling bertemu dan mereka mempunyai cara tersendiri untuk membuat situasi tersebut. Salah satu kontak atau hubungan Imam dengan para pengikutnya adalah dengan cara surat menyurat dan ini juga disebutkan dalam banyak sumber yang sering kita temui. [33]
Batasan-batasan yang ketat dan larangan-larangan yang keras pemerintah terhadap kehidupan Imam Askari menyebabkannya untuk menggunakan para delegasi untuk mengadakan hubungan dengan para pengikut Syiah dan beberapa orang berada dalam jumlah tersebut. Dalam hal ini salah seorang dari mereka adalah Uqaid, seorang pelayan khusus Imam yang juga semenjak dari masa kecil diasuhnya dan pembawa surat Imam terbanyak untuk para pengikutnya. [34] Dan seorang dengan julukan yang asing dan aneh Abu al-Adyan juga seorang pelayan untuk Imam as yang juga mempunyai tugas untuk menyampaikan sebagian surat-surat Imam. [35] namun yang sudah dapat dipastikan bahwa dia adalah seorang yang ditunjuk sebagai wakil Imam sebagaimana yang disebut dalam sumber-sumber Syiah adalah Utsman bin Said. Yang mana peranan Utsman bin Said setelah Imam Hasan Askari as wafat terus berlanjut dengan masuknya masa kegaiban kecil, sebagai orang pertama yang menjadi wakil dan duta serta pengganti khusus Imam Zaman as. [36]
Situasi dan Keadaan Imam di Samarra
Imam Hasan Askari as walaupun usianya masih belia, namun dikarenakan situasinya yang tinggi dari sisi ilmu dan moral, terlebih-lebih beliau adalah pemimpin orang-orang syiah dan keyakinan mereka kepada Imam tanpa ada sedikitpun kecurigaan dan penghormatan masyarakat kepadanya tanpa disangsikan lagi, menemukan reputasi yang besar. Begitu juga dengan hal tersebut dia mendapat perhatian Ahlusunnah dan Syiah, pemerintahan Abbasiyah selain pada beberapa hal, secara lahir menunjukkan penghormatannya kepada Imam.
Dari berbagai riwayat menunjukkan kondisi sosial dan moral baik Imam as di tengah kalangan masyarakat secara umum dan bahkan buat para pengikut Syiah secara khusus, dengan mengingat bahwa perawi hadis atau riwayat ini adalah salah seorang pembenci berat Ahlulbait as. Pelayan Imam Askari as berkata: Hari-hari dimana Imam pergi ke tempat kediaman khalifah, rasa gembira dan kebahagiaan yang tak terkira merasuk ke hati-hati penduduk. Jalan-jalan yang dilewati Imam penuh dengan penduduk dan dengan kendaraan mereka. Ketika Imam datang, hiruk pikuk jalanan hening seketika. Imam berlalu di tengah-tengah penduduk dan memasuki ruang pertemuan. [37] hal ini adalah suatu hal yang alami dan dapat dipastikan bahwa kebanyakan dari mereka adalah para pengikut Syiah yang berdatangan ke Samarra dari segala penjuru, baik dekat maupun jauh, untuk melihat Imam mereka; walaupun keinginan dan kecintaan seluruh penduduk kepada keturunan Rasulullah saw mereka juga bersemangat untuk melihatnya, hal inilah yang menjadi sebab ramainya penduduk.
Periode Penahanan Imam
Priode Imamah dan kepemimpinan Imam Hasan Askari as bertepatan dan bersamaan dengan tiga Khalifah: Mu’taz Abbasi (252-255 H), Muhtadi (255-256 H) dan Mu’tamid (256-279 H). [38]
Sebagaimana yang telah disinggung sebelumnya bahwa kedatangan Imam Hadi as beserta putranya Imam Askari as ke Samarra atas perintah Mutawakil Abbasi dan ini berarti memenjarakan kedua imam tersebut di dalam kota dengan tujuan mengontrol mereka dan hubungan mereka dengan para pengikut Syiahnya. Dalam beberapa keadaan selama penahanan ayah dan anak, terjadi banyak penekanan dan ketidakbebasan; khususnya ketika munculnya gerakan-gerakan tertentu yang mengancam pemerintahan, pribadi Imam bersama beberapa pengikutnya ditangkap dan dimasukkan ke dalam penjara.
Ada banyak riwayat yang mengungkit tentang penahanan Imam Askari as. Shaimuri dalam buku al-Aushia’ meriwayatkan dan berkata: “Aku sendiri melihat tulisan khat Abu Muhammad Askari as ketika ia keluar dari penjara Mu’tamid yang di situ ayat ini tertulis di dalamnya:
Imam sebelum wafatnya di akhir-akhir tahun 259 H. Ibunya ia kirim untuk berangkat haji dan segala yang akan terjadi padanya di tahun 260 H telah dikatakan kepadanya dan ia berpesan tentang putranya Imam Mahdi as dan Nama Agung dan juga warisan imamah dan senjata diserahkan kepadanya. Ibu Imam berjalan ke Mekah dan Imam Mahdi as juga dibawa bersamanya. [40]
Imam Askari as sakit pada awal bulan Rabiul Awwal tahun 260 H dan pada hari kedelapan bulan tersebut dia wafat pada usianya yang ke 28 di Samarra (Sarra man ra’a) dan dimakamkan di sebuah rumah yang ayahnya juga dimakamkan di situ. [41]
Thabarsi (wafat 548) mencatat: Kebanyakan dari para sahabat kami (yaitu ulama Syiah) meyakini bahwa Imam wafat karena diracun dan begitu seterusnya sebagaimana ayah dan para datuknya dan seluruh Imam Syiah menemukan kesyahidan mereka dan alasan para ulama Syiah dalam hal ini adalah sebuah riwayat Imam Shadiq as, ia bersabda: