Ikuti Kami Di Medsos

Berita

Biografi Sayyid Radhi, Pengumpul Ucapan Imam Ali as dalam Nahjul Balaghah

Sayyid Radhi atau lebih dikenal dengan Syarif Radhi, bernama lengkap Muhammad bin Abi Ahmad Hasani, merupakan ulama besar Ahlulbait dan penyair terkemuka di zamannya. Beliau dihormati kalangan Syiah dan Sunni karena kezuhudan dan ketakwaannya. Beliau lahir pada 359 H (970 M).

Sayyid Radhi berasal dari keluarga besar dan sadat Hasyimi serta Bani Abi Thalib. Karenanya, beliau digelari “syarif”. Nasab ayahnya sampai pada Imam Musa bin Ja’far as dengan 5 perantara. Sementara Ibundanya merupakan cucu Imam Ali Zainal Abidin as.

Ayahnya, Abu Ahmad Husain bin Musa Alawi, adalah sosok alim, pemimpin, dan naqib Bani Abi Thalib. Beliau termasuk pelindung masyarakat dan memangku jabatan di Diwan Mazhalim serta amirul haj. Tugas menjadi pemimpin (niqabat) amatlah penting dari aspek maknawi dan kemasyarakatan. Abu Ahmad memiliki kedudukan tinggi dan sangat penting dalam kekhalifahan Abbasiyah serta Dinasti Buyid di zamannya.

Syarif Radhi termasuk salah satu ulama langka di masanya dan berguru pada sejumlah guru besar. Beliau seorang ahli tata bahasa yang mahir, terkenal, sosok fakih yang mumpuni, teolog berbakat, mufasir handal al-Quran dan hadis nabawi. Sebagian ulama berkata, sekiranya tak ada Radhi, Murtadha menjadi penyair paling terkenal, dan jika tak ada Murtadha, Radhi menjadi sosok paling pintar di tengah masyarakat. (Ja’fari, Sayid Radhi, hal. 21)

Selain menekuni ajaran Ahlulbait, Sayyid Radhi juga belajar dari ulama-ulama lain. Abdul Husain Hilli menyebutkan alasan Sayyid Radhi mempelajari fikih dan ushul fikih selain Syiah Imamiyah: Sebagian orang yang berpikiran sederhana menilai sikap berlebihan dalam tindakan Sayyid Radhi yang mempelajari fikih, ushul fikih, dan kalam serta terheran-heran atas kepercayaan orang-orang yang berseberangan dengan mazhab Syiah. Pasalnya, menurut mereka, yang terpenting adalah seseorang mencukupkan diri dengan mempelajari mazhabnya sendiri.

Namun, para ulama di abad-abad sebelumnya, tidak pernah puas jika belum mempelajari hadis, fikih, dan ushul fikih kedua mazhab arus utama sehingga mereka sendiri akan mengenalnya secara sempurna dan meluaskan penyucian serta tarbiyahnya sendiri, unggul dalam berargumentasi karena forum debat pada masa itu sangat terbuka, perdebatan tentang Imamah dan Kalam sangat nyata. Di samping itu, mengingat Sayyid Radhi juga bertanggung jawab dalam hal pengadilan di Diwān al-Mazhālim (semacam dewan peradilan), tanggung jawab dan kewajiban seperti itu secara jelas memotivasinya untuk mempelajari fikih semua mazhab. Dengan cara ini, ia memiliki kemampuan yang baik dalam melaksanakan peradilan dan mengeluarkan pendapat dalam masalah itu. (Ja’fari, Sayid Radhi, hal. 42-43)

Kendati Sayyid Radhi tidak memiliki keuangan yang memadai, namun menyaksikan kondisi para muridnya selalu tergantung kepadanya, beliau pun menyiapkan dan menjadikan rumahnya sebagai madrasah bagi para muridnya. Nama madrasah itu adalah Dār al-‘Ilm. Beliau menyediakan dan mencukupi kebutuhan para muridnya. Selain itu, beliau juga membangun perpustakaan Dar al-‘Ilm dan menyediakan kas dengan segala hal yang diperlukan. Beliau juga membangun gudang khusus untuk memenuhi kebutuhan para muridnya di Dar al-‘Ilm.

Sayyid Radhi termasuk penulis yang produktif. Sudah banyak kitab yang ditulisnya. Di antaranya, Haqāiq at-Ta’wil fi Mutasyābih at-Tanzil, al-Mujāzāt an-Nabawiyyah, Khasāish al-Aimmah, dan koleksi ucapan Imam Ali as yang terhimpun dalam kitab Nahjul Balaghah.

Nahjul Balaghah merupakan kitab kompilasi khutbah, surat, dan ucapan Imam Ali bin Abi Thalib as yang penuh makna dan hikmah. Serangkaian khutbah Imam Ali as dinilai dan dihormati sedemikian tingginya di dunia Islam, sehingga hanya dalam waktu seabad setelah wafatnya, rangkaian khutbah itu diajarkan dan dibacakan sebagai kata terakhir da­lam filsafat tauhid, wejangan untuk membangun watak, sumber inspirasi yang luhur, motivasi yang meyakinkan ke arah takwa, mercusuar yang menunjuk arah kebenaran dan keadilan, karya pujian yang menakjubkan perihal Nabi Muhammad saw dan al-Quran al-Karim, kata-kata yang meyakinkan ihwal nilai-nilai spiritual Islam, diskusi yang menakjubkan seputar sifat-sifat Tuhan, karya utama susastra, dan model seni retorika serta kemahiran berbahasa.

Syekh Muhammad Abduh (1323 H), ulama kontemporer Ahlusunnah, mengapresiasi kitab Nahjul Balaghah dan menulis komentar (syarh) Nahjul Balaghah. Dalam kata pengantarnya, Muhammad Abduh mengatakan bahwa setiap orang yang memahami bahasa Arab pastilah sependapat bahwa rangkaian khutbah dan ucapan Imam Ali hanya berada di bawah firman Allah Swt dan sabda Nabi Muhammad saw. Kata-kata Imam Ali sedemikian sarat makna dan memuat gagasan-gagasan luar biasa besar, sehingga kitab Nahjul Balaghah ini harus ditelaah dengan sangat cermat, dirujuk dan dikutip para mahasiswa maupun guru. Guru besar susastra dan falsafah ini meyakinkan universitas-universitas di Kairo dan Beirut untuk memasukkan kitab Nahjul Balaghah dalam kurikulum untuk studi susastra dan falsafah tingkat atas.

Syarif Radhi wafat pada 6 Muharram 406 H (1015). Beliau dimakamkan di Karakh (ada pula pendapat lain mengenai di mana jasad beliau dimakamkan). Menurut salah satu sumber, setelah rumahnya rusak, jenazah Sayyid Radhi diboyong ke Kazhimain dan dimakamkan persis di samping pusara Imam Musa Kazhim as. Menurut pendapat lainnya, yang diyakini kebenarannya oleh Abdul Husain al-Hilli, jasad beliau diboyong ke Karbala dan dimakamkan di samping kakeknya, Imam Husain as.

Continue Reading
Click to comment

Leave a Reply

Your email address will not be published. Required fields are marked *